33 C
Sidoarjo
Saturday, October 5, 2024
spot_img

Bahu-membahu Bangkitkan Kehidupan Baru Penyintas Erupsi Semeru

Lumajang, Bhirawa
Rangkaian kisah dramatis nan pilu masih terngiang jelas dalam memori para penyintas erupsi semeru. Walau dua tahun lebih terlewat sejak 4 Desember 2021, mereka tak akan lupa dengan guguran awan panas yang menewaskan puluhan jiwa dan memaksa lebih dari 10 ribu jiwa berlindung di pengungsian.

Untuk diketahui, data Pos Komando Tanggap Darurat Erupsi Gunung Semeru pada 21 Desember 2021 mencatat, korban meninggal sebanyak 51 orang serta 22 orang dinyatakan hilang. Selanjutnya, sebanyak 10.395 jiwa mengungsi di 410 titik pengungsian.

Pengalaman tersebut memang telah menanamkan kecemasan akan bencana yang mungkin terulang.  Namun, kecemasan itu tak lebih menakutkan dari rasa tak berdaya hidup tanpa mata pencaharian. Sebagian warga yang telah direlokasi di kawasan Bumi Semeru Damai (BSD) terpaksa harus kembali menambang pasir meski harus rela bertaruh nyawa.

Nurhayati (50), adalah satu di antara 1.951 keluarga penghuni hunian tetap (Huntap) BSD Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro. Saat ditemui, ibu dua anak tersebut terlihat sibuk melayani pembeli di warungnya. Warung berukuran sekitar 3 x 4 meter tersebut merupakan bagian dari huntap yang ia tinggali.

Dia tampak sibuk sendiri. Katanya, sang suami saat siang tengah bekerja menambang pasir. Pekerjaan itu adalah pekerjaan lama suaminya. Sempat berhenti karena erupsi Semeru, namun kembali lagi demi menyambung nafas di kehidupan baru.

“Bapak sekarang cari pasir lagi. Sebenarnya juga was-was. Tapi kan semua dijalani demi keluarga. Anak saya satu sedang di pesantren dan setiap bulan pasti butuh biaya,” ujar Nurhayati.
Meski seolah nekat, Nurhayati sadar bahwa kegiatan menambang pasir yang penuh resiko itu suatu saat harus diakhiri. Karena itu, sejak di pengungsian dia bersama suaminya telah bertekad untuk membangun usaha.

“Modalnya ya dari bantuan-bantuan itu saya kumpulkan sedikit – sedikit. Sampai akhirnya bantuan itu terkumpul Rp 20 juta. Banyak mas bantuan itu, tapi nggak semua orang bisa nyelengi,” ujar Nurhayati.
“Orang-orang itu kalau dikasih uang kadang dipakai semaunya. Ada yang dibuat beli HP baru, ada yang beli perabot, sepeda, macem-macem lah mas. Kalau saya memang sudah niat mau berjualan,” sambung Nurhayati.

Satu tahun Nurhayati mengungsi di Balai Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Lumajang. Saat mengungsi itu pula, Nurhayati menabung dan memulai berjualan mie ayam.
“Ada yang sempat melarang waktu itu. Karena kalau ada bantuan datang tidak ada di lokasi pengungsian, nanti nggak kebagian. Tapi saya tetap jualan saja, kalau rezeki pasti nggak akan kemana,” kenangnya.

Nurhayati bersyukur, ada rumah yang disiapkan pemerintah untuk dia tinggali menggantikan rumah asalnya yang terkubur material vulkanik di Dusun Kajarkuning, Desa Sumberwuluh. Meski di rumah barunya tersebut, banyak hal yang harus disiasati agar tetap kondusif. Salah satunya ialah ketersediaan air bersih yang mengalir secara bergantian.

“Harus bisa mengatur sendiri. Pas airnya ngalir, saya tampung di bak-bak dan ember itu. Nanti pas hari berikutnya mati, kita sudah siap. Pokoknya dari dirinya masing-masing harus pintar mengatur. Kita nggak bisa terus-terusan menuntut pemerintah,” ujar dia.

“Mendapat rumah ini saja saya sudah bersyukur. Kalau tidak direlokasi, saya mungkin sudah disuruh pindah keluarga di Kalimantan,” sambung dia.

Membangun kehidupan baru membutuhkan adaptasi yang tak mudah. Termasuk Siti Aminah yang hidup dengan hasil perkebunan singkon di ladang miliknya. Kendati telah nyaman tinggal di huntap, aktifitas suaminya di lahan pertanian di Desa Sumberwuluh masih menjadi andalan.
“Tahun 2022 saat hampir panen singkong, erupsi kembali terjadi. Kondisi ekonomi menjadi semakin berat karena gagal panen,” kenang Siti.

Dalam kondisi yang terpuruk itu, Siti tetap merasa tetap bersyukur lantaran memiliki tempat tinggal yang dia yakini cukup aman. Sehingga pada erupsi tahun 2022, dia merasa tidak perlu mengungsi lagi.

“Saya merasa tidak perlu panik. Karena ini kan rumah relokasi, tentunya sudah dipikirkan supaya aman dari potensi lahar dingin Semeru,” terang Siti.

Kepala Desa Sumbermujur Yayuk Sri Rahayu membenarkan, sebagian warga barunya yang berasal dari Desa Curahkobokan, Kecamatan Pronojiwo serta Desa Sumberwuluh dan Desa Jugosari, Kecamatan Candipuri tersebut kembali ke pekerjaan lamanya. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah untuk memberikan alternatif mata pencaharian yang lebih aman.

Berita Terkait :  Kantor Cabang BRI Sidoarjo Gelar Undian Panen Hadiah Simpedes

“Ada yang kembali ke pertanian mereka, ada juga yang kembali ke penambangan pasir. Tapi ada juga yang beralih menjadi pedagang,” terang Yayuk.

Membangun kehidupan baru di huntap BSD diakui Yayuk tidaklah sederhana. Sebab, membangun masyarakat tidak sekadar memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain. Sejak April 2022, relokasi di hunian sementara (huntara) dilakukan secara bertahap. Sejak itu pula, berbagai tantangan dihadapi Yayuk.

“Saat erupsi Semeru itu, saya baru dua hari terpilih jadi kepala desa bahkan belum dikukuhkan. Tapi dipaksa menyesuaikan diri dengan tugas yang saat itu cukup berat,” ujar Yayuk.
Salah satu tantangan membangun masyarakat di BSD ialah pembiasaan hidup di perumahan terpadu. Mereka yang terbiasa hidup di sekitar wilayah sungai terbiasa dengan membuang sampah atau buang air di mana saja.

“Jadi mengubah maindset mereka yang biasa hidup di sekitar alam bebas butuh pendekatan yang kuat. Meskipun di sini sudah ada TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu), tapi masih ada saja yang membuang sampahnya di alam liar,” jelas Yayuk.

Untuk diketahui, hunian yang ditinggali penyintas erupsi Semeru ini dibangun di atas tanah seluas 10 x 14 meter. Di atas tanah tersebut terdapat dua bagian bangunan yang bersambung. Yakni hunian sementara yang dibangun seluas 4,8 x 6 meter dan hunian tetap seluas 6×6 meter.

Kawasan Bumi Semeru Damai yang menjadi hunian penyintas erupsi Semeru menjadi laboratorium bencana.

BSD sebagai Laboratorium Bencana
Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang Patria Dwi Hastiadi mengungkapkan, hampir 60 persen warga yang direlokasi itu terlibat dalam aktifitas pertambangan. Menjadi kuli untuk menaikkan pasir ke atas truk, satu hari mereka bisa mengantongi Rp 300 – Rp 500 ribu.

“Jadi kalau mereka pindah ke BSD kemudian mereka menghitung pendapatan sebelumnya, tentunya tidak semudah yang dibayangkan. Pekerjaan apa yang bisa menyamai pekerjaan mereka di tempat yang lama,” jelas Patria.

Karena itu, BSD sebagai laboratorium kebencanaan terus melakukan upaya intervensi untuk memberikan alternatif kegiatan ekonomi mereka. Pihaknya pun menyadari, di antara intervensi itu ada pendekatan yang dapat terus dijalankan, namun ada pula yang gagal.

“Pemerintah melalui dokumen R3P  (Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana) telah menyusun berbagai rancangan intervensi untuk korban erupsi Semeru. Ada intervensi pelatihan, intervensi permodalan, dan sebagainya. Dari sekian banyak itu ada yang berhasil ada yang tidak,” jelas Patria.

Salah satu intervensi penguatan ekonomi yang saat ini tengah berjalan ialah dibangunnya kandang terpadu yang memberikan kesempatan warga untuk beternak. Selain itu, warga juga mendapatkan hak mengelola lahan seluas 5 x 15 meter untuk kegiatan pertanian.

Selain sektor ekonomi, laboratorium kebencanaan ini juga berfungsi untuk memperkuat kesadaran mitigasi warga. Patria menceritakan, tahun 2021 sebelum awan panas guguran Semeru terjadi, pola pikir masyarakat masih sangat lemah terhadap mitigasi. Bahkan menganggap mitigasi bencana sebagai penyebab bencana itu sendiri.

“Dua minggu sebelum erupsi itu, kita melakukan sosialisasi ke warga. Apa kata masyarakat? Orang pemda kerjaannya meden-medeni wong (Menakut-nakuti orang). Kemudian saat gladi mitigasi, orang Pronojiwo menganggapnya justru sebagai mengundang bencana. Itu pola pikir mereka,” tutur Patria.

Meyakinkan masyarakat untuk memulai kehidupan baru di huntap membutuhkan upaya penyadaran yang detail. Terlebih lokasi huntap dengan titik semburan awan panas guguran justru lebih dekat dibandingkan rumah asalnya.

“Rumah asalnya itu berjarak antara 8 – 15 kilo meter. Sedangkan huntap jaraknya sekitar 6 kilometer. Jadi lebih dekat dengan pusat guguran awan panas. Tapi Sumbermujur yang menjadi tempat relokasi itu tidak termasuk dalam KRB (Kawasan Rawan BEncana) I, II, dan III,” tegas dia.

“Jadi harus kita pahamkan, KRB I,II, dan III itu bukan karena jarak dekat atau jauh. Tapi historis jalur material yang turun dari Semeru itu sampai ke kawasan pemukiman warga,” sambung Patria.

Berita Terkait :  Polres Gresik Gelar Patroli Antisipasi Gangguan Kamtibmas Jelang Pemilu

Pemahaman BSD sebagai laboratorium bencana ini harus terus dilakukan. Patria menyebut, hal itu dilakukan dengan menguatkan masyarakat, mitigasi yang tangguh, membangun infrastruktur dan memenuhi sarana prasarana masyarakat.

Jembatan penghubung yang kembali dibangun Pemprov Jatim setelah banjir lahar dingin pada April 2024 di Desa Kloposawit.

Jembatan Terhubung, Harapan Tersambung
Tulisan ini masih tentang kehidupan pilu di kaki puncak Mahameru. Alwi (49) warga Dusun Gunung Pedot, Desa Suputurang berusaha menggambarkan kembali kepanikan yang dialaminya tiga tahun silam.

Langit gelap dan warga berhamburan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Seolah kiamat telah tiba. Saat peristiwa awan panas guguran terjadi, entah siapa yang selamat dan siapa yang tidak.
“Kita baru bisa tahu setelah paginya. Sampai sekarang kita juga terus khawatir dan hanya berharap saat malam hari istirahat, esoknya kita bisa bangun kembali,” tutur Alwi dengan mata berkaca-kaca.

Letak Dusun Gunung pedot berada persis bersebelahan dengan Dusun Curahkobokan yang habis tertutup material vulkanik. Karena letaknya yang lebih tinggi dari Dusun Curahkobokan, wilayah ini relatif aman dari terjangan lahar dingin. Kendati demikian, rasa was-was dan panik itu tak mungkin hilang.

Terlebih di jalur lahar dingin Sungai Besuk Kobokan, dua bangunan jembatan terhempas dalam waktu yang bersamaan. Keduanya ialah jembatan Gladak Perak baru yang didirikan pemerintah tahun 1998 dan jembatan Gladak Perak lama peninggalan pemerintah Hindia Belanda.

“Saat itu benar-benar mencekam. Langit gelap, listrik padam, tidak ada air, jembatan ambruk dan akses lumpuh total. Anak-anak tidak bisa ke sekolah karena jembatan yang menjadi akses ke arah Lumajang ambruk,” ceritanya.

Posisi Jembatan Gladak Perak sangat vital. Jembatan tersebut menghubungkan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Akibat terputusnya jalur itu, daerah Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, hanya bisa diakses dari Malang. Sementara itu, arus kendaraan dari Lumajang menuju Malang dan sebaliknya untuk sementara dialihkan melewati Probolinggo.

Selang empat bulan berlalu setelah peristiwa erupsi 2021, Kementerian PUPR merampungkan jembatan gantung Gladak Perak yang menhubungkan Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Pronojiwo.

Selain jembatan gantung Gladak Perak, pemulihan akses juga dilakukan dengan membangun kembali jembatan Kajar Kuning oleh swasta dan rampung pada Agustus 2022. Gubernur Jatim periode 2019 – 2024 Khofifah Indar Parawansa saat itu menyampaikan, jembatan  yang dibangun melalui program Coorporate Social Responsibility (CSR) PT. Aurum Infinitium Solaris ini merupakan wujud sinergi pemerintah dan swasta untuk mengungkit pemulihan ekonomi pasca terjadinya erupsi Gunung Semeru.

Sementara jembatan utama Gladak Perak, Kementerian PUPR memperkirakan baru akan rampung dalam kurun waktu satu tahun. Pada April 2023, jembatang yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp 100 miliar oleh pemerintah pusat itu pun akhirnya dapat dilewati warga.

Bahu-membahu membangun kembali infrastruktur ini terus berlanjut untuk memulihkan kehidupan dan ekonomi penyintas erupsi Semeru. Di pertengahan 2023 tepatnya pada 7 Juli, tiga jembatan sekaligus ambruk diterjang erupsi Semeru. Ketiganya ialah, jembatan penghubung Lumajang – Malang, jembatan Mujur II penghubung Desa Kloposawit – Desa Tumpeng Kecamatan Candipuro dan jembatan gantung Kali Regoyo desa Sumberwuluh Kecamatan Candipuro.

Tak hanya itu, kerusakan juga terjadi sarana prasarana infrastruktur sumber daya air berupa bangunan groundsill dan tanggul – tanggul sungai, pemukiman, lahan pertanian serta fasilitas umum lainnya, dan berdampak pada  perekonomian masyarakat setempat.

Jembatan Mujur II Kloposawit berhasil rampung dan diresmikan Gubernur Khofifah kalah itu pada 20 September 2023. Jembatan ini dibangun dengan menggunakan konstruksi bailey atau rangka baja dan menelan anggaran sebesar Rp 11 miliar. Jembatan dengan panjang 39 meter dan lebar 5,1 meter ini perkirakan bisa mencapai 50 tahun serta mampu menahan daya beban lalu hingga 40 ton.

Sayang, jembatan ini kembali roboh beberapa bulan kemudian. Tepatnya pada 18 April 2024, lahar dingin mengulangi erupsinya dan merobohkan kembali jembatan di Desa Kloposawit ini. Aksi cepat pun dilakukan Pj Gubernur Jatim Adhy Karyono dengan membangun kembali jembatan tersebut dengan kurun waktu hanya 1 bulan 3 minggu.

Berita Terkait :  Hari Bhayangkara ke-78, Polres Gresik Semangat Menuju Indonesia Emas

Pada Juni 2024, Adhy Karyono meresmikan jembatan Kloposawit sekaligus tanggul sungai Mujur. “Penyelesaian tanggul ini lebih cepat dari yang disepakati, dari 2 bulan jadi 1 bulan 3 minggu, ini menunjukkan bahwa teman-teman juga bekerja dengan niatan dengan secepatnya mengatasi persoalan tanggul jebol,” terang Adhy.

Lebih lanjut Adhy menjelaskan tanggul Sungai Mujur ini dibangun di dua titik lokasi dan 1 upaya normalisasi. Titik pertama dengan tanggul sepanjang 225m, tinggi 7.5 m dan krib sepanjang 30 m dengan tinggi 4.5 m, titik kedua tanggul sepanjang 62 m dengan tinggi 2 m dan untuk normalisasi sepanjang 362 m dengan volume 3.169 m3.

“Mudah-mudahan dengan dibuat tanggul yang lebih dari yang semula tingginya itu bisa lebih memberikan perlindungan yang maksimal kepada masyarakat,” harapnya.

Selain lokasi ini, Pj. Gubernur Adhy menyebut Pemprov Jatim tengah menyelesaikan 4 tanggul di lokasi berbeda di Kab. Lumajang. Juga ada 5 jembatan yang dibangun dan 1 jembatan diperbaiki. Selain itu juga ada 1 perbaikan jalan yang ada di Tawon Songo kecamatan Pasrujambe.
“Saya kira hampir Rp 52 Miliar itu bukan jumlah yang kecil ya untuk saat ini, menggunakan bantuan BTT itu jumlah yang sangat besar, dan ini merupakan bentuk perhatian kami,” ucapnya.

Melangitkan Harapan Aman dari Bencana
Ikhtiar duniawi baik dalam bentuk mitigasi, rehabilitasi maupun rekonstruksi telah dilakukan dengan sangat massif.  Tetapi itu saja tak cukup. Warga yang tinggal di sepanjang aliran lahar dingin Semeru masih memendam kecemasan dan menyerahkan seluruh takdirnya pada Pencipta Semeru yang sesungguhnya.

Karena itulah, warga tak henti berdoa agar diri dan keluarganya, ternak dan ladangnya, tanah dan rumahnya senantiasa mendapat perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Kepala Dusun Kebonjati, Desa Kloposawit Tohir mengatakan, setiap bulan di malam Jumat Legi, warganya rutin menggelar Barikan. Ritual ini dilakukan sebagai cara mendekatkan diri dan mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan. Barikan tersebut, lanjut dia, biasa digelar warga di perempatan jalan. Mereka membawa makanan dan dinikmati bersama setelah didoakan oleh tokoh agama.

“Banjir lahar dingin ini terjadi hampir setiap tahun. Antara Juni – Juli, volume lahar dingin menjadi sangat tinggi. Jadi kita hanya bisa berdoa selain upaya mitigasi yang dilakukan,” ujar Tohir.

Barikan ini tidak hanya diperuntukkan untuk menolak bala erupsi Semeru. Melainkan juga hama tikus yang kerap menyerang lahan persawahan mereka. “Bulan September ini sedang banyak-banyak tikus di sawah. Jadi kita berdoa supaya hama ini juga dihilangkan,” terang dia.

Tohir mengakui, meski sudah dilakukan edukasi berulang. Masyarakat kerap lalai dengan peringatan-peringatan yang telah disosialisasikan. Misalnya saat banjir lahar dingin tiba, masyarakat justru tidak menjauh tapi menonton dari dekat.

“Jadi waktu banjir datang, di sisi-sisi sungai itu masyarakat malah berkumpul melihat aliran deras lahar dingin. Terus saat ada material besar lewat, seperti kayu dan batu, mereka berhamburan menjauh. Ini kan bahaya sebenarnya,” tegas Tohir.

Kekhawatiran akan bencana berulang itu cukup kuat dirasakan Tohir. Ini lantaran riwayat kerusakan yang diakibatkan erupsi Semeru telah terjadi berulang kali. Jembatan di Sungai Mujur ini tercatat telah empat kali mengalami putus diterjang erupsi. Sebelum tahun 1966, telah dibangun jembatan permanen dengan pondasi di tengah sungai Mujur. Kemudian setelah putus, tahun 1966 dibangun kembali jembatan permanen dengan pondasi berada di sisi Sungai Mujur. Jembatan itu kembali putus pada tahun 2023 dan dibangun dengan konstruksi bailey. Terakhir, jembatan yang baru diresmikan itu kembali putus pada April 2024 dan dibangun kembali dengan konsep konstruksi yang sama.

Sementara itu, Kepala Desa Kloposawit Marjoko mengungkapkan rasa syukurnya atas respon cepat dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dalam menangani banjir lahar dingin Semeru. Karena respon cepat itu, kehidupan cepat kembali normal. “Alhamdulillah responnya sangat cepat. Warga dapat beraktifitas kembali dan bekerja seperti sedia,” pungkas dia.[tam]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img