Oleh :
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Gelembung isolasi (filter bubble) informasi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) terjadi di ruang digital. Perang informasi antar pasangan calon (paslon) dalam Pilkada beredar tak berimbang lewat aneka platform media sosial (medsos). Gelembung isolasi informasi menjadikan masyarakat mendapat informasi berat sebelah. Hal ini menjadikan simpatisan salah satu paslon seperti memakai kacamata kuda dan tak objektif melihat kelebihan lawan.
Salah satu fitur yang ada di internet dan medsos adalah algoritma digital. Salah satu algoritma adalah filter bubble yang memproses suatu data dan membuat keputusan otomatis. Melalui fitur ini pengguna media digital hanya terpapar informasi, berita, narasi, dan konten yang sesuai dengan pandangan dan preferensi mereka sendiri. Media digital akan menyajikan beragam konten politik berdasarkan perilaku dan interaksi yang dilakukan sebelumnya.
Penggunaan aneka platform medsos seperti Twitter (X), Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube sejatinya dapat mempertajam seteru antar kubu pendukung fanatik. Hal ini terjadi karena lewat ruang digital tersebut telah terjadi kebuntuan ruang adu gagasan lintas kelompok. Para pendukung salah satu paslon kecenderungannya akan menggunjing diantara kelompok mereka sendiri dan mengolok-olok lawan politik dengan sikap antipati.
Filter bubble atau gelembung isolasi dapat menggiring calon pemilih ke dalam penilaian yang sempit tentang sang kandidat dari kubu lawan politiknya. Pengguna medsos hanya terpapar gelembung informasi dari salah satu sudut pandang politik dan cenderung tak memahami argumen dari kelompok lawan. Situasi ini menjadikan sang pemilih kurang mendapat referensi yang cukup dan berimbang dari lawan politik yang tidak mereka dukung.
Alih-alih menjadi ruang publik (public sphere) yang demokratis, justru internet dan medsos telah mereduksi terjadinya ruang pertukaran informasi yang adil. Para netizen hanya dijejali aneka informasi yang lebih dominan tentang sosok yang didukungnya. Media digital akan membombardir khalayak dengan konten yang sesuai dengan informasi yang sering mereka cari. Situasi ini menjadikan informasi dari lawan politik tak diakses secara berimbang.
Filter Bubble Pilkada
Istilah filter bubble atau gelembung isolasi awalnya diperkenalkan oleh ahli media baru yakni Eli Pariser (2011). Merujuk Pariser dalam bukunya bertajuk The Filter Bubble: How The New Personalized Web is Changing What We Read and How We Think, dinyatakan bahwa filter bubble bekerja untuk menyaring sejumlah informasi yang akan disesuaikan dengan kecenderungan atau pemilik akun di internet.
Dalam medan pertempuran berebut klik di internet, like, share, dan subscribe di medsos, algoritma dan filter bubble itu bekerja. Algoritma ada di mesin pencari, situs berita utama, akun belanja ritel daring, feed posting di medsos, maupun akun Netflix dan Spotify. Algoritma yang sama adalah alasan mengapa kita tahu toko online favorit melakukan promo penjualan atau mengapa sepertinya semua teman di medsos berbagi pandangan politik yang sama dengan kita.
Gelembung informasi dalam internet dan medsos menghasilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan kebiasaan penggunannya, yang pada akhirnya membatasi keragaman informasi yang diterima. Hasil pencarian dipersonalisasi sesuai dengan minat dan iklan yang berusaha memikat para pengguna media digital. Situasi ini tentu bisa menjebak pada pengguna media yang tak kritis.
Dalam konteks kampanye Pilkada saat ini, ketika seseorang telah terjebak efek filter bubble pada salah satu kandidat tertentu maka dia bisa jadi lebih keras kepala dengan pendapat pribadinya dan tak mau menerima pendapat pihak yang berseberangan. Informasi yang terus berulang menerpa seseorang cenderung dari satu kubu seperti yang biasa ia cari. Situasi ini menjadikan pengguna media digital rentan terhadap bias konfirmasi.
Yang terjadi biasanya seseorang cenderung mencari dan menerima informasi yang hanya mengonfirmasi keyakinan dirinya dan menutup kemungkinan membuka diri dari sudut pandang yang beragam dan berseberangan. Dampak buruknya, para pendukung fanatik lebih sulit menerima pandangan yang berbeda dan cenderung semakin terpolarisasi. Para pendukung fanatik salah satu kandidat cenderung akan cinta buta dan membela mati-matian sosok yang didukungnya.
Polarisasi Politik
Merujuk Sinan Aral (2020) dalam bukunya yang berjudul The Hype Machine yang menyatakan bahwa repetition causes belief. Cara kerja algoritma akan membawa pada bias konfirmasi. Keadaan ini bisa memicu terjadinya polarisasi politik yang semakin tajam. Masyarakat bisa terbelah pemahaman dan pandangannya yang disebabkan oleh politik. Medsos berperan sangat perkasa dalam mempertajam polarisasi.
Potensi polarisasi semakin menguat karena di medsos juga muncul efek gema atau gaung (echo chamber effect). Efek gema inilah yang menjadikan pendapat dan keyakinan seseorang menggema dan terpantul kepada diri seseorang tersebut. Sejatinya para pengguna internet dan medsos sedang berada dalam bahaya dengan mempertahankan pandangan sempit dan menjadi kurang toleran terhadap pandangan orang lain yang berseberangan.
Filter bubble dan echo chamber menjadikan netizen hanya mengonsumsi informasi yang sejenis dan bertemu hanya dengan orang-orang yang sepemahaman. Aliran informasi yang sejenis dan pergaulan serta percakapan yang bersifat eksklusif ini berpotensi menumbuhkan benih fanatisme. Orang-orang yang sepemahaman ini akhirnya mendefinisikan kelompoknya berbeda dan berlawanan dengan kelompok-kelompok lain. Situasi ini dapat memicu polarisasi politik yang sulit terhindarkan.
Munculnya gelembung isolasi informasi bisa jadi ancaman serius demokrasi. Kita jadi semakin cenderung mengonfirmasi bias kita sendiri, meninggalkan kemampuan untuk memahami sudut pandang yang berbeda. Filter bubble terbukti dapat menghambat dialog yang konstruktif, menghambat kompromi, dan mengurangi kemampuan pemilih untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang seimbang.
Solusi yang bisa diupayakan untuk mengatasi kondisi ini adalah dengan upaya meningkatkan kemampuan literasi media di antara pemilih. Masyarakat harus punya keterampilan mengevaluasi informasi yang mereka temui di media digital. Pengetahuan dan kesadaran yang lebih baik tentang bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana mengatasi filter bubble dapat membantu pemilih dalam Pilkada menjadi lebih melek media dan politik. (*)
————– *** —————–