Oleh :
Ahmad Fizal Fakhri
Assistant Professor at UINSA, Activist, Media Team of UINSA Postgraduate Program
Kebijakan Donald Thrump Presiden Amerika Serikat (AS) menunjukkan kecenderungan proteksionisme yang semakin menguat. Melalui pemberlakuan tarif impor yang lebih tinggi terhadap sejumlah produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia, AS berusaha melindungi industri dalam negerinya dari kompetisi global. Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan strategis: apakah proteksionisme AS akan menjadi batu sandungan atau justru peluang bagi Indonesia dalam memperkuat posisinya di pasar global?
Tarif Impor AS dan Implikasinya
AS, sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, memiliki pengaruh besar terhadap kinerja ekspor nasional. Menurut data dari U.S. International Trade Commission (USITC), tarif rata-rata Most Favored Nation (MFN) AS berada di kisaran 2,3%, namun pada praktiknya, banyak produk dari negara berkembang dikenai tarif lebih tinggi. Pada 2024, AS menaikkan tarif impor untuk produk tekstil hingga 13%, karet olahan hingga 10%, dan produk elektronik tertentu hingga 7%. Ini berdampak langsung terhadap kinerja ekspor Indonesia yang mengandalkan produk-produk tersebut ke pasar AS.
Misalnya, ekspor tekstil Indonesia ke AS pada 2023 mencapai USD 5,2 miliar, namun dengan peningkatan tarif, volume ekspor menurun sekitar 6,4% pada kuartal pertama 2024. Data ini menunjukkan adanya tekanan signifikan terhadap daya saing harga produk Indonesia di pasar Amerika. Tarif yang lebih tinggi berarti harga produk Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dari negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS, seperti Meksiko atau Vietnam.
Indonesia: Terpukul atau Terdorong?
Alih-alih hanya meratapi hambatan tarif tersebut, Indonesia justru harus melihatnya sebagai momen untuk introspeksi sekaligus menata ulang strategi ekspor. Ada beberapa pendekatan yang dapat diambil untuk menyiasati dampak proteksionisme AS:
- Diversifikasi Pasar Ekspor
Indonesia selama ini terlalu bertumpu pada pasar tradisional seperti AS, China, dan Jepang. Proteksionisme dari AS harus menjadi pemicu untuk mempercepat diversifikasi pasar, terutama ke kawasan yang menawarkan tarif lebih rendah atau bahkan bebas tarif melalui perjanjian perdagangan, seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership). Negara-negara seperti India, Filipina, atau Uni Emirat Arab masih terbuka luas bagi produk Indonesia dan belum memberlakukan hambatan tarif seketat AS. - Penguatan Hilirisasi Produk Ekspor
Selama ini, banyak produk ekspor Indonesia masih berupa barang mentah atau setengah jadi, seperti karet mentah, bijih nikel, atau CPO. Ketika AS mengenakan tarif tinggi, dampaknya terhadap produk mentah lebih terasa karena margin keuntungan sangat tipis. Dengan memperkuat hilirisasi, Indonesia dapat mengekspor produk dengan nilai tambah lebih tinggi seperti ban mobil, baja tahan karat, atau biodiesel. Ini bukan hanya menekan dampak tarif, tetapi juga memperbesar potensi nilai ekspor. - Perjanjian Dagang Bilateral yang Proaktif
Indonesia hingga kini belum memiliki FTA dengan AS, berbeda dengan Vietnam yang sudah menikmati preferensi tarif di bawah CPTPP dan GSP (Generalized System of Preferences). Sejak 2021, Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar negara penerima GSP dari AS, yang sebelumnya memberikan pembebasan tarif untuk lebih dari 3.500 jenis produk. Oleh karena itu, perlu diplomasi ekonomi yang lebih agresif untuk menegosiasikan kembali GSP atau bahkan merintis FTA bilateral yang memungkinkan tarif lebih rendah bagi produk Indonesia.
Efek Jangka Panjang: Reposisi Strategis
Secara makro, proteksionisme AS seharusnya tidak hanya dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai momentum untuk melakukan reformasi struktural pada sistem ekspor Indonesia. Ekonomi global sedang memasuki fase fragmentasi perdagangan, di mana rantai pasok global menjadi lebih regional. Dalam konteks ini, Indonesia harus menempatkan diri sebagai mitra utama di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik, bukan hanya sebagai eksportir bahan mentah, tetapi sebagai pusat produksi regional.
Bank Dunia dalam laporan “Global Economic Prospects 2024” menyebutkan bahwa negara-negara berkembang yang beradaptasi cepat terhadap perubahan arsitektur perdagangan global akan mengalami lonjakan PDB antara 1,5-2% lebih tinggi dibandingkan negara yang stagnan. Ini membuka ruang optimisme bagi Indonesia jika mampu mengambil sikap aktif.
Proteksi Bukan Akhir Segalanya
Langkah proteksionis AS tentu menantang, namun bukan akhir dari prospek ekspor Indonesia. Justru, kebijakan tarif yang semakin ketat itu menjadi sinyal kuat bahwa bergantung pada satu pasar adalah strategi yang usang. Dengan memperkuat hilirisasi, memperluas pasar, dan mengakselerasi perjanjian perdagangan, Indonesia dapat membalik tantangan ini menjadi peluang besar untuk menata arah ekspor nasional yang lebih tahan terhadap guncangan global.
Jika AS semakin menutup pintunya, maka Indonesia harus memastikan banyak jendela lain terbuka lebar. Tahun 2025 harus menjadi titik tolak bagi transformasi strategi ekspor Indonesia menuju kemandirian dan keberlanjutan. Prospektif bukan hanya soal potensi, tetapi soal kesiapan untuk berubah. Dan saatnya adalah sekarang.
———– *** ————-