Dari Bilik Suara ke Algoritma:
Lanskap politik modern telah bergeser dari bilik-bilik suara tradisional menuju arena digital yang dinamis, penuh dengan banjir informasi yang dikendalikan oleh algoritma media sosial. Pergeseran ini menghadirkan tantangan besar, terutama bagi pemilih pemula, yang harus mengarungi lautan informasi daring untuk menentukan pilihan politik mereka secara rasional.
Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa
Kehadiran hoaks, disinformasi, dan manipulasi informasi menjadi ancaman serius yang dapat memengaruhi legitimasi proses demokrasi.Pada Pemilu 2024 lalu, pemilih muda, termasuk pemilih pemula, mendominasi jumlah pemilih dengan porsi signifikan, mencapai lebih dari 52 persen dari total pemilih. Peran mereka sangat krusial, dan kemampuan mereka dalam menyaring informasi menjadi penentu arah demokrasi ke depan.
Salah satu tantangan terbesar adalah peran algoritma media sosial yang dirancang untuk menyajikan konten yang disukai pengguna, menciptakan apa yang disebut echo chamber atau ruang gema. Dalam ruang gema ini, pemilih pemula cenderung terpapar pada informasi dan pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, sementara pandangan berbeda diisolasi.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Muhammad Danu Winatamenyoroti fenomena ini.
“Algoritma media sosial membentuk realitas yang bias bagi pemilih pemula. Mereka akan terus disuguhi narasi yang membenarkan pilihan mereka, membuat mereka sulit melihat perspektif lain,” ujar Danu saat dikonfirmasi Bhirawa, Selasa (28/10).
Secara khusus Danu juga menekankan pentingnya literasi digital sebagai upaya penguatan ketahanan nasional dari ancaman disinformasi. Algoritma media sosial telah digunakan sebagai alat untuk menyebarkan propaganda dan hoaks, yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Lebih lanjut menurut Danu, merujuk data terbaru dari KPU, komposisi pemilih masih didominasi oleh generasi muda. Angka yang signifikan ini menempatkan mereka sebagai penentu arah politik bangsa. Namun, riset dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa meskipun melek teknologi, banyak pemilih pemula masih rentan terhadap pengaruh negatif dari media sosial. Kebiasaan menyerap informasi secara cepat dan dangkal, tanpa verifikasi mendalam, membuat mereka mudah terpapar konten-konten provokatif dan hoaks politik.
“Fenomena “infobesitas” atau obesitas informasi, di mana individu terlalu banyak terpapar informasi yang sulit diproses, menjadi salah satu tantangan utama,” tegas Danu.
Berbagai platform media sosial, mulai dari TikTok, Instagram, hingga X (sebelumnya Twitter), menjadi arena utama pertarungan narasi politik. Algoritma yang dirancang untuk menjaga pengguna tetap terlibat, sering kali justru menjebak mereka dalam echo chamber, di mana mereka hanya terpapar pada pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hal ini memperkuat confirmation bias, membuat mereka sulit menerima perspektif yang berbeda dan semakin rentan terhadap polarisasi.
“Banyak pemilih muda terjebak dalam gelembung filter algoritma media sosial. Mereka hanya melihat apa yang mereka sukai, dan informasi yang tidak sejalan dengan pandangan mereka akan difilter. Ini menciptakan mentalitas ‘kita vs mereka’ yang berbahaya bagi demokrasi,” ujarDanu. Dalam situasi seperti itu, KPU memiliki tugas berat untuk menembus gelembung ini dan menyajikan informasi yang objektif dan berimbang.
Komisioner KPU Jatim Gogot Cahyo Baskoro mengatakan pemilih pemula adalah calon pemimpin masa depan dan pertama kalinya memberikan suara dalam pemilu/pemilihan, sehingga perlu diberi pemahaman yang baik tentang demokrasi.
“Kebanyakan pemilih pemula memiliki kondisi psikologis yang labil dan mudah dipengaruhi oleh orang lain dengan informasi yang menyesatkan,” ucap Gogot yang juga mantan Komisioner KPU Jember itu.Selain itu, lanjut dia, pemilih pemula merupakan pemilih idealis karena belum punya beban/tanggungjawab, dan pemilih pemula yang menggunakan hak pilihnya memiliki kecenderungan untuk terus berpartisipasi pada momen pemilu/pemilihan selanjutnya.
“Sosialisasi dan pendidikan pemilih dapat dikatakan berhasil bila siswa-siswi yang telah memiliki hak pilih ada peningkatan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari apatis menjadi setuju dengan pemilu, serta mau menggunakan hak pilih dengan datang ke TPS,” katanya. Oleh karena itu, saat Pilkada 2024 lalu, pihak KPU Jatim gencar melakukan sosialisasi Pilkada ke kalangan pemilih pemula.
Dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Yulianto Sudrajat menilai pemilih harus menjadi pemilih yang cerdas dengan melakukan cross-check informasi yang mereka terima, terutama dari media sosial. KPU mengimbau pemilih untuk memverifikasi informasi melalui lembaga-lembaga terpercaya dan media-media kredibel.
Dalam kondisi ini, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu menjadi sangat vital dalam membekali pemilih muda dengan literasi digital yang kuat, memastikan partisipasi mereka dalam pesta demokrasi bukan hanya kuantitatif, tetapi juga kualitatif dan cerdas.
Menurut Yulianto, KPU sungguh menyadari pentingnya peran media sosial dalam Pemilu dan Pilkada, serta dampak yang menyertainya, termasuk algoritma dan fenomena echo chamber. KPU telah mengambil langkah strategis untuk mengoptimalkan penggunaan media sosial sebagai sarana sosialisasi, sekaligus memitigasi risiko disinformasi yang bisa muncul akibat kedua hal tersebut.
Algoritma media sosial lanjut Yulianto dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan minat pengguna, yang pada akhirnya dapat menciptakan echo chamber atau ruang gema. Dalam echo chamber, individu hanya terpapar pada informasi dan pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, sehingga mereka tidak menerima sudut pandang lain.
KPU lanjut Yulianto, aktif mengelola berbagai platform media sosial resmi mereka. Tujuannya adalah untuk menyebarkan informasi yang netral, akurat, dan menyeluruh mengenai tahapan Pemilu dan Pilkada.
” Dengan strategi ini, KPU berharap bisa menjangkau pemilih di luar “gelembung” informasi mereka, terutama bagi para pemilih muda yang dominan di media sosial,” tegas Yulianto
Langkah-langkah yang diambil KPU menunjukkan komitmen mereka untuk menghadapi tantangan digital dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, memastikan bahwa informasi yang benar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Tantangan dan Perluasan Jangkauan
Meskipun upaya KPU sudah berjalan, tantangannya tidak sedikit. Kecepatan penyebaran hoaks di media sosial sering kali lebih cepat dari klarifikasi yang dikeluarkan KPU. Selain itu, masih banyak pemilih pemula yang pasif dan tidak secara aktif mencari informasi dari sumber resmi.
“KPU harus terus berinovasi dalam pendekatan mereka. Anak muda tidak suka digurui. KPU perlu menjadi teman diskusi yang cerdas, bukan sekadar sumber informasi satu arah,” kata Budi Santoso aktivis literasi digital yang juga peneliti pada Public Sphere Center (Puspec), Surabaya ini.
Menurut Budi, penting untuk menciptakan konten yang tidak hanya informatif, tapi juga menarik dan interaktif, sehingga mereka merasa terlibat dan memiliki rasa kepemilikan terhadap proses pemilu.
Dalam menghadapi “banjir informasi”, lanjut Budi, KPU tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi multipihak menjadi kunci. KPU telah menggandeng berbagai lembaga, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil, untuk menggalakkan literasi digital secara holistik.
Program-program seperti Sekolah Demokrasi Digital yang digagas KPU bekerja sama dengan kampus, menunjukkan sinergi positif dalam mendidik pemilih pemula.Dengan terus memperkuat peran edukasi digital dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, KPU harus mengupayakan agar tidak hanya menjadi korban banjir informasi, tetapi menjadi agen perubahan yang cerdas dan kritis dalam menentukan masa depan bangsa.
“Demokrasi yang sehat dimulai dari pemilih yang teredukasi, dan di era digital ini, literasi digital adalah kunci utama,” tegas Budi Santoso mengingatkan.
————– *** —————–


