Urusan haji (dan umroh) yang tidak mudah, akan dilaksanakan oleh Kementerian khusus. Selama ini (80 tahun) urusan haji dibawah Kementerian Agama, melalui Direktorat Jenderal. Serta baru dibentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan belum pula mulai bekerja. Kini DPR-RI bersama pemerintah, telah sepakat pembentukan Kementerian Urusan Haji dan Umroh (KUHU). Diharapkan KUHU akan lebih fokus dan bekerja secara lex specialist melayani pelaksanaan ibadah haji.
Pemerintah (termasuk rezim kolonial) selalu sebagai regulator sekaligus pelaku tunggal penyelenggaraan haji. Walau sebenarnya pemerintahan kolonial lebih bertujuan negasi terhadap penyelenggaraan haji. Maka diterbitkan Ordonantie Haji tahun 1859, berisi menyulitkan calon jamaah haji. Karena wajib memperoleh izin dari pemerintah daerah (Bupati). Setelah pulang haji, juga wajib mengikuti ujian pemerintah Kolonial. Kalau tidak lulus (indikasi terpapar ideologi melawan pemerintah kafir) akan dedenda sebesar 25 gulden sampai 100 gulden.
Artinya, sejak zaman Kolonial calon jamaah haji sudah menjadi obyek pemerasan pajak khusus, dan pemerasan lain di berbagai urusan. Diperas dalam mengurus izin perjalanan haji. Juga diperas pula dalam pembelian tiket kapal barang, dengan harga mahal tetapi pelayanan sangat minimalis. Maka berangkat haji pada zaman Kolonial, sudah harus siap kelaparan, siap sengsara, sampai siap mati. Sehingga keluarga calon jamaah haji memberlakukan tahlil dan doa-doa menghantar orang mati, pada tiap pemberangkatan haji. Penuh derai air mata.
Penyelengaraan haji oleh Pemerintahan Indonesia (pasca-kemerdekaan), dimulai tahun 1948. Serta sistem kuota diberlakukan mulai tahun 1952. Tetapi belum terdapat antrean panjang. Daftar dan berangkat bisa pada tahun yang sama. Serta tidak terdapat ke-istimewa-an haji khusus. Belum terdapat visa mujamalah (undangan khusus pemerintaharab Saudi). Juga belum terdapat istilah haji furoda’ (haji kilat, bertarif mahal). Semua calon jamaah haji, naik kapal yang sama. Ber-iringan beberapa kapal, dikawal tentara.
Hebatnya, penyelenggaraan haji pemerintah RI, bisa melakukan efisiensi. Sampai pada tahun 1994, digagas ide manfaat tabungan haji. Pada tahun 1998, efisiensi biaya haji yang terkumpul sebesar Rp 322 milyar. Padahal jumlah jamaah haji tahun 1998 sebanyak 180 ribu orang. Sampai tahun 2025, jumlah tabungan hasil efisiensi haji telah sebesar Rp 188 trilyun lebih. Ironisnya, konon sejak tahun 2011, pemerintah mulai memberikan “subsidi” haji. Dimulai dengan angka Rp 1,3 juta per-jamaah. Pada tahun 2025, “subsidi” haji rata-rata mencapai Rp 34 juta per-jamaah.
“Subsidi” haji, dan berbagai problema ke-haji-an, telah dirangkum dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) oleh Panitia Kerja DPR-RI. Berbagai masalah digodok bersama pemerintah, sebagai bahan revisi UU Haji dan Umroh, akan selesai, dan disahkan pada Agustus 2025. DIM sekaligus akan menjadi arahan dalam Kementerian Urusan Haji dan Umroh (KUHU). Sebagai Kementerian baru, tercantum dalam revisi UU Haji, diatur khusus pada pasal 21, pasal 22, dan pasal 23, dengan berbagai ayat.
Sebagai Kementerian baru, KUHU akan disesuaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 Tentang Kementerian Negara (Perubahan UU Nomor 39 Tahun 2008). Terutama berkait penataan kebutuhan SDM (Sumber Daya Manusia), termasuk jenis jabatan. Serta transisi tugas dan fungsi BPH, dan Ditjen Haji dan Umroh. Juga kaitan dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Tetapi terdapat DIM yang wajib dicermati Panja DPR dan Pemerintah. Terutama pelayanan kepada jamaah haji Indonesia, khususnya di Armuzna (Arofah, Muzdhalifah, dan Mina). Selama ini ke-tidak nyaman-an yang dialami jamaah, dan wan-prestasi layanan syarikah harus diterima sebagai “takdir.”
——— 000 ———


