28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Gelontor Dana “Nganggur”

Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) 2025 terasa kurang bertenaga, dan lemot direalisasi. Bisa jadi disebabkan anggaran tergolong minimalis, dan dilakukan efisiensi. Termasuk pelaksanaan program populis kolosal. Serta dikurangi untuk program Danantara. Gejala yang sama juga terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Niscaya berdampak kelesuan ekonomi. Berujung Silpa besar. Kemanfaatan APBN dan APBD sebagai stimulus perekonomian tidak tercapai.

Menteri Keuangan Purbaya, coba membaca realita. Sampai minta izin Presiden Prabowo untuk mengambil uang pemerintah di Bank Indonesia (BI). Dana segar sebesar Rp 200 trilyun, digelontor ke perbankan milik negara. Tujuannya, disalurkan kepada masyarakat sebagai kredit. Sehingga (diharapkan) akan berputar untuk men-stimulasi perekonomian. Tapi tidak mudah bagi perbankan. Bahkan bisa menambah beban bunga, manakala gagal tersalurkan. Perbankan BUMN saat ini menjadi mesin uang APBD yang “diparkir.”

Setiap daerah saat ini, memiliki sumber pendapatan yang cukup menggiurkan. Yakni, perolehan jasa perbankan. Sumbernya berasal dari simpanan Pemda di perbankan. Biasanya dalam bentuk rekening giro (77,62%), diikuti deposito (19,30%), dan tabungan 3,09%. Sehingga bisa jadi, dana segar Rp 200 trilyun di Bank BUMN akan menjadi beban baru, sekaligus mengurangi performa pada masa mendatang.

Realisasi serapan anggaran daerah (APBD) juga tergolong rendah. Rata-rata kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota masih sekitar 44%. Sedang Pemerintah Propinsi masih sebesar 40%. Ditambah efisiensi APBN, menjadikan fiskal pemerintah nyaris tidakmen-stimulasi perekonomian. Tetapi menurut Presiden Prabowo Subianto, efisiensi tahun (2025) ini memiliki alasan pembenar. Misalnya, pemangkasan sebesar Rp 300 trilyun dari APBN.

Berita Terkait :  Alat Pakan Ikan Otomatis, Karya Mahasiswa Teknik Industri Unigoro Juara III BIA Award 2024

Pemangkasan terutama dari anggaran perjalanan dinas ke luar negeri, dan dalam negeri yang begitu besar. Serta anggaran alat tulis kantor yang sangat besar. Juga dari berbagai pos anggaran yang selama ini jadi sumber korupsi dan sumber bancakan. Menurut Kepala Negara, efisiensi sebagai mandatory konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 33 ayat (4), dinyatakan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, …, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ….”

Ke-lemot-an APBN (dan APBD) niscaya berujung pada Silpa (Sisa lebih perhitungan anggaran) sangat besar. Presiden cukup waspada sejak awal. Sebagian anggaran disimpan pada Danantara. Serta menggelontor anggaran untuk Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Tetapi pada APBD belum ketemu program yang sesuai kebutuhan daerah. Sehingga setiap tahun berpotensi menjadi “anggaran tidur” yang ter-parkir di perbankan. Hampir sia-sia, jika hanya memperoleh bunga deposito.

Maka Presiden meng-instruksi seluruh Pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) me-minimalisir Silpa. Bila perlu dibuat “Dana Abadi Daerah” yang dimanfaatkan untuk berbagai investasi infrastruktur. Serta menyokong program karitatif kerakyatan. Termasuk Jawa Timur, dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, belum termasuk propinsi dengan belanja tertinggi. Masih memerlukan inovasi belanja inovatif kerakyatan.

Percepatan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), biasa memberi pengaruh pada perekonomian daerah. APBD lazimnya berkontribusi sekitar 16% terhadap pergerakan ekonomi daerah. Sebaliknya, ke-lemot-an (realisasi belanja) APBD niscaya bisa memperlambat perekonomian daerah. Silpa APBD yang sangat besar, sebenarnya menjadi pertanda “ke-lemah-an” (sekaligus kemalasan) manajemen keuangan daerah.

Berita Terkait :  Pilkada Kabupaten Blitar 2024, Pemkab Blitar Target 80 Persen Ikut Memilih

Kinerja anggaran yang lemot, sebenarnya “penyakit lama.” Sejak tahun 2021 telah tiga kali di-warning. Hingga kini menjadi ancaman anggaran tidur. Antara lain disebab ke-engganan pejabat eselon II, dan III, tidak bersedia menjadi Pimpinan Proyek. Khawatir terjebak Tipikor. Sampai diusulkan daerah memiliki “Dana Abadi Daerah.” Seperti Pemerintah pusat yang memiliki Danantara.

——— 000 ———

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru