Majelis Hakim ketika menjatuhkan vonis Ahmad Faiz Yusuf untuk tetap bersekolah di PN Kabupaten Nganjuk, Senin (21/12/2025).
PN Nganjuk, Bhirawa.
Penangkapan Ahmad Faiz Yusuf tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah serpihan dari gelombang demonstrasi nasional besar-besaran akhir Agustus 2025, gelombang yang berangkat dari tuntutan perbaikan kebijakan, namun berakhir sebagai tragedi.
Sepuluh orang tewas, sejumlah lainnya ditangkap, dua dilaporkan hilang. Dari jalanan yang awalnya berisi poster dan nyanyian perlawanan, tersisa kabut: spekulasi tentang intervensi asing, konflik antar-elite, hingga infiltrasi kelompok preman yang menunggangi kemarahan publik.
Di pusaran peristiwa itulah nama Ahmad Faiz muncul. Bukan sebagai tokoh, melainkan seorang pelajar kelas XII dari Nganjuk, anak dari Imro’atin, ibu tunggal yang selama berbulan-bulan menukar kecemasan dengan kesabaran.
Bagi negara, Faiz adalah terdakwa. Bagi ibunya, ia tetap anak yang seharusnya sibuk memikirkan ujian akhir, bukan jadwal persidangan.
Senin, 22 Desember 2025, di ruang sidang Pengadilan Negeri Kediri, hukum mengambil jeda. Majelis hakim mengabulkan pengalihan penahanan Faiz dari Rutan menjadi tahanan kota.
Pertimbangannya sederhana namun bermakna: hak pendidikan, sikap kooperatif terdakwa, serta jaminan keluarga dan penasihat hukum. Putusan itu bukan pembebasan. Ada syarat ketat—hadir di setiap sidang, tidak mengulangi perbuatan, tidak menghilangkan barang bukti. Hukum tetap tegak, tetapi kali ini ia tidak mematahkan mimpi.
Bagi Faiz, keputusan itu adalah pintu kembali ke bangku sekolah. Bagi Imro’atin, ini malam yang sedikit lebih tenang. Di antara kecemasan dan doa, ia menyampaikan terima kasih—bersama Faiz dan penasihat hukumnya, Pujiono, S.H., M.H.—kepada masyarakat, tokoh-tokoh nasional, serta penggerak literasi dan kemanusiaan yang mengawal perkara ini dengan akal sehat dan empati.
Dukungan publik, meski kerap hadir sebagai tulisan, diskusi, dan doa, menjadi pengingat bahwa mereka tidak sendirian.
Namun kisah ini tidak berhenti pada satu nama. Di luar sana, masih ada aktivis lain yang nasib hukumnya menggantung anak-anak muda yang terseret arus peristiwa nasional yang terlalu besar untuk pundak mereka. Semoga keadilan juga mengetuk pintu mereka, memberi ruang bernapas, dan pada waktunya membebaskan dari semua tuntutan yang tak adil.
Di negeri yang kerap gaduh, keadilan tidak harus berteriak. Ia cukup hadir tepat waktu menjaga hukum tetap bermartabat, sambil memastikan masa depan anak-anaknya tidak hangus sebelum hari esok.
Di temui usai sidang, Pujiono, SH, MH satu di antara 26 pengacara yang tergabung dalam Tim Penasehat Hukum Achmad Faiz Yusuf mengatakan bahwa:
“Putusan hakim pada sidang di hari Senin (22/12/2025) terasa indah dan manusiawi mungkin hakim melihat perjuangan ibunya Achmad Faiz, ibu Im’roatin yang sabar dan gigih mendampingi putranya dari jerat hukum. Saya kira ini kado dari hakim buat ibu Im’roatin di hari ibu ini.” kata Pujiono setengah bercanda.(dro.hel)


