Presiden Mengutip Ayat Suci untuk Ketahanan Pangan, Mewujudkan Prioritas Lumbung Pangan
Oleh:
H. Yunus Supanto
Wartawan Senior, Pegiat Dakwah Sosial Politik
“Dia (Yusuf) berkata,
“Agar kamubercocoktanamtujuhtahun (berturut-turut) sebagaimanabiasa; kemudianapa yang kamutuaihendaklahkamubiarkanditangkainyakecualisedikituntukkamumakan. Kemudiansetelahituakandatangtujuh (tahun) yang sangatsulit, yang menghabiskanapa yang kamusimpanuntukmenghadapinya (tahunsulit), kecualisedikitdariapa (bibitgandum) yang kamusimpan.
(AlQuran, SuratYusufayat ke-47 dan 48)
Presiden Prabowo Subianto dalam mengutip ayat suci Al-Quran dalam rapat yang membahas Swasembada Pangan (16 Desember) di istana negara. Instruksi Presiden bukan sekadar perintah. Bahkan sampai dikutip ajaran agama, Presiden menyatakan, “Itu pelajaran saya kira, pelajaran dari nenek moyang kita, saya kira ada di buku-buku agama ya. Tujuh tahun baik dan tujuh tahun paceklik, ya tujuh tahun yang tidak baik. Pada saat tujuh tahun baik baik, kita persiapkan, nanti ada tujuh tahun yang tidak baik, kita siap. Alam juga harus kita hadapi dengan baik.”
Yang dimaksud Presiden Prabowo Subianto, adalah ajaran agama, yang tercantum dalam Al-Quran, surat Yusuf (12:47-48). Merupakan takwil (tafsir) mimpi berdasar wahyu Ilahi. Fatwa (nasehat) Nabi Yusuf a.s., merupakan jawaban pertanyaan Kiftir (pembesar Mesir), tercantum dalam Al-Quran Surat Yusuf ayat ke-43 (12:43). Yakni, berkisah tentang takwil (makna) mimpi, “melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya kering.”
Jawaban Nabi Yusuf a.s., yang disampaikan sekitar 3700 tahun (37 abad silam), merupakan peletak dasar konsep Lumbung Pangan. Sudah lama pula diadopsi oleh nenek moyang bangsa Indonesia, menjadi kearifan tradisional. Presiden memerintahkan menggunakan metode kearifan tradisional “Lumbung Pangan” dimulai dari tingkat desa. Bahkan setiap kabupaten dan kota bisa swasembada pangan. Bukan sekadar beras, melainkan diversi (berbagai jenis) bahan pangan khas daerah.
Instruksi diberikan kepada jajaran Kementerian Pangan, dan jajaran terkait untuk mencapai swasembada pangan. Kementerian Pertanian bertekad swa-sembada beras pada tahun (2025) ini. Walau masih diragukan karena berbagai kendala ke-iklim-an. Sehingga konsep Lumbung Pangan menjadi prioritas. Perintah Presiden Prabowo, ada Lumbung Pangan tingkat desa, ada Lumbung Pangan tingkat kecamatan, serta terdapat Lumbung Pangan tingkat kabupaten dan propinsi. Sehingga setiap daerah memiliki ketahanan pangan ke-swasembada-an.
Serasa “percaya tak percaya,” Presiden Prabowo Subianto, mengutip ayat suci Al-Quran (surat Yusuf ayat ke-47 dan 48)), berkait konsep Lumbung Pangan. Sekaligus bertekad menghentikan impor beras. Walau bukan tekad yang muluk-muluk, tetapi tahun 2024, catatan impor beras masih sangat deras! Pemerintah menambah kuota impor, sampai 5 juta ton. Stop impor beras tergolong lompatan prestasi. Swasembada pangan merupakan pondasi uatama keberlangsungan bangsa. Negara wajib menjamin ketersediaan pangan, sesuai mandat konstitusi.
Kontrol Cadangan Pangan
Kewajiban kecukupan pangan tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Khususnya pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untui mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.” Nyata terdapat mandat melalui frasa kata, “mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah ….”
“Cadangan Pangan Pokok Pemerintah,” tak lain, adalah Lumbung Pangan. Yakni menyisihkan sebagian hasil panen, setelah perhitungan kecukupan konsumsi. Lumbung Pangan, bertujuan sebagai cadangan sebagai antisipasi musim mendatang yang buruk. Sekaligus sebagai stabilisasi harga. Karena pasokan pangan yang berlebihan di pasar, niscaya menyebabkan penurunan harga pangan. Sehingga pasokan disesuaikan dengan kebutuhan melalui kontrol Lumbung Pangan.
Tetapi memiliki lumbung pangan tidak mudah. Dibutuhkan panen yang cukup, melebihi konsumsi. Serta kalkulasi kemungkinan dampak perubahan iklim. Selaras dengan arahan Presiden, sektor pertanian wajib siapa menghadapi perubahan iklim (Climate change). Seperti gejala La-Nina(musim hujan ekstrem), yang menerpa wilayah Sumatera Bagian Utara (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat). Begitu pula kewaspadaan untuk gejala El-Nino (musim kemarau dengan kekeringan ekstrem). Maka Lumbung Pangan, menjadi metode kewaspadaan. Sekaligus menjadi kalkulasi ketersediaan pangan.
Pengalaman tahun (2024), Kementerian selalu dinyatakan surplus hasil panen. Namun realitanya, pemerintah mengimpor beras sebanyak 3,6 juta ton. Masih pula ditambah menjadi total 5 juta ton. Sekitar 98,35% masyarakat Indonesia mengkonsumi beras sebanyak 6,81 kilogram per-orang per-bulan. Maka kebutuhan konsumsi nasional tahun 2025 diperkirakan mencapai 31 juta ton. Naik 2,61 juta ton (9,2%) dibanding tahun 2024, karena pertambahan penduduk.
Bencana banjir di seantero Jawa, juga menyebabkan gagal panen. Di Jawa Tengah terdapat 11 ribu sawah terdampak banjir. Di Jawa Timur terdapat sekitar 8 ribu hektar sawah tergenang banjir. Di Jawa Barat tercatat 874 hektar mengalami puso. Namun diharapkan mayoritas sawah yang selamat masih cukup memenuh konsumsi beras tahun 2025.Maka swasembada tidak mudah. Tetapi pemerintah memikul kewajiban berdasar UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
UU Pangan pada pasal 13, menyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, …untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan begizi bagi masyarakat.” Dibutuhkan upaya sistemik mewujudkan kecukupan pangan. Terutama problem on-farm (di ladang), dan permasalahan off-farm (di luar ladang, berupa kebijakan, dan tataniaga). UU Pangan pada pasal 12 juga mengamanatkan pengembangan produk jenis pangan. Termasuk kebiasaan pangan lokal.
PanganNon-Beras
Banyak suku (dan komunitas) di Indonesia yang tidak mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok. Misalnya, masyarakat adat Cireundeu (di Cimahi) Jawa Barat, sejak tahun 1918 mengkonsumsi beras singkong (disebut rasi). Juga masyarakat Jawa Timur di Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, dan Magetan, mengkonsumsi aneka olahan singkong (gaplek). Begitu pula suku di Papua dan Maluku, mengkonsumsi sagu. Serta suku di NTT, dan suku Madura, biasa mengkonsumsi jagung.
Ada pula yang mengkonsumsi ubi jalar (suku Dani, di lembah Baliem, Papua). Juga suku Kanum di Merauke, mengkonsumsi gembili. Maka swasembada pangan, bukan sekadar beras. Melainkan seluruh bahan pangan pokok. Juga bahan pangan 4 sehat 5 sempurna ( terutama daging, ikan, dan susu). Daging masih sangat bergantung pada impor. Kebutuhan konsumsi 724 ribu ton. Hasil dalam negeri hanya 432.500 ton (51%). Masih sangat besar. Susu lebih lagi, masih 70% impor.
Mewujudkan swasembada pangan wajib melalui penelusuran problem on-farm (di ladang). Terutama penyediaan benih unggul, dan pupuk mandiri. Seringkali terdapat inovasi pupuk yang bisa dibuat oleh kelompok tani, terbukti cocok untuk lokal.Menghasilkan panen lebih banyak dan tahan hama. Tetapi tidak direspons (bahkan di-intimidasi) oleh Kementerian Pertanian. Seharusnya dilindungi, sesuaipasal 17, dan pasal 20 UU Pangan.
Peningkatan produksi pangan juga wajib me-modernisasi alat dan mesin pertanian (alsintan), sesuai mandat UU Pangan pasal 16. Selain hand-tracktor, juga dibutuhkan Combine Harvester (mesin yang berfungsi memanen, membersihkan dan menggiling) untuk tanaman sejenis padi, gandum, dan jagung. Alsintan akan “berpacu” dengan alih fungsi lahan pertanian yang makin susut. Pembukaan areal tanam patut mempertimbangkan ekologi. Tidak meng-gunduli hutan.
Ke-pertani-an dengan teknologi moderen akan menarik minat gen-Z menggeluti ladang. Sekaligus menjadi arena berbagi kerja pada era bonus demografi (sekarang). Akan banyak generasi muda bercita-cita menjadi petani sukses, dan sukses berkebun
——— *** ———


