Oleh :
Zainal Muttaqin
adalah Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur.
Beberapa hari lalu, momen pertukaran kenangan kenegaraan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi peristiwa yang tak hanya politis, tetapi juga simbolis secara budaya.
Dalam pertemuan bilateral di Istana Constantine, St.?Petersburg, Putin bahkan membeberkan bahwa buku karya Prabowo, Kepemimpinan Militer, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan diterbitkan secara resmi oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia sebagai koleksi bagi Putin sendiri. Putin menyampaikan: “Bapak Presiden, selama Bapak sebagai Menteri Pertahanan menulis buku mengenai Kepemimpinan Militer, kami menerjemahkan ke bahasa Rusia dan menerbitkannya untuk koleksi Bapak Presiden.”
Di tengah keramaian diplomasi mutakhir, tawaran nuklir damai, kerjasama AI, hingga pedang perwira dan koin simbol persahabatan, buku justru muncul sebagai hadiah yang menegaskan dimensi intelektual dan simbolik dari interaksi antar negara. Ini bukan sekadar pertukaran cenderamata, melainkan pengakuan pada legitimasi budaya dan wacana negara melalui medium tertulis.
Tindakan Putin tersebut membuka jendela penting bagi kita. Buku tak hanya menjadi cerminan gagasan yang dibangun dalam negeri, tapi juga sarana diplomasi budaya yang berdaya ekspor nilai dan reputasi. Ketika karya seperti Kepemimpinan Militer bisa diterjemahkan, diluncurkan di negara lain, dan menjadi bagian dari koleksi kepresidenan, kita dihadapkan pada realitas bahwa Diplomasi Buku bukan sekadar istilah retoris, melainkan strategi reputasi yang nyata, global, dan berpengaruh.
Diplomasi yang Mengikat
Diplomasi Buku bukan sekadar soal mencetak laporan tahunan dalam versi mewah. Ia jauh lebih dari itu. Buku merupakan pernyataan intelektual bahwa sebuah organisasi tak hanya bergerak dan bekerja, tapi juga berpikir dan merefleksi. Ketika sebuah institusi menulis buku, ia sedang menunjukkan kepada dunia bahwa mereka punya gagasan, punya sejarah, dan punya nilai yang layak dibagikan.
Di era komunikasi serba cepat, kita terlalu akrab dengan narasi pendek. Pesan-pesan instan membanjiri ruang digital. Namun dalam derasnya informasi singkat, kebutuhan akan cerita yang utuh justru semakin terasa. Buku hadir sebagai antitesis dari kebisingan itu. Ia menyodorkan kedalaman. Ia mengajak kita berpikir pelan-pelan, menelusuri proses, memahami konteks, dan merenungi makna. Buku menjadi ruang tenang di tengah riuhnya dunia yang serba tergesa-gesa.
Organisasi yang menerbitkan buku akan lebih mudah dikenali sebagai entitas yang serius, reflektif, dan punya arah. Buku memberi kesan bahwa lembaga tersebut tidak sekadar mengejar citra sesaat, tetapi juga peduli pada warisan nilai dan jejak pemikiran jangka panjang. Buku memperlihatkan bahwa organisasi tidak hanya ingin tampil, tapi ingin bermakna. Bahwa mereka tidak hanya ingin hadir, tapi ingin dikenang.
Bukan Sekedar Dokumen
Buku adalah ruang di mana organisasi berbicara tentang siapa mereka sebenarnya. Ia bukan sekadar laporan kegiatan atau daftar tulisan bersama. Dalam buku, organisasi bisa menyampaikan filosofi, alasan di balik setiap kebijakan, serta semangat di balik setiap pencapaian. Buku memungkinkan publik melihat organisasi sebagai entitas yang hidup, tumbuh, dan belajar.
Isinya pun bisa beragam. Buku dapat berisi dokumentasi perjalanan organisasi, kisah perubahan yang terjadi dari masa ke masa, refleksi kebijakan, kumpulan tulisan pemimpin dan staf, testimoni dari mitra, atau bahkan kisah-kisah inspiratif yang lahir dari lapangan. Semua ini bila disusun dengan bahasa yang menyentuh dan data yang akurat, akan menjelma menjadi alat komunikasi yang kuat. Ia tidak menjual, tapi meyakinkan. Ia tidak membujuk, tapi menggerakkan.
Lebih dari sekadar membangun citra, buku juga bisa menjadi alat konsolidasi internal. Ketika para pegawai atau pengurus membaca buku yang mereka ikut kontribusikan, mereka akan merasa memiliki. Buku menjadi cermin kolektif atas perjalanan bersama. Ia mempersatukan gagasan dan memperkuat kebanggaan institusional.
Menjawab Budaya Instan
Hari ini kita hidup dalam budaya visual yang kuat. Segala hal diringkas dalam bentuk infografis, caption singkat, dan video berdurasi pendek. Di balik kenyamanan itu, ada sisi yang hilang yaitu kedalaman pemikiran. Publik kerap hanya melihat hasil, bukan proses. Mereka tahu apa yang dilakukan organisasi, tapi tidak memahami mengapa itu dilakukan, atau bagaimana jalan panjang menuju capaian tersebut.
Di sinilah buku mengambil peran penting. Ia memberi ruang bagi penjelasan, bagi refleksi, dan bagi dialog intelektual. Buku memperlihatkan kompleksitas, bukan menyederhanakan secara berlebihan. Dalam konteks ini, Diplomasi Buku menjadi jawaban atas tantangan zaman. Ia mengajarkan bahwa untuk dikenal secara benar, organisasi perlu menceritakan dirinya secara jujur dan utuh.
Mulai dari Sekarang
Tentu menyusun buku bukan perkara ringan. Dibutuhkan kemauan untuk mendokumentasikan, menulis, menyunting, dan menerbitkan. Namun di balik upaya itu, tersimpan kekuatan yang tak ternilai. Buku bisa membuka banyak pintu: kepercayaan publik, apresiasi mitra, hingga perhatian kalangan akademik. Buku bisa menjadi alat pendidikan internal sekaligus duta kehormatan organisasi di mata dunia luar. Buku tidak hanya mencatat apa yang sudah terjadi, tetapi juga bisa membentuk arah ke depan.
Momen untuk memulai bisa kapan saja. Perayaan hari jadi organisasi, transisi kepemimpinan, peluncuran program baru, atau refleksi atas capaian tertentu adalah waktu yang tepat untuk mulai menulis. Bahkan laporan akhir tahun pun bisa dikembangkan menjadi buku naratif yang bernyawa, asal disusun dengan visi jangka panjang.
Langkah awal bisa dimulai dari yang sederhana misalnya menyusun kerangka narasi, membentuk tim dokumentasi kecil, mengumpulkan tulisan, testimoni, dan dokumentasi visual, lalu menyusunnya secara bertahap. Buku tidak harus sempurna, tidak harus tebal. Yang penting, jujur dan reflektif. Jika perlu, libatkan penulis profesional atau penerbit terkemuka untuk membantu mengemasnya.
Organisasi dapat merencanakan satu buku dalam satu tahun sebagai proyek strategis. Dalam jangka panjang, jejak buku-buku itu akan menjadi museum naratif yang berharga, yang merekam bukan hanya peristiwa, tapi juga semangat zaman.
Warisan yang Bermakna
Bayangkan sebuah generasi baru yang ingin mengenal organisasi Anda satu dekade ke depan. Apa yang akan mereka temukan? Apakah hanya jejak digital yang berserakan, atau sebuah buku yang dengan bangga memperkenalkan siapa Anda, apa yang pernah Anda lakukan, dan nilai-nilai apa yang Anda perjuangkan?
Buku adalah warisan. Ia melampaui masa jabatan, tren, bahkan struktur organisasi yang terus berubah. Buku menyimpan pesan dari masa lalu untuk masa depan. Ia menjadi pengingat, penuntun, dan penguat identitas.
Organisasi yang bijak bukan hanya yang pandai membuat program, tetapi juga yang pandai menulis dan menyampaikan narasi. Dalam buku, nilai organisasi diikat dalam cerita. Di situlah reputasi dibangun bukan dari suara keras, tetapi dari suara yang tenang dan berdampak.
Diplomasi Adpim Jatim
Di awal tahun lalu, Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur menerbitkan sebuah buku berjudul Inspirasi Humas Jatim: Best Practice Pengelolaan Komunikasi Publik di Pemprov Jawa Timur. Buku ini bukan sekadar dokumentasi kerja kehumasan, tetapi juga cara elegan untuk memperkenalkan wajah Humas Pemprov Jatim kepada publik sebagai institusi yang kreatif, berpikir strategis, dan membuka diri melalui narasi.
Buku tersebut terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama berjudul “Executive Said” memuat tulisan dari para pimpinan Pemprov Jatim. Mereka berbagi pandangan tentang pentingnya membangun iklim komunikasi yang sehat dan menjalin hubungan berkelanjutan dengan media. Tulisan-tulisan ini memperlihatkan bagaimana komunikasi publik dipahami sebagai bagian penting dari tata kelola pemerintahan yang modern dan terbuka.
Bagian kedua, “Expertise Notes”, diisi oleh para pakar ilmu komunikasi dan praktisi public relations. Mereka menulis tentang teori dan konsep komunikasi publik dengan pendekatan yang relevan bagi pemerintahan daerah. Meskipun berasal dari dunia professional PR, bahasa yang digunakan tetap ringan dan aplikatif. Bagian ini menjadi penguat bahwa pengelolaan komunikasi publik memang perlu landasan pemikiran yang kuat, bukan hanya mengandalkan intuisi dan kebiasaan.
Bagian ketiga, “GPR Experience”, berisi tulisan para pranata humas di lingkungan Pemprov Jatim. Mereka menuturkan pengalaman langsung saat mendampingi pimpinan, mengelola pemberitaan, menyusun materi komunikasi, hingga menghadapi krisis informasi. Gaya tulisannya naratif dan personal membuat pembaca merasakan tantangan sekaligus dinamika kerja kehumasan di balik layar.
Menariknya, sebagian besar tulisan di bagian Expertise Notes dan GPR Experience awalnya dimuat dalam rubrik “GPR Corner” di Majalah Prasetya, media bulanan yang diterbitkan oleh Bagian Materi dan Komunikasi Pimpinan Biro Adpim. Tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dari edisi Juli 2024 hingga Januari 2025, lalu dikurasi dan dikembangkan menjadi satu buku utuh.
Di sisi lain, buku ini juga digunakan oleh Biro Administrasi Pimpinan sebagai bentuk pengenal kelembagaan. Ketika buku ini diberikan kepada tamu, mitra, atau pihak eksternal, bukan hanya informasi yang dibagikan tetapi juga kesan yang ditanamkan. Buku ini menjadi simbol bahwa Biro Adpim sebagai humas pemerintah provinsi tidak hanya aktif secara teknis, tetapi juga produktif secara intelektual. Inilah produk informasi kreatif yang sekaligus memancarkan citra institusi yang berpikir dan bergerak dengan visi.
Lewat Inspirasi Humas Jatim, Biro Adpim menunjukkan bahwa diplomasi kelembagaan bisa dilakukan dengan cara yang tenang, reflektif, namun kuat. Buku ini bukan sekadar karya tulis, ia adalah narasi reputasi yang hidup, yang bisa dibaca, dibagikan, dan dikenang.
Mari Menulis Buku
Menulis buku kelembagaan bukan tentang mencari pujian. Ia adalah tanggung jawab moral dan historis. Organisasi yang baik tidak hanya meninggalkan angka dan grafik, tetapi juga narasi dan makna. Karena itulah, buku menjadi medium yang sangat layak dihidupkan kembali di tengah praktik komunikasi kelembagaan masa kini.
Reputasi bukan sekadar hasil dari pencitraan. Ia lahir dari konsistensi, integritas, dan cara organisasi merawat cerita tentang dirinya sendiri. Buku adalah cara paling beradab untuk memperkenalkan organisasi kepada publik, dan pada saat yang sama, menjadi warisan untuk generasi berikutnya.
Karena itu, jika organisasi Anda ingin dikenang tidak hanya karena programnya, tetapi juga karena nilainya; tidak hanya karena pencapaiannya, tetapi juga karena pemikirannya, maka mulailah menulis. Dokumentasikan gagasan, rekam perjalanan, dan terbitkan buku. Karena saat Anda memberikan sebuah buku, anda tidak sedang membagikan kertas, tapi anda sedang menitipkan nama baik.
————— *** ——————-


