Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta
Pemberitaan di beragam laman media beberapa hari terakhir tentang Supriyani guru honorer Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menhantak khalayah tentang implikasi hubungan guru siswa selama proses pembelajaran. Bukan kali ini saja guru tersangkut permasalahan hukum selama menjalankan proses pembelajaran. Medio 2016 terdapat kasus pemenjaraan Nurmayani salam guru SMP N 1 Bantaeng Sulawesi Selatan dengan tudingan melakukan cubitan pada siswa saat melaksanakan tugas pembelajaran ( tribunnews.com ) merupakan fenomena terus berulang dalam pola pembelajaran di negeri ini. Supriyani maupun Nurmayani salam adalah guru kesekian berurusan aparat keamanan disebabkan aktivitas pembelajaran. Rentetan peristiwa bermuara dugaaan munculnya indikasi bullying teramat panjang untuk direntang.
Catatan bernuansa bullying kerapkali menghiasi media massa negeri ini dengan beragam motif dan penyikapan. Medio akhir tahun 2015 lalu dunia keguruan negeri ini mendapat kado istimewa di media sosial yakni munculnya pemberitaan aksi premanisme balas dendam seorang tua pada guru anaknya disebabkan sang guru dianggap semena – mena menegakkan disiplin dengan memotong rambut siswa dengan balasan mencukur rambut guru bersangkutan di salah satu kota di provinsi Jawa Barat. Sebagai mahdzab baru informasi publik sajian pemberitaan tersebut menjadi konsumsi segar pada khalayak didalamnya.
Kasus pembelajaran mencuat tersebut mengalami perbedaan penyikapan disatu sisi orang tua siswa memilih jalan hukum disisi lain orang tua melakukan aksi main hakim sendiri. Hubungan guru – siswa selama proses pembelajaran sedemikian unik berkaitan dengan hubungan manusia beragam rupa dan asa. Konteks kekinian komukasi selama proses pembelajaran kerapkali memerlukan reposisi ulang. Adagium mengemuka selama ini guru memukul, siswa dipukul sebagai ekses interaksi pembelajaran. Persepsi ini menjadikan interaksi pembelajaran rentan menumbuhkan penghakiman dengan konteks guru salah dan murid benar. Persepsi ini merupakan imej yang terbangun manakala kasus bernuansa bullying mengemuka dalam dunia pendidikan.
Suka tidak posisi guru senantiasa salah ketika bullying ini terjadi dan publik sudah menghakimi guru dengan ketidakbecusan dalam melaksanakan tugas pembelajarannya hingga harus mengedepankan tindakan fisik untuk membelajarkan siswa. Publik seakan tidak mau melihat lebih dalam mengapa permasalahan bulying ini terjadi dengan pembahasaan toh siswa masih dalam masa perkembangan sehingga guru harus mengayomi siswa bukannya mengintimidasi siswa. Bukannya membela teman seprofesi namun berdasarkan pengamatan saya beberapa kasus dengan ending bullying siswa tidak sepenuhnya dipicu tindakan guru semata namun juga harus memperhatikan bagaimanakah proses pembelajaran tersebut terjadi. Tidak jarang justru dari kalangan siswa sendiri permasalahan bullying dunia pendidikan ini terjadi.
Tindakan pelecehan siswa terhadap kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bentuk yang kerapkali ditemui. Penyepelean siswa pada sebuah ketentuan sekolah tidak jarang menjadi akar permasalahan tindakan berujung kekerasan ini. Kondisi ini diperparah dengan positioning sekolah selama ini adalah sebagai bengkel anak untuk berperilaku lebih baik. Mekanisme ini menjadikan segala perilaku yang dilakukan siswa adalah buah pembelajaran di sekolah padahal jika ditelaah lebih lanjut siswa menghabiskan waktu jauh lebih banyak diluar jam sekolah
Optimalisasi hubungan guru siswa dalam ranah pembelajaran memadai mendesak untuk diberlakukan ditengah dinamisasi hubungan interpersonal ini. Tindakan konkrit ini teramat layak untuk diberlakukan sekaligus sebagai counter carut marut dunia pembelajaran berikut eskses penyertanya. Dibalik maraknya dugaan bullying yang mengganggu proses pembelajaran ini memunculkan keprihatinan tesendiri bagaimanakah selayaknya mereposisi hubungan guru – siswa agar tidak menumbuhkan ekses asusila lebih besar dimasa mendatang?
Perwujudan mitra belajar
Perubahan pola hubungan sosial guru – siswa saat ini merupakan wacana yang belum sepenuhnya tergarap optimal. Selama ini publik terninabobokkan dengan slogan peran guru sebagai pengayom lebih khususnya sebagai pengganti orang tua dan sebagai pihak pemberi keteladanan luar biasa dalam hubungan antar manusia. Konsekuensinya guru segenap perilaku menjadi contoh dan siswa tidak terposisikan memberikan wacana kritis. Hal ini linier dengan konteks pembelajaran yang dianut selama ini dengan mengedepankan keseragaman penyikapan pembelajaran.
Peran sebagai orang tua menjadikan keengganan siswa bertindak kritis manakala terjadi ancaman terhadapnya. Pola pemberitaan selama ini menunjukkan terjadinya beragam penyimpangan disebabkan tidak adanya telaah kritis menjelang tindakan itu berlangsung. Saya meyakini terjadinya beragam pelecehan pembelajaran dengan melibatkan guru – siswa tidak terjadi secara tiba-tiba namun membutuhkan proses berjenjang hingga kasus ini terjadi.
Peran mitra belajar secara tidak langsung memposisikan guru – siswa menjadi lebih egaliter, siswa dapat melakukan tindakan kritis berkaitan proses pembelajaran dan guru menjadi lebih proporsional dalam melaksanakan tugas pembelajaran. Hal ini bukanlah isapan jempol semata, dalam pola kurikulum yang dikembangkan saat ini sudah memberikan porsi proporsional pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Pola pembelajaran diarahkan berbasis siswa ini secara tidak langsung menjadikan humanisasi pembelajaran terwujud dalam ruang-ruang sekolah negeri ini.
Jika pembelajaran sudah bersifat student based learning sangat dimungkinkan pola hubungan siswa – guru dalam kesamaan koridor interaksi manusia Dampak positif pemberlakuan mekanisme kemitraan dalam pembelajaran ini menjadikan sehatnya pembelajaran baik dari sisi idealisme terlebih urusan moral dikalangan pendidikan sebagai isu utama pemberlakuan kurikukulum dalam konteks kekinian
Maraknya dugaan pelecehan pembelajaran antara guru – siswa tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan pada para pelakunya namun merupakan hasil penurunan solidaritas guru. Saat ini guru lebih diposisikan dalam kondisi kompetisi sedemikian ketat utamanya untuk pemenuhan kesejahteraan. Guru terkompetisi untuk memenuhi jam mengajar agar kesejahteran tidak luntur. Eksesnya empati guru dapat berkurang, acuh tak acuhnya antar guru selama proses pembelajaran ini menjadikan dugaan penyimpangan tinggal dugaan dan hanya menunggu meletusnya kasus bersangkutan.
Dengan logika tidak ada dosa besar yang diawali dosa kecil menjadikan meletusnya ekses pelecehan pembelajaran merupakan buah dari permisifnya guru terhadap masalah guru lain. Logika ini tentunya menggejolak dikalangan guru disebabkan ketatnya persaingan guru dalam mendapatkan beragam tunjangan. Manakala faham ini dibiarkan terntu kontraproduktif dengan pengembangan pendidikan seperti yang digaungkan. Dalam pengembangan lembaga pendidikan teramat tidak elok jika pengembangan institusi sebatas pengembangan administrasi dan meminggirkan nalar edukatif.
Pengedepanan kontrak belajar merupakan konteks teknis penyamaan ide pembelajaran guru siswa sehingga kesetaraan peran pembelajaran terwujudkan. Pengedepanan pendidikan ini menjadikan pemdidikan mengarah pada ekses kedewasaan. Hakikat pendidikan disebabkan pendidikan saat ini bukan lagi pedagogi ( pendidikan anak ) namun sudah andragogi ( pendidikan orang dewasa ).
Perwujudan kontrak belajar proporsional merupakan bukti hadirnya demokratisasi pendidikan dalam ruang – ruang pembelajaran terbarukan. Hubungan guru – siswa selayaknya terbangun proporsional yang mencerdaskan mengingat kedua belah pihak merupakan interaksi makhluk pilihan ilahi dalam mewujudkan kebermaknaan peran seutuhnya. Ikhtiar cerdas perlu terus teretas agar pembelajaran terus terbangun secara aktual seiring perkembangan kekinian.
———– *** ————–