Pemerintah wajib membuka “mata dan telinga” berkait harga pangan pokok. Konon sudah dilakukan operasi pasar. Tetapi belum berhasil “menjnakkan” harga bahan pangan pokok, terutama beras, dan minyak goreng subsidi. Bahkan terdapat ujaran baru, “sudah mulai panen raya tapi harga mahal.” Walau secara sporadis hampir sebulan dilaksanakan operasi pasar. Harga beras makin melambung jauh di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Serta migor (minyak goreng) MINYAKITA bertahan mahal, terutama di pasar tradisional. Harga migor juga tetap jauh di atas HET.
Ironisnya, harga beras yang melambung tidak dinikmati petani. Sangat sedikit petani yang panen dini (awal Pebruari 2023) bisa menjual gabah dan beras dengan harga lebih baik. Normalnya, panen baru akan dimulai pada awal Maret. Sehingga saat ini petani juga membeli beras dengan mahal. Niscaya akan meningkatkan indeks beli (Ib) petani yang lebih tinggi. Sedangkan indeks penerimaan (It) petani dari hasil panen biasa jeblok. Maka pasti pula akan berujung merosotnya NTP (Nilai tukar Petani).
Sampai pertengahan Maret 2025, serapan beras oleh Bulog masih sebanyak 450 ribu ton, dari hasil panen selama Januari Januari hingga tengah Maret. Artinya, beras lebih banyak dimiliki oleh petani. Padahal diperkirakan bakal terdapat surplus beras sampai 3 juta ton hingga April 2025. Artinya, ketersediaan beras akan “booming” besar. Seharusnya beras murah. Tetapi realitanya harga beras saat ini jauh di atas patokan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) di Gudang Bulog senilai Rp 12 ribu per-kilogram.
Tetapi petani tidak mudah menjual beras sesuai patokan HPP. Syaratnya harus memenuhi kualitas derajat sosoh 100%, kadar air maksimal 14%, butir patah maksimal 25%, dan butir menir maksimal 2%. Karena musim hujan ekstrem sejak awal tahun 2025, derajat kadar air sulit di-mimimalisir. Begitu pula proses pengeringan terkendala cuaca. Serta dryer (mesin pengering) belum dimiliki kelompok tani. Menyebabkan petani cenderung menyimpan hasil panen dlam bentuk gabah.
Pemerintah menetapkan HPP gabah kering giling sebesar Rp 6.500 per-kilogram. Tetapi Sebagai OIP (Operator Investasi Pemerintah), pada tahun 2025 Bulog menerima alokasi APBN sebesar Rp 16,6 trilyun. Cukup memadai untuk memborong gabah, dan beras hasil panen. Tetapi diperkirakan terjadi Silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) cukup besar pada Bulog. Diantaranya disebabkan penyerapan tidak maksimal. Karena mutu panen merosot. Hasil panen juga merosot, disebabkan areal tanam menyusut.
Bulog sudah menyerap 450 ribu ton hasil panen (masih setara 15% dari target). Sehingga masih harus menggenjot penyerapan gabah, dan beras dari hasil panen. Karena targetnya mencapai 3 juta ton. Jika sampai April belum mencapai target, maka diperkirakan bakal impor beras. Tahun (2024) lalu, realitanya, pemerintah meng-impor beras sampai 5 juta ton. Terbesar sepanjang sejarah. Impor sangat strategis untuk “mengendalikan” harga beras.
Problematika minyak goreng (migor), berbeda dengan beras. Karena tiada negara lain di dunia yang menandingi “semarak” merek dagang minyak sawit di Indonesia, sebagai pemasok utama pasar global. Tetapi migor kemasan khusus pasokan pemerintah (MINYAKITA) semakin menjauh dari HET. Bandingkan dengan harga migor di Malaysia, senilai Rp 9.200,- per-kilogram (1,1 liter), dalam program COSS (Cooking Oil Stabilization Scheme).
Hampir mirip di Indonesia juga memiliko skema DMO (Domestic Market Obligation, kewajiban pengadaan pasar domestik). Konon jelang Ramadhan ini, seluruh DMO dijadikan MINYAKITA, tanpa migor curah. Sehingga Stok berlebih (25,88%), tetapi harga bertahan mahal di atas HET.
——— 000 ———