oleh:
Vritta Amroini Wahyudi
Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang, Mahasiswa PhD Biotechnology Chulalongkorn University
Kasus terbaru yang melibatkan tujuh produk makanan berlabel halal yang terindikasi mengandung babi telah mengguncang kepercayaan publik. Temuan ini diungkap melalui uji laboratorium rutin yang mendeteksi DNA babi pada produk-produk tersebut meskipun tertera label halal. Kejadian ini menunjukkan pentingnya peningkatan sistem pengawasan dan penguatan validasi kehalalan berbasis pendekatan ilmiah. Bagi umat Muslim, label halal bukan sekadar simbol, melainkan jaminan atas keamanan konsumsi yang mencakup aspek spiritual, sosial, dan budaya. Seiring dengan pesatnya perkembangan industri pangan, yang diiringi dengan berbagai inovasi teknologi, penggunaan enzim, flavoring, dan aditif berbasis rekayasa biologis, metode konvensional dalam pengujian halal tampaknya sudah tidak lagi cukup. Perubahan komponen pangan yang semakin kompleks memerlukan pendekatan ilmiah yang lebih adaptif, sensitif, dan berbasis pada prinsip molekuler. Oleh karena itu, pembaruan teknologi dalam laboratorium halal menjadi langkah penting untuk memastikan kehalalan yang lebih akurat dan terpercaya.
Label Saja Tidak Cukup
Pendekatan regulasi halal di Indonesia saat ini cenderung bertumpu pada aspek administratif, seperti pemeriksaan dokumen dan audit produksi. Namun, hal ini memiliki keterbatasan, terutama dalam mendeteksi bahan tersembunyi atau senyawa turunan babi yang sering terproses menjadi aditif pangan. Oleh karena itu, penting bagi sistem validasi halal untuk didukung oleh laboratorium yang kredibel dan terstandar. Meskipun beberapa pihak masih mengandalkan kode CAS (Chemical Abstracts Service) untuk memastikan kehalalan, kode ini hanya mewakili struktur kimia, bukan sumber biologis. Sebagai contoh, gliserol dapat berasal dari berbagai sumber, seperti babi, tumbuhan, atau sintetis, yang penting untuk dipastikan asalnya dalam konteks halal. Solusi untuk memperkuat sistem audit adalah melalui penerapan konsep “from laboratory to the table”, di mana setiap klaim halal divalidasi secara ilmiah melalui uji laboratorium. Teknologi seperti DNA amplifikasi dan biosensor berbasis nanopartikel sudah terbukti efektif mendeteksi DNA babi pada kadar rendah, bahkan pada produk olahan yang sangat diproses. Dengan langkah ini, Indonesia akan semakin siap untuk memastikan kehalalan produk secara lebih cepat, akurat, dan merata, serta memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Belajar dari Negara Lain
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam sistem kehalalan global. Meskipun saat ini sistem validasi halal di Indonesia masih perlu penguatan, terutama di bidang infrastruktur laboratorium dan sinergi lintas lembaga, langkah ke arah tersebut sudah semakin jelas. Malaysia telah membuktikan keberhasilannya dengan JAKIM yang memiliki laboratorium uji halal terintegrasi, menggunakan metode ilmiah yang ketat. Proses validasi halal yang tidak hanya mengandalkan dokumen, tetapi juga melalui uji laboratorium berkala, memberikan kualitas dan kepercayaan global terhadap sertifikasi halal mereka. Thailand, meskipun mayoritas penduduknya non-Muslim, telah berhasil membangun ekosistem halal berbasis riset ilmiah melalui Halal Science Center Chulalongkorn University dan CICOT (Central Islamic Council of Thailand). Dengan teknologi canggih dan sistem traceability yang kuat, Thailand kini menjadi salah satu eksportir produk halal terbesar di dunia, termasuk ke pasar Timur Tengah dan Eropa. Di sisi lain, negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi telah mengembangkan sistem halal yang modern dan ketat melalui pusat akreditasi dan pengawasan produk halal menggunakan teknologi terkini. Mereka juga memprioritaskan verifikasi molekuler, khususnya untuk produk olahan dan farmasi. Melihat kemajuan ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk berinvestasi dalam laboratorium halal yang mandiri dan menggunakan teknologi canggih seperti biosensor berbasis genomik, transkriptomik, bahkan bisa dengan menerapkan sistem CRISPR-CAS.
Solusi: Saatnya Berani Berinvestasi
Untuk memastikan produk yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sah secara hukum, keyakinan, serta sesuai dengan fiqh atau fatwa yang berlaku, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis berbasis sains dan teknologi. Salah satu langkah utama adalah investasi dalam infrastruktur laboratorium halal dengan peralatan canggih dan teknologi terbaru untuk mendeteksi bahan haram secara akurat. Selain itu, penting untuk mengembangkan sumber daya manusia dengan melatih tenaga ahli di bidang biologi molekuler, bioinformatika, dan teknologi pangan, guna mendukung penelitian dan pengujian halal yang lebih inovatif. Kolaborasi antara BPJPH, LPPOM MUI, BRIN, dan universitas juga sangat diperlukan untuk mempercepat pengembangan metode deteksi halal yang lebih efektif. Regulasi halal harus terus disesuaikan dengan perkembangan teknologi pangan agar tetap relevan dan up-to-date. Peningkatan kesadaran konsumen mengenai pentingnya kehalalan produk dan proses verifikasinya juga akan meningkatkan permintaan akan produk halal yang terjamin. Saatnya pemerintah berpandangan jauh ke depan dengan berinvestasi pada sains dan teknologi halal, yang akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat industri halal dunia, dengan jaminan ilmiah yang terpercaya, berintegritas, dan sesuai dengan prinsip fiqh.
————- *** —————-


