Oleh :
Prof Dr Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang
Selama masa kampanye pemilu sejak 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024 masyakat Indonesia dihibur oleh gimik-gimik politik yang dilontarkan pasangan capres-cawapres. Salah satu gimik politik yang cukup populer adalah pemberian susu gratis untuk anak sekolah dan pesantren yang digagas pasangan Prabowo-Gibran. Menurut Prabowo, program ini akan menjangkau sekitar 80 juta anak yang harus diberi susu sapi segar 500 cc per anak, sehingga dibutuhkan sebanyak kurang lebih 40 juta liter susu sapi. Untuk mewujudkan program tersebut, jika dirinya terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia, Prabowo berencana mengimpor 1-2,5 juta ekor sapi perah. Sapi perah impor tersebut diharapkan akan melahirkan dalam dua tahun, sehingga menambah populasi sapi menjadi 3 juta ekor. Program pemberian susu gratis, bersama program makan siang gratis, diperkirakan menelan anggaran Rp450 triliun per tahun. Program itu digagas guna mengentaskan stunting di Indonesia. Mereka menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat dengan cakupan 100 persen pada tahun 2029. Program makan siang dan susu gratis masuk dalam ‘8 program hasil terbaik cepat’ dalam visi dan misi Asta Cita yang diusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Susu bukan makanan populer bagi penduduk Indonesia. Angka partisipasi konsumsi susu penduduk Indonesia hanya sebesar 45,12 persen, artinya hanya 45,12 persen penduduk Indonesia yang mengkonsumsi susu. Konsumsi susu baru mencapai 16,27 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi susu sebagian besar berupa susu kental manis, susu cair pabrik, susu bubuk, dan susu bubuk bayi. Compass Research (2015) mencatat konsumsi susu cair Indonesia hanya 3,36 liter/kapita/tahun setara 10 tetes susu/kapita/hari.
Rendahnya konsumsi susu penduduk Indonesia terutama berkaitan dengan tradisi dan produksi. Minum susu bukan tradisi penduduk Indonesia, seperti minum kopi, teh, dan jamu, yang telah turun-temurun karena ketersediaan hasil perkebunan dan rempah-rempah yang melimpah. Alasan mengapa masyarakat Indonesia tidak terbiasa meminum susu terungkap dalam buku “The History of Java” karya Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles yang diterbitkan pada 1817. Raffles menemukan fakta konsumsi susu di Asia Tenggara rendah karena merasa jijik seperti meminum darah berwarna putih. Alasan lain adalah intoleransi laktosa (lactose intolerance), yaitu ketidakmampuan mencerna laktosa yang merupakan sejenis gula di dalam susu. Hal ini disebabkan oleh kurangnya atau bahkan tidak adanya enzim laktase untuk mencerna laktosa di usus halus, sehingga mengakibatkan diare bagi pemula minum susu sapi.
Produksi ternak sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19, atas jasa kontrolir van Andel yang bertugas di Kawedanan Tengger, Pasuruan (1891-1893). Dokter hewan Bosma menganjurkan mengimpor 105 ekor sapi pejantan Fries Holland (FH) dari negeri Belanda. Perkawinan antara sapi-sapi impor dengan sapi lokal Pasuruan inilah yang menjadi dasar terbentuknya sapi perah Peranakan Fries Holland (PFH) yang tersebar di Jawa. Meskipun telah dikembangkan selama 125 tahun, jumlah populasi sapi perah di Indonesia sampai tahun 2022 hanya sebanyak 592.897 ekor. Sebaran polusi terbanyak ada di Jawa sebanyak 98,19 persen, di mana 51,79 persen berada di Jawa Timur, 24,99 persen di Jawa Tengah, dan 20,78 persen di Jawa Barat. Populasi sebanyak itu menghasilkan produksi susu 926.348 ton. Produksi susu ini hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 33,84 persen kebutuhan susu nasional, sedangkan 66,16 persen sisanya harus diimpor dalam bentuk skim milk powder, anhydrous milk fat, dan butter milk powder dari berbagai negara, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Gagasan Prabowo mengimpor 1-2,5 juta ekor, setara dua sampai lima kali populasi saat ini, tergolong tidak realistis. Pertama, akan dipelihara di mana sapi sebanyak itu ? Produksi susu bukan sekedar memperbanyak populasi sapi, melainkan berkaitan juga lahan, pakan, tenaga kerja, peralatan, dan industri pengolahan. Dengan populasi 592.897 ekor saat ini, peternak sudah mulai kesulitan lahan, pakan, tenaga kerja, dan peralatan. Kedua, masalah dana. Mengimpor sapi sebanyak 1-2,5 juta ekor dengan harga Rp 20 juta/per ekor diperlukan dana Rp20-50 triliun. Sektor pertanian itu masalahnya banyak, sedangkan anggarannya sedikit. Dengan anggaran terbatas Kementan harus mempertahankan prioritas swasembada beras, bukan mengejar swasembada susu. Sebagai contoh, pada Tahun Anggaran 2024, Kementan memperoleh pagu APBN sebesar Rp14,734 triliun. Dari anggaran tersebut Ditjen Tanaman Pangan memperoleh anggaran sebesar Rp3,002 triliun (20,30%), sedangkan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan memperoleh bagian sebesar Rp2,543 triliun (17,26%). Memang anggaran bisa dialokasikan dari kementerian lain, namun ada prioritas yang lebih penting di sektor pangan, seperti penyediaan pupuk subsidi dan swasembada daging sapi.
Upaya yang lebih realistis untuk meningkatkan kualitas anak bangsa berkaitan dengan stunting dan kecerdasan anak adalah membagi telur ayam gratis. Telur memiliki karakteristik bergizi lengkap sehingga disebut kapsul gizi atau superfood, berharga murah, tersedia dengan mudah, dan dapat diolah menjadi berbagai jenis menu makanan. Telur merupakan bahan pangan yang lebih populer dibanding susu sapi. BPS mencatat bahwa rata-rata konsumsi telur penduduk Indonesia tahun 2022 sebanyak 20,02 kg/kapita per tahun. Angka partisipasi konsumsi telur ayam sebesar 93,15 persen, yang berarti 93,15 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi telur ayam.
Pada 21 Maret 2023 BKKBN mencanangkan kampanye pencegahan stunting secara nasional melalui program “Semesta Cegah Stunting, Cukup Dua Telur”. Telur merupakan sumber protein hewani bermutu tinggi karena memiliki susunan asam amino esensial lengkap dan memiliki nilai biologi 100 persen. Dua butir telur ayam ras seberat 100 gram mengandung zat gizi antara lain; kalori (154 kkal), protein (12,4 g), lemak (108 g), karbohidrat (0,7 g), kalsium (86 mg), fosfor (258 mg), zat besi (3 gram), kalium (118,5 gram), natrium (142 gram), Vitamin A (104 mcg), Tiamin (Vit.B1) (0,12 mg) dan Riboflavin (Vit. B2) (0,38 mg).
Memakan satu butir telur cukup efektif untuk mencegah stunting pada anak usia 6-9 bulan. Anak yang mengkonsumsi satu butir telur sehari selama 6 bulan dalam periode makanan pendamping ASI (MPASI) 6-9 bulan terbukti menurunkan prevalensi stunting 47 persen dan berat badan rendah (underweight) 74 persen. Pada anak usia lebih dari satu tahun, konsumsi telur kemudian ditingkatkan menjadi dua butir sehari. Untuk ibu hamil atau sebelum bayi lahir, dianjurkan mengkonsumsi 1-2 butir telur sehari. Sebuah studi dari Washington University menunjukkan bahwa memberi anak satu butir telur per hari selama 6 bulan dapat secara signifikan meningkatkan fungsi otak. Telur mengandung kolin dan DHA (Docosahexaenoic Acid). Keduanya merupakan nutrisi yang sangat penting bagi kesehatan dan perkembangan otak anak. ***
———– *** ————-