Sumenep, Bhirawa
DPRD Sumenep meminta Pemerintah Kabupaten setempat agar mensosialisasikan dan mengawal pelaksanaan naiknya break event poin (BEP) atau titik impas harga tembakau tahun 2024 ini. Pasalnya, akan menjadi percuma ada kenaikan jika tidak ada sosialisasi dan pengawalan bagi masyarakat. Karena, tidak banyak para petani yang mengetahui hal tersebut.
Anggota Komisi II DPRD Sumenep, Juhari mengatakan, Pemkab Sumenep harus lebih intens mensosialisasikan break event poin (BEP) atau titik impas harga tembakau kepada petani tembakau dan juga perlu dilakukan pengawalan khusus atas hal tersebut agar kenaikan BEP ini tidak sia-sia. “Pemkab melalui Diskop UKM dan Perindag juga perlu mengawal proses tata niaga tembakau tahun ini supaya berpihak kepada petani,” kata Juhari Senin (12/08).
Pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah daerah yang telah menaikkan BEP tersebut. Namun, upaya pemerintah tidak hanya sampai disitu, melainkan pengawalan tata niaga tembakaunya juga sangat perlu. “Kami sangat mengapresiasi kepada Pemkab, tahun ini BEP-nya naik. Tapi, yang terpenting adalah pengawalannya di bawah,”ujarnya.
Politisi PPP ini juga mengingatkan agar proses penyerapan tembakau ke gudang-gudang atau perwakilan pabrikan dimaksimalkan. Monitoring jangan hanya sekedar formalitas, tapi Tim Pemkab perlu memastikan realisasi penyerapan dan harga tembakau, apakah sesuai dengan mekanisme yang ada. ‘Pemkab Sumenep harus benar-benar hadir mengawal tata niaga tembakau agar petani tidak rugi tahun ini,” harapnya.
Sebelumya, Pemkab Sumenep resmi menetapkan break event point (BEP) atau titik impas harga pembelian tembakau 204. Sesuai Surat Keputusan Bupati Sumenep Nomor 188 /252/kep/435.013/2024 tentang titik impas, harga tembakau untuk gunung Rp. 66.983 per Kg, tegal Rp. 61.604 per Kg, dan sawah Rp. 46.142 per Kg.
Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan (Diskop UKM dan Perindag) Sumenep, Moh. Ramli menyampaikqn, titik impas harga tembakau 2024 naik naik dibanding 2023 lalu. “Dibanding tahun lalu, tahun ini secara umum naik, bervariasi antara tembakau gunung, tegas, dan sawah, tapi kisaran kenaikannya di atas 15 persen,” kata Ramli.
Ramli menjelaskan, BEP atau biaya pokok produksi (BPP) yang ditetapkan Pemkab merupakan implementasi dari Peraturan Bupati tentang Penatausahaan Pembelian Tembakau dan Perda Nomor 6 tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan pembelian dan pengusahaan tembakau.
Penetapan BEP ini melibatkan berbagai pihak terutama unsur perwakilan petani dan pedagang atau pengusaha tembakau. “BEP atau titik impas merupakan harga minimal yang dihitung dengan berdasarkan beberapa indikator kebutuhan produksi diantaranya biaya tanam, pupuk, jasa pekerja, dan proses panen,” jelasnya.
Dengan demikian, titik impas harga tembakau bukan patokan harga penjualan, melainkan sebagai referensi kepada petani dan pelaku usaha tembakau bahwa dengan harga tersebut petani tidak rugi, tapi juga tidak untung. “Dengan BEP ini, petani tahu jika dengan harga dibawah BEP, penjual tembakaunya jelas rugi, sehingga bisa memilih opsi atau alternatif lain. Untuk pedagang, diharapkan ada kepedulian agar tidak membeli di bawah titik impas tersebut,” imbuhnya. [Sul.wwn]