28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Drupadi Tak Mau Menangis Lagi

Aku duduk di depan cermin, mencoba mengenali perempuan yang menatapku balik dengan mata yang tak lagi basah.

Wajahnya masih sama-garis-garis lelah di sekitar mata, kulit yang tak sempurna, bibir yang pernah digigit diam. Tapi ada sesuatu yang telah berubah. Bukan wajahku, tapi caraku memandangnya.

Namaku Drupadi.
Itu bukan nama pemberian orang tuaku. Itu nama yang kutemukan sendiri, suatu malam ketika aku tak lagi bisa membedakan diriku dari cerita-cerita yang menenggelamkanku. Mereka bilang aku terlalu sensitif. Terlalu mudah menangis. Terlalu rumit dipahami. Terlalu vokal. Terlalu perempuan.

Dunia di luar kamarku sedang ramai bicara tentang emansipasi, perayaan tubuh, perempuan yang boleh memilih jalannya sendiri. Tapi aku tahu, di sudut-sudut ruang yang tidak diliput media, banyak perempuan yang masih dipatahkan dengan senyap. Dibalut kata-kata manis, nasihat lembut, cinta yang katanya tulus. Tapi tetap saja luka.

Aku pernah menangis-lebih sering dari yang bisa kuhitung. Dalam tidurku, di kamar mandi, dibalik layar laptop, di ruang konseling yang dingin dan penuh bunga plastik. Tapi hari ini, aku tidak mau menangis lagi. Bukan karena luka itu sudah sembuh. Tapi karena aku ingin berhenti jadi korban yang dikenang karena air mata.

Tapi tak seorang pun benar-benar tahu. Karena air mata perempuan tak selalu berarti apa-apa di dunia yang terlalu sibuk menjelaskan kenapa kami menangis, alih-alih mendengarkannya.

Berita Terkait :  DPD RI Nyatakan PHK Massal Industri Media, Alarm Bagi Demokrasi

Aku pernah mencintai. Lelaki yang katanya baik. Lelaki yang pernah berjanji akan melindungiku dari dunia. Tapi aku tak tahu, ternyata ia juga bagian dari dunia yang harus aku waspadai.

Ia tidak pernah menyentuhku dengan kekerasan. Tidak. Ia menyentuhku dengan diam. Dengan tatapan yang mengecilkan. Dengan kata-kata yang seperti pujian, tapi mengiris.

“Perempuan sepertimu terlalu kuat untuk dicintai tanpa takut,” katanya suatu malam.

Aku pernah bersuara, tapi disuruh menenangkan diri. Pernah mengadu, tapi diminta memahami. Pernah menghilang, tapi tak ada yang mencariku. Aku jadi tahu, bahwa hilang bukan berarti dicari. Kadang hilang berarti dibebaskan dari ketidaknyamanan orang lain.

Aku jadi perempuan yang tahu caranya menyembunyikan luka di balik kesibukan. Aku bekerja, aku tersenyum, aku mengirim emoji di grup WhatsApp keluarga. Tapi di malam hari, aku selalu mendengar suara kecil dalam kepalaku:

“Sampai kapan kamu akan bertahan menjadi seseorang yang tidak pernah dipeluk oleh keberpihakan?”

Aku muak jadi lambang ketegaran. Muak jadi kisah yang dibacakan dengan suara lembut di seminar-seminar bertema “perempuan yang menginspirasi.”

Muak jadi testimoni dari luka yang orang lain pakai sebagai pelajaran, tapi tak pernah mereka obati.

Aku tidak ingin jadi simbol penderitaan yang dikemas manis dalam paragraf motivasi. Aku ingin menjadi manusia yang boleh marah, boleh kecewa, boleh diam, dan tetap tak perlu meminta maaf karena semua itu.

Berita Terkait :  Subandi Berikan 42 Fasilitas HT Kepada Pimpinan OPD

Orang-orang bilang aku kuat. Tapi mereka tak pernah benar-benar melihatku saat tubuhku menggigil dalam gelap, saat aku memeluk diriku sendiri seperti mencoba menambal sesuatu yang retak sejak lama. Mereka hanya melihat bagian dari diriku yang sudah aku tata agar bisa ditoleransi.

Aku memutuskan berhenti menangis bukan karena rasa sakit itu hilang. Tapi karena aku tak ingin luka itu dijadikan panggung oleh orang-orang yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya ditelanjangi-bukan di depan istana, tapi di depan orang-orang yang kita cintai. Ditelanjangi bukan dengan tangan, tapi dengan kata-kata. Dengan sorot mata. Dengan tuntutan agar tetap tegar dan sabar.

Sekarang, aku bicara. Atau menulis. Atau hanya duduk diam dengan dada yang terbuka, dan mata yang tidak menunduk. Bukan untuk memaafkan dunia. Tapi untuk memberitahu dunia bahwa aku ada, dan aku tidak akan lagi menyembunyikan diriku agar terasa nyaman dilihat.

Aku tahu, mungkin aku tetap akan dianggap berlebihan. Atau terlalu tajam. Atau terlalu perempuan.

Tapi kali ini, aku tidak peduli. Karena untuk pertama kalinya, aku merasa utuh. Meski retak. Meski sendiri. Karena untuk pertama kalinya, aku berhenti mengukur nilai diriku dari siapa yang menyayangiku atau siapa yang menolakku.

Kini, aku tidak lagi menangis.
Bukan karena tidak sakit. Tapi karena aku tidak ingin terus menjadi kisah tragis yang kalian ulang-ulang tanpa pernah kalian pahami.

Berita Terkait :  DPRD Jatim Minta Masyarakat Waspada Beras Oplosan, Dukung Langkah Tegas Kementan

Aku ingin disebut bukan karena air mataku, tapi karena caraku berdiri ketika dunia ingin menjatuhkanku dengan pelan, halus, dan teratur.

Jika dulu aku ditelanjangi di istana, hari ini aku memilih mengenakan keberanianku. Jika dulu aku diseret dan didiamkan, hari ini aku melangkah meski dengan lutut gemetar.

Namaku Drupadi. Dan kali ini, aku memilih berdiri.

— SELESAI —

Nama : Jasmine Austryn
Nama pena : J.A. Bestari
Alamat : Jl. Luntas No.7, RT.002/RW.08, Pacar Keling, Kec. Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur 60131

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru