Oleh :
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Pendakwah yang lebih dikenal dengan nama Miftah Maulana Habiburrahman mundur. Penceramah sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan meletakkan jabatannya setelah ucapannya yang dinilai menghina penjual es teh viral di media sosial (medsos). Netizen “merujak” Miftah hingga membuat petisi memintanya mundur sebagai pejabat publik.
Hati-hati jika Anda seorang pejabat publik, politisi, atau figur publik. Anda bisa jadi kena boikot masyarakat. Jangan coba-coba lukai dan kecewakan hati masyarakat karena mereka bisa membuat petisi dan memboikot anda. Itulah fenomena cancel culture atau budaya untuk mengakhiri karir para figur publik yang dinilai telah melakukan hal yang buruk, telah bersikap dan berbuat yang tak konsisten.
Istilah cancel culture ada yang menyebut sebagai call out culture. Perilaku ini awalnya banyak muncul lewat platform medsos Twitter, kini telah meluas ke platform medsos yang lain. Munculnya cancel culture telah jamak terjadi karena perilaku tokoh publik yang terjerat skandal atau kasus tertentu. Sekarang cancel culture telah menjadi gejala yang marak di masyarakat sebagai salah satu bentuk perlawanan atau pengadilan sosial.
Merujuk beberapa sumber, secara sederhana cancel culture diartikan sebagai usaha masyarakat untuk meng-cancel seseorang atas perkataan atau perbuatannya. Tokoh yang di-cancel ini biasanya sudah melakukan hal yang menyimpang, seperti kekerasan seksual maupun komentar yang rasial atau ofensif. Cancel culture bisa menjadi metode aktivisme online yang tepat dalam memperluas partisipasi publik. Orang awam berkesempatan berpartisipasi dalam memboikot tokoh publik yang bermasalah.
Saat ini alat yang sering digunakan untuk aksi boikot ini melalui beragam platform medsos. Medsos memang perkasa. Salah satu kekuatannya adalah media ini dapat digunakan untuk menggalang kekuatan massa. Kekuatan untuk tujuan apapun. Untuk target menggerakkan aksi, damai ataupun jahat, menggalang donasi, mendulang simpati, hingga untuk memboikot figur atau sosok tertentu.
Wujud Kekecewaan
Salah satu contoh cancel culture terkini adalah petisi yang meminta agar Presiden Prabowo mengevaluasi dan mencopot utusan khususnya yakni Miftah Maulana. Petisi ini dibanjiri ribuan tanda tangan sebagai wujud dukungan netizen. Petisi netizen ini meluas hingga menjadi gerakan di masyarakat yang sangat meluas. Kekuatan netizen yang bermula di dunia maya itu terbukti ampuh dan berpengaruh di dunia nyata.
Apa yang dialami Miftah Maulana ini bukan yang pertama. Tercatat sejumlah politisi, pemimpin parpol, artis penyanyi, bintang film, pemengaruh (influencer), dan sejumlah pesohor dalam dan luar negeri pernah kena petisi dari publik. Petisi yang muncul tak terlepas dari “ulah” para tokoh panutan yang telah mengecewakan para pendukungnya. Wujud kekecewaan atas kekeliruhan yang telah dibuat pemimpin atau tokoh panutannya itulah yang diluapkan dalam wujud cancel culture.
Perilaku cancel culture menjadi perilaku yang tak elok karena telah terjadi pembunuhan karakter seseorang. Namun munculnya cancel culture sesungguhnya merupakan imbas dari perilaku buruk yang telah diperbuat oleh sang tokoh panutan. Cancel culture spiritnya bisa bernilai positif karena sebagai salah satu bentuk perlawanan atas terjadinya perbuatan sang panutan yang telah mengecewakan masyarakat.
Namun demikian, perlu juga dikedepankan kesadaran bahwa semua orang pasti pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya dan mereka dapat belajar dari kesalahan yang telah diperbuat. Untuk itu pilihannya tak selalu dengan jalan cancel culture untuk menunjukkan kekecewaan pada seseorang. Pihak yang dinilai bersalah bisa diingatkan hingga mereka mengakui kesalahan, menerima ganjaran atas kesalahan, dan berusaha tak mengulangi kesalahannya lagi.
Pengadilan Sosial
Munculnya cancel culture sebagai sanksi sosial para tokoh publik yang bermasalah. Cancel culture juga membuat masyarakat memiliki kuasa dan dapat dipergunakan untuk pengaruh tertentu. Bahkan di medsos yang lekat dengan partisipasi khalayak, cancel culture menjadi sarana yang pas untuk menyampaikan apa yang menjadi uneg-uneg masyarakat. Dalam pandangan tertentu, cancel culture bisa dipahami sebagai pengadilan sosial masyarakat.
Gerakan mencari “keadilan” oleh rakyat ini justru bisa berujung blunder. Cancel culture bisa tak mengindahkan asas praduga tak bersalah. Ini tentu berbahaya karena dapat membentuk opini bahkan pengadilan massa sebelum siapa sejatinya yang diputus bersalah sesuai keputusan hukum. Pengadilan “jalanan” ini bisa jadi toxic yang bersifat destruktif ketimbang konstruktif. Untuk itu pengadilan sosial lewat cancel culture dikhawatirkan justru hanya membuat orang semakin mudah menghakimi orang lain.
Di satu sisi, cancel culture memang menyoroti pentingnya akuntabilitas para pejabat publik. Bagaimana masyarakat yang merasa dirugikan lantas bersuara bersama-sama secara kolektif demi tercapainya keadilan. Di sisi lainnya, cancel culture juga merupakan wujud ekspresi yang reaktif di mana orang yang di “adili” sebagai pihak yang dianggap bersalah justru sejatinya mereka tak terbukti melanggar hukum.
Lahirnya cancel culture tak terlepas dari terpaan media. Masyarakat perlu bijak dalam mencerna informasi. Masyarakat perlu memastikan kebenaran berita dari kasus tertentu sebelum bereaksi dalam bentuk petisi atau boikot. Kekeliruhan memahami informasi bisa bermuara pada penggiringan opini tertentu yang bisa jadi tak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya terjadi.
Maraknya cancel culture sebenarnya jadi fenomena yang serba salah. Di satu sisi cancel culture merupakan bentuk partisipasi publik dalam mengontrol dan mengingatkan perilaku tokoh puplik yang bermasalah. Namun disisi lain cancel culture bisa mengarah pada penghakiman dan perburuan ahli sihir moral (moral witch hunting) yang belum tentu akurat. Agar tak terjadi gejala yang buruk, mestinya para pejabat publik, politisi, dan figur publik lainnya bisa menjaga diri. Pun demikian bagi pengguna internet dan medsos agar bijak saat menggunakan media. (*)
————— *** ——————–