Oleh :
Arief Azizy
Kuli Literasi di GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di tengah derasnya arus informasi dan ledakan konten digital, buku seakan menjadi benda kuno yang terpinggirkan. Padahal, buku pernah menjadi pusat peradaban dan simbol kemajuan. Ia bukan sekadar alat untuk menyampaikan ilmu, tetapi juga ruang kontemplasi, perlawanan, dan penemuan diri. Namun kini, di era serba cepat, di mana layar lebih menarik daripada lembaran kertas, kita perlahan mulai melupakan buku-dan barangkali, juga mulai melupakan diri sendiri.
Membaca buku memerlukan waktu, kesabaran, dan kesunyian. Sesuatu yang semakin langka hari ini. Kita terbiasa membaca cepat, melompat dari satu tab ke tab lain, dari satu notifikasi ke notifikasi berikutnya. Otak kita dibentuk untuk segera berpindah fokus sebelum satu gagasan benar-benar meresap. Buku tidak menawarkan sensasi instan. Ia justru menuntut kedalaman. Dan karena itulah, banyak orang akhirnya mengabaikannya.
Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer menulis dengan getir, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Tapi sebelum menulis, manusia harus membaca. Harus belajar mendengarkan dahulu, sebelum bersuara. Pramoedya sendiri menulis di tengah represi, dengan keterbatasan kertas dan kebebasan. Tapi ia percaya pada kekuatan kata, kekuatan buku-yang akan selalu lebih panjang usianya dari kekuasaan manapun.
Sayangnya, Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar soal literasi. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional (2023), indeks kegemaran membaca nasional berada pada angka 63,9 dari skala 100, tergolong sedang. Tapi ketika dibenturkan pada realitas, banyak rumah tangga bahkan tak memiliki satu pun rak buku. Sekolah pun lebih sibuk mengejar nilai ujian ketimbang membangun minat baca. Buku hanya hadir sebagai beban pelajaran, bukan sebagai teman berpikir.
Bukan hanya itu, perubahan lanskap media juga membuat buku semakin tertinggal. Anak muda lebih tertarik menonton video ringkas atau membaca utas singkat di media sosial ketimbang membuka buku berhalaman ratusan. Algoritma media digital mengajari kita untuk cepat puas dan cepat lupa. Dalam Rasa dan Ingatan, Seno Gumira Ajidarma menulis bahwa “Membaca adalah proses mengingat kembali kemanusiaan kita.” Membaca buku berarti memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas, bukan sekadar menerima, tapi juga mencerna dan membantah.
Hari Buku Nasional seharusnya menjadi momentum untuk berefleksi, bukan sekadar euforia tahunan. Pertanyaannya: apakah kita masih memberi ruang bagi buku dalam keseharian? Apakah ada waktu dalam rutinitas kita untuk membaca, bukan hanya mengonsumsi informasi? Apakah rumah dan sekolah kita masih menyediakan ruang sunyi untuk tenggelam dalam bacaan?
Pemerintah memang telah menggalakkan program literasi melalui Perpustakaan Digital, program Buku Masuk Desa, hingga pameran literasi di berbagai daerah. Namun tantangannya tak berhenti pada distribusi. Akar persoalan terletak pada budaya membaca yang tidak tumbuh sejak dini. Tanpa keteladanan membaca dari orang tua, guru, dan tokoh publik, promosi literasi hanya menjadi slogan kosong.
Pada saat bersamaan, peran media massa juga turut menentukan. Ketika ruang-ruang opini dan kebudayaan semakin sempit, dan media sibuk mengejar viralitas, wacana yang dalam dan reflektif menjadi barang langka. Buku bukan hanya butuh pembaca, tapi juga ruang untuk dibicarakan. Maka penting bagi media, sekolah, komunitas, hingga keluarga untuk kembali menghidupkan diskusi tentang buku-bukan sekadar daftar bacaan, tetapi percakapan tentang makna, nilai, dan dampaknya pada kehidupan.
Menjadi pembaca di era digital bukan hal mudah. Tapi justru karena itu, membaca buku adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap banalitas, terhadap lupa, terhadap ketergesaan yang menghancurkan kedalaman. Buku tidak selalu memecahkan masalah, tapi ia memberi kita cara lain untuk melihat. Ia tidak memaksakan kebenaran, tapi membukakan pintu bagi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak pernah sempat kita ajukan.
Salah satu tantangan terbesar zaman ini adalah menjaga pikiran tetap merdeka. Dan buku, sejak dulu, adalah alat pembebas yang paling ampuh. Ia tidak bising, tidak mencolok, tapi diam-diam menyala. Di dalamnya, kita bisa menemukan ulang diri kita sendiri, tanpa gangguan, tanpa interupsi.
Hari ini, ketika semuanya serba digital dan tergesa, mari kita sisakan ruang untuk membaca. Kembalilah ke buku, bukan karena nostalgia, tapi karena ia masih relevan. Masih dibutuhkan. Dan masih menyimpan kekuatan untuk membentuk kita menjadi manusia yang lebih utuh, lebih sabar, dan lebih berpikir.
Jika kita tak ingin hidup di dunia yang kehilangan arah dan makna, maka jangan lupakan buku. Karena seperti kata Pramoedya, “Tanpa buku, manusia kehilangan masa lalunya, kehilangan masa depan, dan kehilangan dirinya sendiri.”
———— *** —————-


