Akhir-akhir ini, aksi tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah semakin meresahkan. Sehingga, menjadi hal yang urgent jika akselerasi program pencegahan kekerasan di satuan pendidikan perlu diimplementasikan melalui upaya konkret yang perlu dilakukan oleh pemerintah, sekolah, dan pihak terkait untuk mempercepat penerapan kebijakan dan program yang bertujuan mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan. Sekali lagi, program ini sangat penting karena kekerasan di sekolah dapat berdampak buruk pada perkembangan mental, emosional, dan fisik peserta didik, serta mengganggu proses belajar mengajar.
Terlebih, angka kekerasan di satuan pendidikan di negeri ini mengalami trend kenaikan yang sangat signifikan. Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus kekerasan di satuan pendidikan disebutkan angka potensi kekerasan di satuan pendidikan di atas 20%. Mayoritas kasus terjadi di jenjang pendidikan SMP/MTs (36%), disusul SMA (28%), SD/MI (33,33%), SMA (22%) dan SMK (14%). Dari jumlah tersebut, 66,66% kasus terjadi pada satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan 33,33% terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Selebihnya, total jumlah pelaku mencapai 48 orang dan anak korban mencapai 144 peserta didik sejak Januari-September 2024 dan menewaskan 7 orang. Angka ini melonjak karena sebelumnya hingga Juli 2024 hanya 15 kasus,(Kompas,1/10/2024).
Sebuah angka temuan yang luar biasa dan perlu serius ada upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Dan, saatnya peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan Pendidikan (PPKSP) bisa direalisasikan. Terlebih, angka kekerasan di satuan pendidikan mengalami trend kenaikan, bahkan bisa dikatakan Indonesia sudah masuk tahap darurat kekerasan anak.
Oleh karena itu, pemerintahan yang baru idealnya bisa melanjutkan program pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Dengan akselerasi program ini, diharapkan kekerasan di satuan pendidikan dapat diminimalisir, sehingga di satuan pendidikan di negeri ini mampu menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan kondusif bagi perkembangan siswa. Sekaligus, mampu menciptakan lingkungan sekolah yang lebih sehat, produktif, dan ramah bagi semua pihak.
Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang