Kabupaten Malang, Bhirawa
Wali murid ditingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Malang mempertanyakan penjualan buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Penjulan buku LKS tersebut diduga instruksi dari Dinas Pendidikan (Dindik) kabupaten setempat.
Padahal berdasarkan peraturan Perundang-undangan, Dindik seharusnya menyediakan buku pelajaran dan bahan ajar lainnya secara gratis atau dengan harga yang terjangkau bagi siswa.
Penjualan buku LKS oleh Dinas Pendidikan kepada siswa dapat dianggap sebagai pungutan liar (pungli), yang dilarang oleh peraturan Perundang-undangan. Dindik seharusnya memastikan bahwa semua siswa memiliki akses yang sama terhadap bahan ajar yang dibutuhkan, tanpa membebani mereka dengan biaya yang tidak wajar. Sedangkan penjualan buku LKS diatur dalam beberapa peraturan menteri dan Undang-Undang (UU).
Salah satu wali murid SDN di wilayah Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, yang tidak mau disebutkan namanya, Rabu (6/8), mengeluhkan masalah ini kepada wartawan, ada beberapa poin penting terkait penjualan buku LKS, seperti adanya larangan penjualan buku di sekolah, hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku, pada pasal 11, yakni melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik. Selain itu, Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan juga melarang penerbit menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan pendidikan.
Sementara, tempat penjualan buku LKS yang diizinkan yakni melalui toko buku atau sarana lain yang tidak berada di lingkungan sekolah. Dan di Pasal 64 ayat (1) UU Sistem Perbukuan menyebutkan bahwa penjualan buku teks pendamping dan buku nonteks dilakukan melalui toko buku danatau sarana lain.
“Jika dilanggar, maka akan dikenakan sanksi administratif, seperti peringatan tertulis atau pencabutan izin usaha. Selain itu, pelaku usaha yang melakukan praktik penjualan buku LKS secara ilegal juga dapat dikenai sanksi pidana,” terangnya.
Ia meminta Pemkab Malang melakukan pengawasan terhadap Dindik Kabupaten Malang. Sementara, Dindik memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan menegakkan aturan guna memastikan bahwa hak-hak siswa terpenuhi dan tidak ada praktek pungli yang merugikan siswa dan wali murid. Dan dalam konteks yang lebih luas, peraturan-peraturan itu bertujuan untuk melindungi siswa dan orang tua.
“Namun sebaliknya, Dindik Kabupaten Malang menginiasi untuk penjualan buku LKS melalui Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), yang saat itu digelar seminar yang bertajuk Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA), di salah satu hotel berbintang di wilayah Kota Malang, pada bulan lalu,” ungkap dia.
Perlu diketahui, dalam acara seminar tersebut menghadirkan 685 Kepala Sekolah (Kasek), terdiri dari 363 Kasek SMP Negeri dan swasta, serta 322 Kasek SD Negeri. Sedangkan buku LKS tersebut diterbitkan Penerbit Erlangga, yang dikenal sebagai penerbit buku sekolah, menjadi penyedia materi sekaligus pelaksana seminar tersebut.
Di tengah-tengah seminar itu, muncul aktivitas yang mengundang tanya para Kasek, yang mana diminta untuk mengisi daftar pesanan buku bertema KKA. Para sales dari Penerbit Erlangga berkeliling mendatangi meja peserta untuk mendata pemesanan buku berjudul Explore Koding dan Kecerdasan Artifisial.
“Buku yang ditawarkan kepada para Kasek dibandrol sebesar sebesar Rp 90 ribu per eksemplar dengan harga reguler. Sehingga hal ini menjadi kontroversi, karena pada dasarnya, mata pelajaran KKA untuk SD dan SMP adalah mata pelajaran pilihan bukan wajib,” jelas salah satu Kasek SDN di wilayah Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, yang juga namanya tidak mau dicantumkan. [cyn.wwn]


