27 C
Sidoarjo
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Epidemi Tembakau di Indonesia

Oleh :
Sutawi
Kepala LPPM dan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang.

Rokok telah menjadi kebutuhan dasar setara dengan makanan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia. BPS (2023) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp665.757. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp82.183 (12,34%), mengalahkan pengeluaran untuk pangan seperti beras Rp71.442 (10,73%), ikan Rp56.328 (8,46%), telur dan susu Rp35.491 (5,33%), dan daging Rp35.284 (5,30%). Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Juli 2021 menyebutkan pengeluaran untuk konsumsi rokok keluarga miskin bahkan mencapai Rp 364.000 per bulan. Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik. Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia lebih mengutamakan konsumsi racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan otak keluarga dan bangsanya.

BPS (2023) melaporkan sebanyak 28,62% (80,136 juta) penduduk Indonesia yang terdiri 56,36% laki-laki dan 1,06% perempuan adalah perokok. Rata-rata jumlah rokok yang dihisab sebanyak 12 batang per hari, setara Rp24.000 per hari. Uang rokok tersebut setara dengan belanja 2 kg beras, 1 kg telur, 2 liter susu, daging ¼ kg, atau ikan ½ kg. Hasil penelitian Salsabila dkk. (2022) menunjukkan 46% perokok merokok lebih dari 60 menit setelah bangun tidur, 68% sulit menahan diri untuk tidak merokok di tempat terlarang, 37% perokok berat untuk tidak merokok di pagi hari, 21% perokok langsung merokok setelah bangun tidur, dan 22% perokok akan tetap merokok pada saat sakit. Tobacco Atlas (2020) menempatkan Indonesia pada posisi ketiga jumlah perokok terbanyak di dunia setelah China dan India. Di kawasan Asean, Indonesia menduduki peringkat pertama, disusul Philipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73), Thailand (7,74), Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%).

Berita Terkait :  Perlawanan IPAC Pada Diplomasi Kognitif China Terkait Taiwan

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat angka perokok anak di Indonesia cukup tinggi, bahkan mengalami kenaikan dari 7,2% per 2013 menjadi 9,1% (7,235 juta) dari 79,5 juta anak per 2018. Di antara perokok anak, 1,5% mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5 sampai 9 tahun sehingga Indonesia mendapat julukan “baby smoker country”. Lebih dari 30% perokok anak mengonsumsi lebih dari 10 batang per hari dan 2,6% mengkonsumsi lebih dari 20 batang per hari. Konsumsi rokok oleh anak telah membakar percuma uang sebesar Rp 68,14 miliar per hari (Rp 24,87 triliun per tahun). Hal ini dapat menjadi bom waktu pada 20-25 tahun mendatang, mengingat timbulnya penyakit seperti kanker berhubungan dengan lamanya merokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mulai merokok pada awal masa remaja dan terus menerus merokok selama 20 tahun atau lebih akan meninggal 20 atau 25 tahun lebih muda dibanding mereka yang bukan perokok. Konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting (balita kerdil) pada anak yang saat ini jumlahnya mencapai 24,4% (SGSI, 2021).

Dari sisi ekonomi, rokok memberi sumbangan besar pada kas negara. Ditjen Bea Cukai (2023) mencatat produksi rokok kumulatif pada Januari-Desember 2023 sebanyak 318,14 miliar batang. Jika dihitung dengan harga Rp2.000 per batang, maka nilai produksi rokok tahun 2023 mencapai Rp636.280 triliun. Ini berarti uang yang dibakar perokok Indonesia mencapai Rp1,743 triliun per hari. Produksi rokok tersebut menyumbang pendapatan negara dari Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp221,83 triliun, setara 8,0% dari Pendapatan Negara tahun 2023 sebesar Rp2.774.3 triliun.

Berita Terkait :  Bersih-Bersih Beking Judol

Industri rokok memiliki dampak negatif yang tidak murah. Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2022, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9 triliun hingga Rp 27,7 triliun setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung Rp 10,5-15,6 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Sementara alokasi penerimaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan membiayai penyakit peserta terkait rokok hanya Rp 7,4 triliun. Biaya ekonomi merokok Indonesia sebesar Rp234.669,345 triliun, mencakup biaya langsung terkait pengeluaran perawatan kesehatan dan biaya tidak langsung terkait hilangnya produktivitas yang disebabkan oleh penyakit dan kematian dini. Belanja tembakau mengalihkan dana dari sumber daya yang dibutuhkan keluarga untuk keluar dari kemiskinan. Di Indonesia, seorang perokok rata-rata mengeluarkan 5,19% PDB per kapita untuk membeli 100 bungkus rokok dalam setahun.

Dari sisi kesehatan, rokok merupakan salah satu penyebab epidemi terbesar di dunia. Bahaya rokok sudah dibuktikan oleh lebih dari 70 artikel ilmiah. Balagh (2007) menyatakan dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 macam bahan kimia, 200 di antaranya beracun dan 43 jenis lainnya bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Beberapa zat yang sangat berbahaya antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO). Asap rokok mengandung tiga kali lipat bahan pemicu kanker di udara dan 50 kali mengandung bahan pengiritasi pernapasan dan mata. Institute for Health Metrix and Evaluation (2019) melaporkan rokok tembakau berisiko meningkatkan risiko kanker trakea, bronkus, dan paru-paru sebesar 59,6 persen, 59 persen mengakibatkan penyakit paru obstruksi kronik, 28 persen memicu gangguan jantung, dan 19 persen mengakibatkan diabetes melitus.

Berbagai penyakit akibat rokok mengintai, seperti kanker paru-paru (90% kanker paru-paru pada laki-laki dan 70% untuk perempuan disebabkan oleh rokok), kanker mulut, kanker leher rahim, kanker darah, kanker hati, jantung koroner, darah tinggi, stroke, asma, bronchitis, impotensi pada pria, bahkan rusaknya kesuburan wanita. Risiko peningkatan penderita kanker paru-paru pada perokok pasif mencapai 20-30%, dan risiko penderita penyakit jantung sebanyak 25-35%. Rokok kretek menghasilkan 1,9-2,6 mg nikotin. Efek langsung nikotin ke otak hanya memerlukan waktu dalam hitungan detik yakni 10-16 detik. Merokok sebungkus per hari dapat menyerap nikotin 20-420 mg nikotin/hari yang dapat meningkatkan plasma 23-35 ng/ml (Sofianty, 2010). WHO (2020) mengemukakan bahwa terdapat 1,3 milyar penduduk di dunia yang merupakan perokok dan membunuh sekitar 8,2 juta orang setiap tahun (15 orang per menit), terdiri 7 juta perokok aktif dan 1,2 juta perokok pasif.

Berita Terkait :  Humas di Era Digital, Sebuah Insight dari Pengeloloan Instagram @JATIMPEMPROV

Di Indonesia, kebiasaan merokok merupakan salah satu risiko kedua terbesar penyebab kematian (17,3%) setelah hipertensi (28%), disusul diet tidak sehat (16,4%), diabetes (15,2%), obesitas (10,9%), dan kurang aktivitas fisik (1,4%). WHO (2020) mencatat sekitar 225.700 orang Indonesia setiap tahun (618 orang setiap hari) meninggal akibat merokok atau penyakit lain berkaitan dengan tembakau. Jika kesadaran tentang bahaya merokok tidak tumbuh, diprediksikan pada 2025 tercatat 10 juta perokok akan meregang nyawa. Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019 menyatakan merokok dikaitkan dengan 1,7 juta kematian akibat penyakit jantung iskemik, 1,6 juta kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik, 1,3 juta kematian akibat kanker trakea, bronkus dan paru-paru, serta hampir 1 juta kematian akibat stroke. Perokok memiliki harapan hidup rata-rata 10 tahun lebih rendah daripada mereka yang tidak merokok. Tobacco Atlas (2023) mencatat 17% kematian di Indonesia disebabkan oleh penggunaan tembakau. ***

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img