25 C
Sidoarjo
Wednesday, December 10, 2025
spot_img

Anak Belajar Jujur dari Rumah: Hari Antikorupsi Menguji Parenting Kita

Oleh :
Dr. Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta

Setiap tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Di Indonesia, peringatan ini sering dipahami sebagai urusan pejabat, politik, dan birokrasi. Padahal, jauh sebelum korupsi merusak institusi negara, ia tumbuh dari tempat yang paling dekat dan paling menentukan masa depan bangsa: rumah. Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan tentang operasi tangkap tangan, dugaan penyalahgunaan dana bantuan, atau proyek yang dikerjakan asal-asalan, ada satu pertanyaan penting yang patut kita renungkan. Apakah kita, sebagai orang tua, telah mengajarkan kejujuran pada anak-anak kita?

Kita sering membayangkan korupsi sebagai tindakan besar: menyuap pejabat, memanipulasi anggaran, mengambil keuntungan dari dana publik. Namun bagi seorang anak, bibit korupsi tumbuh dari hal-hal kecil yang dilakukan orang dewasa di sekelilingnya. Masalahnya, anak meniru sebelum mereka mengerti. Anak lebih cepat menyerap perilaku daripada nasihat. Dalam dunia pendidikan anak dini, ini disebut modelinganak bukan mendengar apa yang kita katakan, tetapi melihat apa yang kita lakukan.

Contoh kecil ini terjadi di Bandung pada tahun 2024. Seorang guru sekolah dasar menceritakan bagaimana seorang murid kelas tiga menangis saat ditegur karena mencontek. Ketika gurunya bertanya mengapa ia melakukan itu, sang anak menjawab polos bahwa di rumah, ia sering mendengar orang tuanya berkata “yang penting hasilnya bagus, cara belakangan.” Ungkapan sederhana, tetapi kuat sekali pengaruhnya. Anak itu bukan sedang belajar mencontek; ia sedang belajar bahwa tujuan dapat membenarkan cara, sekecil apa pun kesalahannya. Inilah pola pikir yang, ketika tumbuh dewasa, dapat berubah menjadi legitimasi untuk melakukan korupsi.

Berita Terkait :  Santri Sidoarjo Berprestasi Dalam MTQ Nasional Tahun 2024 Dapat Penghargaan

Dalam banyak kasus, bibit perilaku koruptif tidak tumbuh dari kemiskinan, bukan pula dari kurangnya pendidikan formal. Ia tumbuh dari ketidakkonsistenan moral di rumah. Orang tua meminta anak untuk jujur, tetapi kemudian mengajari mereka berbohong kepada guru, memakai nama orang lain, atau melebih – lebihkan kondisi agar mendapat bantuan sekolah. Orang tua memarahi anak ketika mengambil barang bukan miliknya, tetapi mereka sendiri mengambil barang kantor, memakai fasilitas publik untuk kepentingan pribadi, atau memalsukan data tanpa merasa bersalah. Anak melihat semua itu, merekamnya, dan menyimpulkannya sebagai sesuatu yang normal.

Di sinilah Hari Antikorupsi Sedunia seharusnya menjadi bukan hanya peringatan administratif, tetapi cermin besar bagi praktik parenting kita. Kita tidak bisa berharap memiliki generasi antikorupsi jika di rumah, kebohongan-kebohongan kecil dibiarkan tumbuh tanpa koreksi. Banyak penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak yang terbiasa melihat manipulasi, tipu muslihat, atau pembenaran atas perbuatan salah akan memiliki toleransi lebih tinggi terhadap tindakan tidak etis ketika dewasa. Nilai integritas, jika tidak ditanam sejak awal, akan sulit dibentuk ketika anak sudah remaja atau dewasa.

Kita juga harus berani bertanya hal yang lebih dalam: apakah kita telah menjadi contoh yang baik? Banyak orang tua menginginkan anaknya jujur, tetapi sering kali tidak siap menerima konsekuensi dari kejujuran itu. Ketika anak mengakui kesalahannya, orang tua memarahinya. Ketika anak berkata jujur tentang kegagalannya, orang tua membandingkan dengan anak lain. Ketika anak mencoba berterus terang, ia dihukum atau dicemooh. Pada akhirnya, anak belajar bahwa berkata jujur itu menyakitkan, dan berbohong itu lebih aman. Maka lahirlah generasi yang tidak berani salah dan tidak berani jujur.

Berita Terkait :  Guru Menyalakan Cahaya, Orang Tua Menjaganya

Indonesia hari ini menghadapi banyak persoalan korupsi: dari tingkat tertinggi negara hingga persoalan paling lokal seperti penyaluran bantuan, proyek desa, atau pungutan liar sekolah. Semua ini memang membutuhkan penegakan hukum yang kuat. Namun, tidak ada penegakan hukum yang mampu mengatasi budaya jika rumah tangga tetap menjadi tempat suburnya mentalitas koruptif.

Karena itu, membangun generasi antikorupsi harus dimulai dari ruang keluarga. Pendidikan moral bukan soal ceramah panjang, tetapi pembiasaan sehari-hari. Orang tua perlu menunjukkan bahwa berkata jujur itu aman, meskipun pahit. Orang tua harus mengajarkan bahwa kegagalan bukan alasan untuk memanipulasi hasil, tetapi kesempatan untuk belajar. Orang tua perlu memperlihatkan bahwa integritas lebih penting daripada pencapaian yang instan. Ketika anak melihat orang tuanya antre dengan tertib, mengembalikan uang kembalian berlebih, mengakui kesalahan, atau mengikuti aturan meski tidak diawasi, mereka sedang belajar nilai kejujuran yang tidak bisa dibeli dengan kata-kata.

Contoh sederhana dapat mengubah banyak hal. Mengakui kepada anak bahwa kita juga pernah salah, lalu memperbaikinya, jauh lebih mendidik daripada memaksa anak berkata jujur sementara kita sendiri menyembunyikan kesalahan. Begitu pula ketika kita menolak memberikan contoh-contoh kebohongan kecil, seperti meminta anak membantu membuat alasan palsu kepada guru atau tetangga. Anak belajar bahwa kebenaran tidak boleh dinegosiasikan.

Pada akhirnya, Hari Antikorupsi Sedunia bukan hanya peringatan untuk pemerintah atau lembaga penegak hukum. Ia adalah ujian moral bagi setiap rumah tangga Indonesia. Pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia mampu memberantas korupsi, tetapi apakah keluarga-keluarga Indonesia siap memutus rantai korupsi itu dari akarnya. Kita dapat membangun sistem hukum yang ketat, tetapi tanpa integritas di rumah, bangsa ini akan selalu berjalan di tempat.

Berita Terkait :  Hari Tani, Warga Kesamben Jombang Antusias Ikut Dialog Budaya dan Pertanian

Anak-anak adalah cermin masa depan. Jika kita ingin Indonesia bebas dari korupsi, maka kita harus memastikan bahwa rumah tempat anak tumbuh adalah ruang pertama tempat kejujuran diajarkan dan integritas dihormati. Sebab bangsa yang jujur tidak lahir dari undang-undang, tetapi dari keluarga yang memilih untuk hidup jujur setiap hari.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru