Seorang murid SMA Negeri 72 Jakarta, tak terduga, meledakkan sekolahnya, dengan tujuh bom. Empat bom meledak, melukai 96 siswa (dan guru), termasuk pelaku, yang terluka di bagian kepala. Namun Kepolisian Metro Jaya memastikan pelaku tidak terlibat kelompok terorisme. Melainkan ter-inspirasi teror tindak kekerasan di berbagai belahan dunia. Termasuk teroris ber-aliran “Neo-Nazi,” dan aliran “White Supremacy,” yang sama-sama meng-unggul-kan ras kulit putih.
Bom diledakkan persis saat pelaksanaan shalat Jumat pada rakaat kedua. Waktunya sangat mirip dengan teroris di Selandia Baru. Sama-sama pada hari Jumat, menyasar jamaah shalat. Nama-nama penjahat teror kekerasan ditulis pada senjata laras panjang milik pelaku penge-bom-an, yang ditemukan di sekitar tubuh pelaku. Juga terdapat tulisan “Welcome To Hell.” Penjahat yang “di-idola-kan” pelaku, diantaranya, Alexandre Bissonnette. Pelaku penembakan di masjid kota Quebec, Kanada.
Penembakan mem-babi buta, dilakukan selepas shalat Isya’ 29 Januari 2017. Enam jamaah tewas, lima lainnya luka parah. Mahkamah Agung Kanada, mem-vonis Bissonnette dengan pidana penjara seumur hidup, dengan tambahan “tidak layak memperoleh pembebasan bersyarat.” Menjadi tren hukuman di Kanada, yang belum pernah di-vonis-kan sebelumnya. Karena kejahatan Bissonnette, tergolong extra ordinary crime. Sekaligus melanggar pasal 12 “Piagam Hak dan Kebebasan Kanada.”
Hukuman yang sama persis (penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat), juga di-vonis-kan kepada Brenton Tarrant, teroris yang menembaki jamaah shalat Jumat di Selandia Baru. Perdana Menteri (tahun 2017) Jacinda Ardern, memastikan pemerintahan dan rakyatnya anti terorisme. “Ekstremis tidak memiliki tempat di Selandia Baru.” Teroris menggunakan lima senjata, terdiri dari dua senapan semi otomatis, dua shotgun, dan satu senapan sambung.
“Eksekutor” teroris menembaki muslim yang sedang melaksanakan shalat Jumat (15 Maret). Dua tempat ibadah yang disasar, adalah masjid Al-Noor, area Linwood Avenue, dan masjid kawasan Dean Avenue, di kota Christchurch. Seketika bergelimpangan sebanyak 49 korban jiwa, dan puluhan lain dirawat di rumah sakit setempat. Termasuk dua dari Indonesia (satu meninggal, dan satu kritis). Perdana Menteri Australia, telah mengkonfirmasi, bahwa pelaku sebagai warga Australia, berpaham “sayap kanan.” Teroris yang bengis.
Pelaku peledakan bom di SMAN 72 Jakarta, bisa diduga sekaligus ingin bunuh diri. Indikasinya, terdapat sisa sumbu bom di bagian kepala. Seperti pelaku terorisme peledakan bom. Namun tidak ber-afiliasi pada kelompok terorisme. Sebagai pelaku tunggal, pelaku (berinisial F, siswa SMAN 72), bisa disebut “lone wolf.” Densus 88 menyebut sebagai “memetic violence” daring. Yakni, meniru melakukan tindak kekerasan. Bukan terorisme.
Pelaku, siswa F, masih di bawah umur, sehingga berlaku status ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum). Maka kelak, pelaku tidak diancam dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme. Melainkan akan diadili berdasar UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Serta dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kategori tindak pidana umum.
Sistem Peradilan Pidana Anak, memiliki ke-khas-an untuk melindungi anak. Tercantum dalam pasal 3 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat 16 hak keringanan. Antara lain, diberikan tindakan rekreasi, dan wajib bebas penyiksaan. Bahkan tidak boleh ditangkap, ditahan, atau dipenjara. Kecuali sebagai upaya terakhir, berkait tindak pidana berat (setara terorisme, dan pengedar narkoba). ABH juga tidak boleh dijatuhi hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup.
Indonesia memiliki remaja sekitar 22 juta jiwa. Bisa dicanangkan sebagai kekuatan gen-zi menuju kemakmuran Indonesia.
——— 000 ———


