27 C
Sidoarjo
Monday, December 22, 2025
spot_img

Bencana Manusia di Sumatera

Oleh :
Akhmad Faishal
Penulis adalah pengelola perpustakaan di SMAN 15 Surabaya.

Apa jadinya, jika seseorang kehilangan moralnya? Saat menanyakan hal itu di mesin pencari, jawabannya beragam. Mulai dari tindakan kriminal, kerusakan hubungan, masalah kesehatan mental, kehilangan jati diri dan disintegrasi bangsa.

Barangkali, kerusakan hubungan itu dapat ditafsirkan secara luas. Yakni, tidak hanya pada hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan alam. Itulah yang terjadi di tiga provinsi besar Sumatera : Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pada saat hubungan antara manusia dengan alam tidak harmonis atau tidak seimbang yang terjadi adalah bencana. Dan, mungkin, akan kita nyatakan hal itu sebagai bencana alam, kalau tidak terlihat kayu-kayu gelonggongan besar-besar yang hanyut saat banjir bandang. Namun, toh kenyataannya berkata sebaliknya.

Kita, terutama pihak-pihak terkait dan berwenang, seharusnya mengakui bahwasanya apa yang terjadi di ketiga wilayah itu sebagai bencana manusia. Pohon-pohon besar itu tidak akan mungkin langsung tercerabut akarnya sebab badai dan hanyut begitu saja saat banjir bandang menerjang. Pemandangan di lapangan memperlihatkan betapa pohon-pohon itu telah ditebang sebab permukaan dasarnya halus. Ditambah dengan pemandangan pohon sawit. Pohon yang memang sedia awalnya bukan ditujukan untuk menyerap air.

Hutan memang ekosistem yang menguntungkan banyak pihak atau makhluk hidup. Sebagai rumah flora dan fauna, sebagai penahan banjir, dan sebagai tempat terbaik untuk menanam sawit. Untuk yang terakhir itu, memang harus ada modal besar untuk meratakan hutan dan mengalihfungsikan hutan yang awalnya untuk pembentukan ekosistem menjadi pemenuhan kebutuhan hidup. Apalagi, kebutuhan akan minyak kelapa sawit begitu besar. Tentu, mau tidak mau, ada resiko besar untuk kepentingan atau keuntungan yang juga besar.

Berita Terkait :  Pemkot Surabaya dan KPU Gelar Jalan Sehat di Balai Kota

Indonesia kini terjangkit deforestasi. Penggundulan hutan yang disebabkan adanya alih fungsi hutan. Akibat peristiwa yang terjadi di 3 wilayah provinsi Sumatera itu, berbagai macam data deforestasi tersebar di Internet. Termasuk, menyangkut soal peran presiden yang pada masanya memberikan izin untuk alih fungsi hutan melalui menteri-menterinya. Dulu, Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Indonesia berdiri di lantai yang sama dengan Brazil dan beberapa negara yang hutannya juga lebat. Kini, Indonesia hanya memiliki satu paru-paru yang masih berfungsi. Dan itu harus mengakomodasi pernafasan seluruh rakyat mulai Sabang hingga Merauke. Tentu, Indonesia megap-megap.

Dan sebagai penyebab alih fungsi hutan itu tentu berkaitan erat dengan manusia sebagai pelaku utama. Ditambah, adanya kebutuhan hidup yang besar bertabrakan langsung dengan upaya menyelamatkan ekosistem menjadikan dampak erosi menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan. Mungkin, apa yang sedang dilalaikan oleh pihak-pihak terkait itu, yakni tentang kehilangan upaya mengendalikan diri melalui nilai-nilai dasar kemanusiaan. Upaya mencoba agar sabar ternyata tidak berhasil sebab tuntutan kebutuhan manusia itu sendiri.

Lihatlah bagaimana data dari Mongabay.co.id ini. Secara umum, Sumatera telah kehilangan luas hutan 7,5 Ha antara tahun 1990 hingga 2010. Dan dari jumlah itu, sekitar 2,6 juta Ha merupakan hutan primer. Dan selama kurun waktu itu, tersisa delapan persen hutan perawan di Sumatera. Dari hasil grafik yang dipaparkan pun selama itu terus menerus perlahan dan pasti mengalami penurunan. Manusia telah mengubah peran itu dan kini menuai hasil atas apa yang diperbuatnya itu.

Berita Terkait :  Magang di PT Pilarempat Consultan, Mahasiswa Untag Surabaya Hadiri Peresmian Gedung Baru RSUD RT Notopuro Sidoarjo

Sekiranya kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa diusirnya Adam dan Hawa dari Surga. Dan, betapa kita mesti mengingat kembali nasihat oleh Muhammad SAW. Bahwasanya, apabila seseorang itu diberikan satu gunung emas dan dikabulkan. Maka ia akan minta dua, tiga dan seterusnya. Begitu pula dengan Adam yang diberikan segalanya oleh Tuhan di surga dimana ia bebas makan atau melakukan semaunya. Kecuali, hanya satu yang dilarang. Toh, dilanggarnya juga. Dan menjadi bencana, ketika Adam melanggar itu sehingga ia dan hawa diusir dari surga. Bukankah itu relevan dengan apa yang terjadi sekarang?

Pada saat manusia tidak mampu mengendalikan nilai-nilai dasar moralnya, maka tinggal menunggu kehancurannya. Tuhan telah berfirman bahwasanya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Berdasarkan data yang dikemukakan oleh harian Kompas, selama tahun 1990-2024 hutan di tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat hilang seluas 36 ribu Ha lebih per tahun! Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi menyebut izin yang paling masif yakni untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Dalam informasi yang diberitakan oleh tempo.co (6/12), Amalya Reza, selaku manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia mengatakan ada 31 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan terbit. Dan izin itu terdapat di tiga wilayah provinsi terdampak. Memang, jika di total jumlah luas hutan berhektar-hektar itu begitu besar. Namun, bila dirinci dan detail begitu kecil. Dan yang kecil itu seringkali diabaikan dan mengakibatkan kealpaan terhadap resiko erosi serta banjir bandang.

Berita Terkait :  Paripurna di DPRD Sampang tentang Pajak dan Retribusi Daerah Rampung

Bukankah yang besar-besar itu memang datang dari yang kecil terlebih dahulu?

Untuk itu langkah pemerintah terkait upaya reboisasi terasa terlambat setelah badai dan banjir bandang meluluhkan lantakkan provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Langkah kecil yang dilakukan pada saat ini, akan terasa sepuluh atau dua puluh kemudian. Dan, belum lagi adanya pihak-pihak yang nantinya sengaja mengabaikan peristiwa ini dan melakukan kegiatan penebangan hanya demi upaya memenuhi kepentingannya sendiri. Tanpa adanya upaya untuk mengendalikan diri, dalam hal ini reboisasi secara berkala, bencana tak berkesudahan akan terjadi kembali pada masa mendatang.

Ingat, bagaimana Aceh terdampak Tsunami pada tahun 2004. Hal yang sama harus mereka alami kembali pada saat ini. Dan, yang sekarang justru jauh lebih berat, karena peran pemerintah dinilai terlambat dan setengah-setengah dalam menanggulangi bencana akibat perilaku manusia itu sendiri. Dampak yang benar-benar terasa sampai-sampai seorang jurnalis menangis menceritakan situasi dan kondisi di lapangan.

Mungkin, penting untuk menguasai ketrampilan membaca, menulis, dan berhitung. Namun, jangan lupa untuk juga menguasai nilai-nilai moral sosial agar mampu mengendalikan diri untuk mengelola apa yang telah disediakan oleh alam. Tanpa nilai moral itu, tanggung jawab yang semestinya ditujukan pada manusia justru dialihkan dan menyalahkan alam. Padahal, yang merusak alam (tindakan alih fungsi hutan berlebihan) bukanlah flora dan fauna, tetapi manusia.

————— *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru