Surabaya, Bhirawa
Bersama asosiasi pelaku usaha, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur menolak Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Tarif Kepelabuhanan perubahan atas PM Perhubungan Nomor 121/2018 turunan dari UU 17/2008 pasal 110.
Adapun asosiasi pelaku usaha tersebut diantarannya Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia (INSA) Surabaya, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim , Organisasi Angkutan Darat (Organda) Tanjung Perak, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jatim dan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GPEI) Jatim.
Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto mengungkapkan RPM Tarif Kepelabuhanan oleh Menteri Perhubungan yang akan menggantikan PM Perhubungan 121/2018 tidak senafas dengan semangat pemerintah untuk menurunkan cost logistik di tanah air.
“Peraturan yang ada di 121/2018 itu sudah benar, ketika akan menaikkan tarif harus melibatkan asosiasi di kepelabuhanan. Ini adalah kolaborasi yang benar. Tetapi sekarang ada usulan Pemerintah dalam hal ini Menteri Perhubungan yang akan menghilangkan kolaborasi tersebut, menghapus gotong royong, sehingga Badan usaha Pelabuhan (BUP) bisa menaikkan tarif semaunya sendiri yang akan berdampak pada mahalnya biaya logistik. Ini kontraproduktif dan harus disikapi sebelum disetujui,” terangnya, Jumat (23/8).
Adik menyakini bahwa pemerintah paham akan penolakan tersebut mengingat peta jalan pemerintah adalah menurunkan cost logistik agar daya saing produk Indonesia semakin naik. “Tinggal sensitivitas Kementerian Perhubungan tentang hal ini yang kita pertanyakan karena usulan tersebut sangat meresahkan pelaku usaha logistik tanah air,” jelasnya.
Untuk itu, Kadin Jatim akan berkirim surat ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam minggu depan dan juga akan melakukan “hearing” dengan DPR RI.
“Minggu depan kami akan berkirim surat ke Presiden yang akan kami tembuskan ke Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN. Saya yakin pak Jokowi mengerti apa yang kami rasakan karena dulu beliau adalah pelaku usaha kayu yang pernah melakukan ekspor,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Ketua INSA Surabaya, Stenven H. Lasawengen dalam PM Perhubungan nomor 17/2018 ditegaskan bahwa untuk mengubah golongan tarif, sebelum disyahkan Harus meminta persetujuan asosiasi terkait.
“Tetapi saat ini ada gerakan massif yang akan menghilangkan keterlibatan asosiasi. Kalau pasal dihilangkan, maka kenaikan tarif di pelabuhan tidak terkontrol. Gerakan ini harus dihentikan karena akan berakibat kenaikan tarif logistik yang luar biasa,” paparnya.
Menurut Ketua Organda Tanjung Perak, Kody Lamahayu, selama ini asosiasi bertindak sebagian pengontrolan BUP, khusunya Pelindo. “Jika tidak ada kami maka tarif akan dinaikkan dengan seenaknya, seperti yang terjadi di Teluk Lamong,” katanya.
Maka, apabila aturan 17/2018 dihilangkan dikhawatir tarif handling di semua pelabuhan akan dinaikkan seperti di Teluk Lamong. “Pemerintah saat ini tengah menekan cost logistik, tetapi pemerintah juga melepas aturan yang bisa membuat naiknya cost Logistik,” tegasnya.
Padahal menurut Ketua GPEI, Isdarmawan Asrikan peranan logistik sangat penting dalam perekonomian nasional, karena logistik adalah ekosistem dari pergerakan barang.
“Dan di wilayah Indonesia timur, khususnya Jatim sebagian besar melalui Tanjung Perak baik baik ekspor maupun impor atau perdagangan dalam negeri,” ujarnya.
Sejauh ini, menurutnya peran industri dalam ekspor Jatim sangat besar, mencapai 90% dari total ekspor Jatim. Sedangkan 70% bahan baku produksi industri dalam negeri adalah impor dari luar negeri.
“Sehingga peranan pelabuhan Tanjung Perak ini sangat penting bagi pergerakan ekonomi di Jatim. Jika tarif di pelabuhan, khususnya Tanjung Perak naik, maka performa index logistik kita akan semakin turun. Padahal saat ini indeks kita sudah kalah dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Untuk itu, peran asosiasi harus tetap diperjuangkan agar performa indeks kita tidak semakin turun,” tuturnya.
Ketua ALFI Jatim, Sebastian Wibisono juga menegaskan bahwa di Jakarta, semua DPP Asosiasi sudah berkirim surat ke Kementerian Perhubungan. Bagi pelaku usaha, penolakan ini adalah sebuah keniscayaan untuk menuju Indonesia Emas di tahun 2045.
“Untuk itu kami di Jatim juga merapatkan barisan karena hal ini sangat tidak relevan, dimana pemerintah berupaya menurunkan biaya logistik tetapi monopoli juga dibesarkan. Saya berharap ada sensitivitas pemerintah untuk tidak mengubah aturan yang sudah benar tersebut,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan GINSI Jatim, Medy Prakoso juga turut menegaskan bahwa masyarakat, termasuk asosiasi adalah pengendali dan penyeimbang.
“Kalau pemerintah tidak dikendalikan, maka pemerintah akan liar. Pemerintah harus tahu bahwa kita punya harapan. Dan sebagai pengendali, kita harus memberikan masukan agar Indonesia lebih maju,” pungkasnya. [riq.gat]