UPAYA pemberantasan judi online alias judol akhirnya mendobrak langkah yang sudah biasa dilakukan. Lewat langkah maju itu diketahui sebagian penyebab situs judol yang dikatakan begitu sulit diberantas karena satu diblokir, muncul situs-situs baru lainnya.Rupanya, ada orang dalam yang menopang kelangsungan hidup situs judol. Kepolisian mendapati praktik ‘pembinaan’ situs-situs judi daring yang dilakukan oleh sejumlah pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi).
Seperti diakui salah seorang tersangka, dari 5.000 situs judol yang mestinya mereka blokir, seribu di antaranya mereka ‘bina’ alias dijaga agar tidak tersentuh pemblokiran. Imbalannya, menurut tersangka tersebut, sebesar Rp8,5 juta per situs masuk kantong mereka. Artinya, jika ada seribu yang dibina, mereka meraup Rp8,5 miliar.
Sampai dengan kemarin, selusin pegawai Kemenkomdigi, ditambah empat orang non-aparatur negara, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Bersamaan dengan gerak polda, Polri menguak sindikat internasional judi slot yang dikendalikan warga negara Tiongkok. Uang sebanyak Rp70,1 miliar disita beserta dua unit mobil.
Sudah lama publik bertanya-tanya mengapa begitu sulit memberantas judi daring. Padahal, aliran uang kejahatan itu mestinya begitu gamblang terlihat karena transaksi judi dilakukan secara online. Tinggal ditelusuri ke mana muaranya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun sudah beberapa kali membeberkan nilai transaksi yang diduga kuat dari judol. Transaksi judol mulai terpantau radar PPATK pada 2017 dengan nilai mencapai Rp2 triliun. Sejak itu, tercatat perputaran uang judol terus meningkat nilainya.
Pada 2021 uang yang beredar dalam transaksi terkait dengan judol mencapai Rp57,9 triliun, lalu di 2022 tembus Rp100 triliun yakni sebesar Rp104,4 triliun. Selanjutnya tahun lalu, PPATK mencatat transaksi senilai Rp327 triliun diduga terkait dengan judol. Tahun ini, pada triwulan I saja sudah Rp100 triliun perputaran uang judi daring.
Angka perkembangan judol begitu fantastis sekaligus menjerat jutaan bahkan mungkin puluhan juta penduduk di Tanah Air. Pemainnya tidak spesifik kalangan tertentu. Mulai dari pejabat negara sampai pelajar sekolah.
PPATK lagi-lagi sudah pernah mengungkap ada lebih dari seribu anggota DPR dan DPRD yang tergiur judi daring. Tidak sampai di situ, jumlah pelajar di bawah usia 11 tahun yang terjerat permainan laknat itu juga tercatat lebih dari seribu anak.
Dampak judol terhadap kehidupan masyarakat tidak kalah dahsyatnya dengan peredaran narkoba. Judol memiskinkan masyarakat, mendorong perilaku bunuh diri, sampai memicu maraknya tindak kekerasan oleh para pemainnya.
Lantas, pertanyaannya lagi, kenapa begitu sulit memberantasnya? Keterlibatan pegawai Kemenkomdigi dalam menjayakan judi daring salah satu jawabannya. Akan tetapi, itu baru di hilirnya. Di hulu, polisi mesti serius mengurai dan meringkus para beking di institusi mana pun, bukan hanya di institusi Kemenkomdigi.
Memberantas judol memerlukan integritas yang tinggi dari internal pemerintahan dan aparat penegak hukum. Penyebabnya, penyokong utama keberlangsungan hidup jaringan judol justru dari orang dalam aparatur negara. Mereka menjadi beking-beking yang bertugas melumpuhkan penindakan.
Oleh karena itu, tidak cukup hanya mengungkap pelaku di Kemenkomdigi, penegak hukum mesti membongkar lebih jauh siapa di balik sulitnya pemberantasan judol ini ke semua institusi pemerintahan. Termasuk, tentu saja ke internal penegak hukum itu sendiri.
Publik masih menunggu penangkapan bandar-bandar besar judol yang menurut Presiden Prabowo Subianto sudah ia kantongi nama-namanya. Bila namanya sudah diketahui, mestinya tidak butuh waktu lama untuk membekuk mereka.
Tentunya, sekaligus mencopoti selang-selang pernapasan yang menyangga hidup judol lewat pembersihan beking-beking orang dalam. Mereka layak dihukum seberat-beratnya.
———– 000 ————–