Oleh :
Lilik Hendarwati
Ketua Fraksi PKS DPRD Provinsi Jawa Timur
Kita patut bersyukur, tahun 2024 adalah untuk keempat belas kalinya Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapatkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau (Unqualified Opinion). Secara formil, hasil ini menunjukkan bahwa tata kelola keuangan daerah Pemeirntah Provinsi Jawa Timur selama ini sudah berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan prinsip-prinsip good governance dan clean goverment. Predikat LHP BPK ini setidakanya menjadi salah satu indikator positif, bahwa secara administratif, manajemen pengelolaan keuangan daerah sudah sesuai dengan standar keuangan dan akuntansi Pemerintahan (SAP).
Prestasi ini setidaknya juga dapat dijadikan sebagai spirit, kredibilitas dan moralitas bagi pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama DPRD untuk terus meningkatkan kinerja manajemen keuangan daerah yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu, ini dapat mendorong pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk terus melakukan perbaikan dan pembenahan sistem, mekanisme dan prosedur keuangan daerah serta peningkatan kemampuan, ketrampilan dan moral personalianya.
Namun demikian, satu hal yang perlu kita cermati dan sadari bersama bahwa status LHP BPK dengan predikat WTP, bukan berarti tata kelola keuangan daerah benar-benar bersih atau bebas dari tindakan tindakan korupsi. Kasus Kredit fiktif yang terjadi di Bank Jatim Cabang Jakarta menjadi salah satu contohnya. Kasus ini diduga merugikan keuangan daerah sebesar Rp 569,4 miliar. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung proyek-proyek yang didanai melalui kredit modal kerja, tetapi pada kenyataannya, proyek-proyek tersebut tidak pernah ada. Capaian opini WTP terus -menerus dari BPK menjadi kurang bermakna, jika masih ada dan muncul kasus atau Tindakan moral hazard (koruptif) dalam tata Kelola keuangan daerah. Kerana itu, kasus ini dan kasus-kasus sejenis lainnya harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, jangan sampai kasus serupa terjadi kembali. Diperlukan pembersihan dan evaluasi menyeluruh terhadap tata Kelola keuangan daerah yang ada di lingkungan Organsiasi Perangkat Daerah atau di luar OPD, seperti BUMD/kelembagaan daerah yang menggunakan dana APBD.
Terkait dengan status opini WTP 2024 ini bukan berarti tanpa ada pembahasan dan pengkritisan yang serius dari DPRD. Pengkritisan dan pencermatan terhadap laporan realisiasi keuangan 2024 ini tetap perlu dilakukan dalam rangka untuk melakukan evaluasi dan perbaikan yang lebih baik pada manajemen pengelolaan keuangan daerah ke depan, termasuk terhadap temuan dan catatan-catatan LHP BPK yang perlu untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Catatan Kritis
Setelah penulis menelaah dan mengkaji secara cermat dan seksama terhadap dokumen realisasi APBD pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2024 teraudit (audited BPK), ada beberapa catatan kritis yang dapat disampaikan sebagai berikut Pertama, berkaitan dengan realisasi Pendapatan Daerah, penukis memberi apresiasi atas tercapainya target dari semua komponen pendapatan khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun demikian, pelampauan pendapatan daerah sebesar 110,32 % atau 3 triliun 318 milyar 302 juta 358 ribu 067 rupiah ini harus diantisipasi apakah murni karena perbaikan kinerja OPD dalam peningkatan intensifikasi dan ekstensifiksi Pajak dan Retribusi atau karena memang dari awal terjadi pemasangan target yang terlalu rendah (under estimate) dibanding realisasi APBD tahun sebelumnya. Mestinya data-data realisasi tahun sebelumnya dapat dijadikan acuan dalam penetapan target PAD sehingga kebijakan budget ratcheting ini dapat meminimalisir under estimate dalam penentuan target PAD untuk membuktikan jika pelampauan realisasi PAD terjadi karena murni perbaikan kinerja intensifikasi dan ekstensifikasi PAD.
Kedua, berkaitan dengan SIPLA tahun 2024 yang mencapai Rp 4,706 triliun lebih. SILPA tahun 2024 ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan Tahun 2023 yang sebesar sebesar Rp 3,796 triliun lebih (SILPA yang wajar sekitar 5%).). Masih besarnya SILPA, maka, perlu dilacak dan diidentifikasi mengapa terjadi SILPA cukup besar (Rp 3,796 Triliun lebih). Apa ada yang kurang tepat di tingkat perencanaan (target pendapatan) atau ditingkat implementasinya (realisasi belanja daerah). Perlu data yang lebih detail, terutama kinerja serapan anggaran masing-masing OPD. Penjelasan yang detail, transparan dan akuntabel terkait dengan SILPA ini akan menjadi informasi penting bagi pemerintah daerah sama DPRD untuk persiapan pembahasan APBD perubahan tahun 2024 ini. Karena itu, perlu dilakukan peningkatan kualitas kebijakan agar antara perencanaan dengan penganggarannya lebih akurat sehingga kinerja pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah lebih baik dan Silpa tahun berjalan dapat ditekan dalam batas yang wajar (dibawah 5% dari dana tersedia).
Ketiga, Masih terkait dengan Meningkatnya SILPA 2024. Penulis berpendapat dan menyarankan agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur segera memikirkan kemungkinannya untuk Optimalisasi penggunaan SiLPA untuk belanja daerah yang lebih produktif, sebagaimana pasal 149 UU. No 1 tahun 2022 tentang HKPD bahwa, dalam hal SiLPA daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah dengan memperhatikan kebutuhan yang menjadi prioritas daerah yang harus dipenuhi. Karena itu, Silpa tahun 2024 ini dapat dioptimalkan untuk belanja infrastruktur pelayanan public daerah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi daerah atau layanan dasar masyarakat lainnya, di tahun 2024 ini.
Keempat, Dalam CALK (Penjelasan Pos Pos Laporan keuangan) tidak diuraikan tentang penjelasan SILPA tahun berjalan tersebut berdasarkan sumbernya. Jika kita cermati, kinerja serapan anggaran OPD masih belum optimal, sehingga banyak anggaran yang tersisa dan idle (nganggur). Untuk itu agar laporan Pelaksanaan APBD tahun Anggaran 2024 ini tidak menimbulkan penafsiran yang keliru bagi para pembacanya, maka penulis merekomendasikan kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menjelaskan dan menyampaikan secara lebih transparan dan akuntabel tentang jumlah SILPA yang besar tersebut; berapa yang sudah terikat penggunaannya dan berapa yang belum, artinya SILPA yang belum terikat penggunaannya dapat dimanfaatkan untuk penambahan belanja program/kegiatan pada APBD perubahan tahun 2024. Ikhtiar ini dilakukan agar SILPA ke depan dapat terus ditekan dan penggunaan anggaran bisa lebih optimal dan berkualitas.
Karean itu, di tengah problem keterbatasan anggaran dan masalah pembangunan daerah yang semakin kompleks, penulis merekomendasikan agar dilakukan evaluasi secara menyeluruh atas kemampuan organisasi dan efektifitas tata kerja SKPD dalam mengeksekusi program dan anggaran daerah, agar kondisi yang menjadi penyebab utama terus meningkatnya SILPA setiap tahun tersebut dapat teridentifikasi, untuk kemudian segera ditemukan jalan keluarnya. Disamping itu juga Peningkatan kemampuan teknis untuk merealisasikan belanja (eksekusi anggaran) program/kegiatan bagi aparatur daerah serta Perbaikan managemen perencanaan anggaran program dan kegiatan.
———— *** —————


