Galian kabel fiber optik, pipa PDAM, dan jaringan listrik bawah tanah ditanam dengan presisi di tengah efisiensi anggaran di Kabupaten Nganjuk, kemarin.
Pemkab Nganjuk- Bhirawa.
Di tengah seruan efisiensi fiskal 2026 yang kerap terdengar seperti alarm pemangkasan, sebuah pemandangan di sudut kota justru menyuguhkan tafsir lain tentang masa depan keuangan daerah. Galian rapi, beton pracetak tersusun, kabel fiber optik, pipa PDAM, dan jaringan listrik bawah tanah ditanam dengan presisi. Sepintas tampak teknis. Namun sesungguhnya, di sanalah gagasan besar sedang bekerja.
Ini bukan sekadar proyek infrastruktur. Ini adalah contoh bagaimana OPD berlomba berinovasi menjadikan anggaran sebagai pengungkit peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ducting terpadu yang dibangun bukan untuk ditutup laporan, melainkan disewakan. Fiber optik ISP membayar pemanfaatan ruang bawah tanah. Jaringan PDAM dan listrik tertata tanpa semrawut udara. Kota menjadi lebih aman, lebih estetik, danāyang paling jarangālebih menghasilkan. Anggaran tidak lagi berhenti pada serapan, tetapi berlanjut menjadi arus balik pendapatan.
Di sinilah makna anggaran berbasis kinerja menemukan wujudnya. Kinerja tidak diukur dari panjang galian atau tebal beton, melainkan dari nilai ekonomi yang tumbuh setelah proyek selesai. OPD tak lagi sekadar pelaksana belanja, melainkan arsitek aset daerah.
Pendekatan ini mematahkan stigma lama bahwa efisiensi identik dengan penghematan pasif. Justru sebaliknya, efisiensi menjadi tantangan kreativitas fiskal: bagaimana setiap rupiah APBD bekerja lebih lama, lebih cerdas, dan memberi hasil berulang. Infrastruktur multiguna menjawab ituātanpa menaikkan tarif layanan publik, tanpa membebani warga.
āAwalnya melihat wajah perkotaan Nganjuk yang semrawut, kabel listrik, kabel fiber optik dari beberapa penyedia jasa internet, belum di tambah dengan tiang-tiang besi yang memakan ruas milik jalan (rumija), lantas timbul ide kenapa tidak di tanam saja di sistem drainase u ditch saja. sehingga tata kota terlihat nyaman dan estetik,ā ungkap Onny, Plt Kepala Dinas PUPR, saat ditemui Jumat (19/12/2025).
āPada dasarnya kami hanya melaksanakan Peraturan Bupati Nganjuk Nomor 21 Tahun 2025
tentang
Pemanfaatan Ruang Milik Jalan (Rumija) untuk jaringan fiber optik dan jalan keluar masuk, itu saja, sehingga diharapkan anggaran dari Pengadaan ini dapat berkontribusi menjadi PAD,ā tambah Onny.
Kisah ini memberi inspirasi: jika satu OPD bisa, yang lain pun seharusnya bisa. Dari parkir cerdas, pemanfaatan aset idle, hingga kolaborasi layanan digitalāruang inovasi terbentang lebar. APBD pun bertransformasi: bukan lagi buku kas tahunan, melainkan peta masa depan pendapatan daerah.
Di OPD lain Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sedang sibuk menggelar pelatihan peningkatan keahlian (add value skills), mereka menggelar berbagai kursus ketrampilan mulai dari menjahit, potong rambut, kuliner hingga servis hp. Pesertanya beragam dari remaja lulusan SMU/SMK, droup out anak SMP, Pengangguran hingga pekerja yang baru saja di PHK.
Hanya 25 hingga 50 peserta yang di bina dibawah Depnaker tisp tahunnya, selain menambah ketrampilan, Depnaker juga memberi peralatan untuk menunjang ketrampilan yang mereka seperti alat cukur listrik 1 set untuk peserta pelatihan cukur rambut sehingga do harapkan mereka dapat berwira swasta dengan membuka barber shop atau saloon. Mesin jahit untuk peserta menjahit.
Jika satu OPD menanam beton untuk memanen PAD, OPD lain memilih ladang yang lebih sunyi namun tak kalah strategis: manusia.
Di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, efisiensi tidak diterjemahkan sebagai penghematan meja rapat, melainkan percepatan keterampilan. Di ruang-ruang pelatihan, deru mesin jahit bersahutan dengan bunyi gunting rambut. Aroma dapur pelatihan kuliner bercampur dengan cahaya layar ponsel yang dibongkar-pasang. Di sanalah add value skills sedang ditanam.
Negara, lewat OPD, hadir bukan dengan belas kasihan, melainkan alat kerja.
Pelatihan menjahit bukan sekadar kursus, tetapi jalan menuju usaha rumahan. Potong rambut membuka pintu ekonomi mikro yang tahan krisis. Kuliner mengubah dapur menjadi sumber nafkah. Servis ponsel, ironisnya menjadi penopang hidup di era paling digital yang pernah ada. Ini bukan romantisme vokasi; ini strategi sosial-ekonomi.
Dalam kacamata kebijakan publik, inilah sisi lain dari anggaran berbasis kinerja. Jika OPD teknis memanen PAD secara langsung, Disnaker menanam PAD tidak langsung: menurunkan pengangguran, mengurangi beban bansos, memperluas basis pajak, dan menjaga daya beli. Efeknya memang tidak instan, tapi berkelanjutan.
Kedua pendekatan ini bertemu pada satu titik: anggaran harus bekerja lebih cerdas dari sekadar habis dibelanjakan. Beton menghasilkan sewa. Keterampilan menghasilkan nafkah. Satu memperkuat kas daerah, yang lain menyehatkan struktur sosial.
Inilah wajah baru kompetisi OPD yang patut dirawat:
bukan lomba menyerap anggaran, melainkan adu inovasi menciptakan nilai.
Jika pola ini konsisten, daerah tidak hanya bertahan dalam tekanan fiskal. Ia melangkah maju. Dengan kabel yang tertanam rapi, dan keterampilan yang tumbuh di tangan warganya, pembangunan tak lagi berdiri di atas laporan, melainkan di atas martabat dan keberdayaan. (dro.hel)


