Surabaya, Bhirawa
Tahun ajaran baru 2025/2026 sudah dimulai Senin (14/7), Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Di hari pertama sekolah ini, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Indonesia (Kemendukbangga/BKKBN) telah menerbitkan ‘Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah’.
Aturan itu, ditetapkan di Jakarta pada 10 Juli 2025 dalam Surat Edaran (Kemendukbangga/BKKBN) Nomor 7 Tahun 2025 Tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. Gerakan ini dimaksudkan untuk mendorong pengasuhan anak yang lebih efektif dengan keterlibatan aktif kedua orang tua.
Terkait gerakan ini, Dosen Pemerhati Anak Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Holy Ichda Wahyuni mengapresiasi setiap bentuk keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak.
Menurutnya, di tengah padatnya tuntutan kerja dan beban peran gender yang masih kaku, kehadiran ayah yang terlibat langsung patut diberi ruang apresiasi. Meski begitu, fenomena gerakan tersebut, kata Holy, menjadi bukti dan cermin bahwa masih lemahnya praktik pengasuhan ayah di banyak keluarga.
“Perlu kita renungkan bersama, mengapa hal yang seharusnya menjadi praktik keseharian justru menjadi peristiwa “heboh” yang layak viral?,” ungkap Holy.
Dosen PGSD UM Surabaya ini juga menyebut, dalam kajian sosiologi keluarga, konsep ini sejalan dengan perspektif new fatherhood yang menekankan pentingnya kehadiran ayah bukan hanya sebagai penyedia nafkah, tetapi juga pemberi kehangatan emosional.
Holy menyebut, ketika kehadiran ayah hanya sesekali dan jadi momen istimewa, maka hal ini menjadi tanda kesetaraan peran pengasuhan belum sepenuhnya tercapai. “Kita juga harus jujur bahwa konstruksi sosial budaya masih mendikte peran ayah sebagai figur jarak jauh, yang hadir “saat diperlukan saja”. Pembagian kerja gender tradisional sering menempatkan ibu sebagai primary caregiver sedangkan ayah sebagai secondary caregiver,”sehut Holy.
Pola pengasuhan seperti itu, tambah dia, akan menghasilkan ketimpangan peran yang berimbas pada relasi anak-ayah yang kurang hangat dan cenderung formal. Jadi, sorotan media atau publik pada aksi “ayah antar anak” justru memperlihatkan bagaimana peran natural ayah sebagai caregiver belum terinternalisasi sebagai budaya harian. “Apalagi ditambah dengan embel-embel aturan. Ini sangat menggelitik,” tambah dia.
Kendati begitu, Holy mengungkapkan peran ayah selama ini terbatasi oleh struktur kerja yang maskulin, budaya jam kerja panjang, hingga stereotip sosial yang mengecilkan figur ayah pengasuh.
Untuk itu, ucapnya, perlu ada upaya bersama membangun kesadaran bersama di ranah keluarga, institusi kerja, dan kebijakan publik agar keterlibatan ayah tidak berhenti pada simbol seremonial. “Penghargaan memang penting, tetapi normalisasi peran ayah pengasuh jauh lebih mendasar,” imbuhnya.
Kepada masyarakat luas terutama peran ayah, Holy mengajak untuk memaknai setiap momen ayah yang terlibat sebagai awal, bukan akhir. Oa menilai menjadi ayah bukan hanya hadir di pagi hari untuk mengantar anak, tetapi juga hadir dalam dialog batin anak, kelekatan emosi, dan penguatan karakter.
“Dengan memperluas praktik fathernitas, kita tidak hanya merayakan satu momen, tetapi membangun kultur keluarga yang setara dan hangat, di mana ayah dan ibu benar-benar setara dalam cinta dan tanggung jawab,” pungkasnya.
Sebagai informasi, aturan yang dikeluarkan BKKBN ini didasari atas data yang mana, banyak anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless). Dengan 20,9% anak tidak memiliki figur ayah menurut data UNICEF 2021 dan hanya 37,17% anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua menurut BPS 2021.
Oleh karena itu, Kemendukbangga/BKKBN mendorong penguatan peran ayah, terkhusus dalam pengasuhan agar tumbuh kembang anak maksimal melalui Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) untuk menuju Indonesia Emas. [ina.wwn]


