28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Eid Al-Adha, Sepak Bola dan Ibadah Nasionalisme

Oleh:
Ali Mursyid Azisi
Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Anggota LTN PWNU Jawa Timur 2024-2029

Gema takbir menggema di seluruh penjuru Indonesia pada malam itu, 9 Dzulhijjah 1446 H. Jutaan umat Muslim bersiap menyambut Hari Raya Eid Al-Adha, sebuah perayaan yang berakar pada kisah pengorbanan dan keikhlasan. Namun, di tengah kekhusyukan malam suci tersebut, ada sebuah “ibadah” lain yang menyatukan puluhan juta pasang mata bangsa, yaitu pertandingan krusial lanjutan Kualifikasi Piala Dunia FIFA 2026. Ketika peluit panjang wasit meniup tanda berakhirnya laga dengan kemenangan 1-0 untuk Tim Nasional Indonesia atas negeri Tirai Bambu, gema takbir supporter di tribun seakan bersahutan dengan sorak-sorai kemenangan. Momen ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah persimpangan simbolis antara spiritualitas keagamaan dan kebanggaan kolektif daam bingkai kebangsaan.

Manifestasi Qurban Modern
Kemenangan dramatis ini, yang diraih melalui perjuangan tak kenal lelah, menjadi cerminan sempurna dari esensi Eid Al-Adha itu sendiri. Hari raya ini memperingati ketaatan Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, sebagai wujud kepatuhan mutlak kepada Tuhan. Sebelum pengorbanan itu terjadi, Allah SWT menggantinya dengan seekor domba. Kisah ini, sebagaimana dituturkan dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Tafsir Ibn Kathir mengenai Surah Ash-Shaffat ayat 102-107, menyoroti puncak keikhlasan dan pengorbanan (qurban). Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbahnya juga menyatakan bahwa qurban bukan semata-mata menyembelih hewan, tetapi manifestasi keikhlasan dan pengabdian (pengorbanan) total kepada nilai-nilai Ilahi.

Semangat pengorbanan inilah yang secara metaforis kita saksikan di lapangan hijau. Para pemain Timnas Garuda tidak hanya menendang bola, namun mereka juga mengorbankan peluh, energi, bahkan menahan rasa sakit demi satu tujuan mulia: mengharumkan nama bangsa. Perjuangan mereka merebut bola, berlari tanpa henti, dan bertahan hingga titik darah penghabisan adalah bentuk qurban modern di altar nasionalisme. Mereka mengorbankan kepentingan pribadi demi kebahagiaan kolektif sebuah bangsa. Kemenangan yang mereka persembahkan menjadi “daging kurban” simbolis yang dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Berita Terkait :  Negeri Darurat Kesehatan Mental

Sepak Bola Bukan Sekadar Olahraga
Menurut sosiolog olahraga asal Prancis, Pierre Bourdieu, dalam bukunya “The Field of Cultural Production” (1993), olahraga memiliki dimensi simbolik yang kuat dalam membangun identitas kolektif dan memperkuat solidaritas sosial. Momentum kemenangan Indonesia di kualifikasi Piala Dunia, terlebih saat rakyat tengah merayakan Eid Al-Adha, membuktikan bahwa sepak bola bisa menjadi “ritual nasional” yang menyatukan rakyat lintas kelas, agama, suku, maupun afiliasi politik.

Di tengah lanskap sosial-politik Indonesia yang seringkali diwarnai oleh perdebatan tak bermutu dan polarisasi, sepak bola hadir sebagai anomali yang menyejukkan. Ketika elite politik sibuk dengan manuver kekuasaan dan menciptakan situasi gonjang-ganjing, lapangan hijau justru menjadi sauh pemersatu. Data statistik menunjukkan bahwa pertandingan Tim Nasional putaran ketiga yang berlangsung pada Kamis, 5 Juni 2025 menarik jutaan penonton dan berhasil memecahkan rekor audiens tahun ini. Laporan awal dari lembaga riset media tentang Proyeksi dan Analisis Tren Media mengindikasikan pencapaian rating televisi nasional sebesar 14.5 dengan pangsa pemirsa (audience share) yang menembus 55%. Angka ini diproyeksikan setara dengan lebih dari 17 juta pasang mata yang terpaku pada layar kaca, belum termasuk jutaan lainnya yang terhubung melalui platform streaming dan ribuan titik nonton bareng (nobar) yang tersebar dari perkotaan hingga pedesaan.

Di ranah digital, euforia ini meledak secara masif. Analisis tren media sosial per 5 Juni 2025 menunjukkan bahwa gabungan tagar penyemangat seperti #TimnasDay dan #GarudaMendunia menghasilkan lebih dari 1.2 juta interaksi (cuitan, balasan, dan suka) di platform X (sebelumnya Twitter) hanya dalam kurun waktu tiga jam selama pertandingan berlangsung. Angka ini menegaskan bahwa sepak bola adalah percakapan nasional terbesar di Indonesia saat ini.

Berita Terkait :  Sempat Diisi Plt, Empat Kepala Dinas Pemkab Bojonegoro Dilantik

Fenomena ini selaras dengan konsep “Imagined Communities” atau “Komunitas Terbayang” yang digagas oleh ilmuwan politik Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983). Anderson berpendapat bahwa sebuah bangsa adalah komunitas yang terbayang karena anggotanya tidak pernah saling mengenal seluruhnya, namun di dalam benak mereka hidup bayangan tentang kebersamaan mereka. Sepak bola, menurutnya, adalah salah satu medium paling kuat untuk menciptakan dan memelihara bayangan komunal ini. Selama 90 menit, puluhan juta individu yang terpisah secara geografis dan sosial melebur menjadi satu entitas emosional, merasakan harapan, ketegangan, dan euforia yang sama.

Ibadah Nasionalisme: Ketika Takbir dan Gol Bertemu
Momen kemenangan Indonesia atas China di malam takbir Eid Al-Adha memperkuat argumen ini ke level yang lebih dalam. Ia bukan lagi sekadar euforia olahraga, melainkan telah menjadi sebuah “ibadah nasionalisme”. Filsuf eksistensialis asal Prancis dan peraih Nobel Sastra, Albert Camus, pernah berkata, “Segala yang saya tahu paling pasti tentang moralitas dan kewajiban manusia, saya berutang pada sepak bola.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa sepak bola memiliki dimensi etis dan filosofis. Dalam konteks Indonesia malam itu, sepak bola mengajarkan kewajiban kolektif untuk mendukung perjuangan bangsa dan moralitas untuk bersatu di atas perbedaan.

Dari perspektif Islam, semangat persatuan ini juga memiliki landasan yang kokoh. Cendekiawan Muslim, Tariq Ramadan, dalam salah satu karyanya Western Muslims and the Future of Islam (2004) menekankan pentingnya kontribusi positif pada masyarakat (shahadah, atau kesaksian) sebagai bagian dari iman. Memberikan kebahagiaan dan kebanggaan bagi bangsa melalui prestasi olahraga dapat dilihat sebagai salah satu bentuk aktualisasi iman dalam kehidupan. Kemenangan ini merekatkan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), sebuah prinsip yang esensial dalam menjaga keutuhan negara yang majemuk seperti Indonesia.

Berita Terkait :  Pendidikan Profetik: Meneguhkan Jati Diri Bangsa

Dengan demikian, pertandingan yang berakhir dengan kemenangan di malam yang sakral itu bukanlah sekadar hiburan. Ia adalah sebuah ritual kebangsaan yang kuat. Doa-doa untuk kemenangan timnas yang dipanjatkan di sela-sela lantunan takbir adalah wujud sinkretisme positif antara keyakinan spiritual dan cinta tanah air yang akhirnya membawa Indonesia melenggang ke ronde ke-4. Ini adalah bentuk ibadah nasionalisme, di mana pengorbanan para atlet di lapangan disambut dengan pengorbanan ego sektoral oleh para pendukungnya, yang bersatu dalam satu suara, satu harapan, dan satu kebanggaan.

Pada akhirnya, peristiwa ini menegaskan sebuah kebenaran penting. Sepak bola di Indonesia bukanlah lagi hanya tentang olahraga. Ia telah berevolusi menjadi instrumen sosial yang vital. Di tengah keragaman dan situasi politik yang bisa menjadi sumber perpecahan, sepak bola berfungsi sebagai tali pengikat nasionalisme dan menjadi perekat harmoni keagamaan. Ia membuktikan bahwa di lapangan hijau, sebagaimana di hadapan Tuhan saat Idul Adha, kita semua adalah satu: Indonesia.

————– *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru