26 C
Sidoarjo
Monday, December 22, 2025
spot_img

Berharap pada KPK

Oleh :
Adi Fauzanto
Pekerja di KPK dan Penulis Buku Wajah Korupsi di Indonesia

Setiap kali bicara terkait masalah negeri ini, dengan siapapun itu -sanak saudara, rekan, mitra, hingga pasangan- selalu berujung kepada korupsi.Atau jika melihat komentar-komentar di media sosial terkait masalah negeri ini pasti berujung pada korupsi.Rasanya, akar dari semua masalah di negeri ini ada pada korupsi.

Saya paham betul kondisi psikologis masyarakat Indonesia dengan segala beban yang dirasakan terkait korupsi. Tak dapat dipungkiri, itu pun yang tergambar dari data Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparency International yang menunjukkan rendahnya poin Indonesia -tahun 2024 mendapatkan skor 37 dari 100.

Tapi apa yang saya pahami, memang ini tugas bersama (seluruh masyarakat), yaitu memberantas korupsi seakar-akarnya. Akan tetapi yang perlu dipahami ialah jika metodenya bottom-up atau dari bawah (berawal dari akar rumput), maka apa yang digambarkan terkait “pemimpin adalah gambaran dari masyarakatnya” itu perlu dipelajari.Maka,”pemimpin yang korup adalah gambaran bahwa masyarakatnya juga korup”, hal tersebut tentu tidak bisa dibantah.

Saya sendiri jujur sedih ketika melihat berita penangkapan di satu sisi, tapi di sisi lainnya melihat warga menjarah truk yang kecelakaan.Mereka tidak ada bedanya.Adanya kesempatan, merugikan banyak orang, serakah, rakus.

Ada satu diskusi saya dengan rekan yang berasal dari China, ia berkata perbedaan pemberantasan korupsi di China dan Eropa ialah ada pada metodenya. Ia menggambarkan di China metodenya ialah top-down atau dari pemimpin tertinggi -bahasanya ialah adanya political will-, efeknya tetap ada korupsi di tingkat bawah, tapi di Eropa ia berangkat dari masyarakatnya, masyarakat yang sadar akan bahaya korupsi, pun demikian dengan kebijakan yang dihasilkan pejabat publik.

Berita Terkait :  Wali Kota Surabaya Gandeng IKA ITS Audit Struktur Bangunan Ponpes

Ya, secara singkat ini gambaran antara paham negara demokrasi dan otoritarian.Demokrasi dihasilkan dari kualitas masyarakatnya, baik atau buruknya bergantung kepada masyarakatnya.Sedangkan sistem otoritarian bergantung kepada pemimpinnya, baik atau buruknya bergantung kepada pemimpinnya.

Di tiga negara Eropa dengan tingkat persepsi korupsi paling rendah misalnya, ada Denmark, Finlandia, Norwegia.Yang bisa dipelajari dari mereka ialah adanya budaya keterbukaan dan transparansi baik dari masyarakatnya sampaipada kebijakan yang dikeluarkan pejabatnya.Budaya inilah yang sulit dibangun, baik dari sisi masyarakat maupun pejabat di Indonesia.

KPK dalam hal ini sebagai lembaga yang mengemban amanat memberantas korupsi -khususnya membangun budaya integritas- akan sangat sulit jika masyarakat tidak terbangun budaya itu -budaya antikorupsi. KPK hanya akan sebagai penyapu ‘pemimpin kotor’. Tapi, itu akan terus ada, jika yang dipilih atau asal-usulnya pemimpin berawal dari masyarakat yang korup juga.

Jika melihat teori penegakan hukum Lawrence Friedman misalnya, terdapat tiga pendekatan untuk menegakkan hukum.Pertama, ada pada undang-undangnya, terdapat undang-undang antikorupsi, pelaporan harta kekayaan, terkait gratifikasi, dan lainnya, bahkan akan terdapat undang-undang terkait lobi. Semua itu sudah tersusun dengan sempurna, tanpa celah.

Lalu kedua, jika sudah terdapat aturannya, lalu ada institusinya.Ya, sekarang sudah ada KPK, Kejaksaan, Kepolisian.Jika kedua itu sudah ada dan bagus secara konsep serta ide. Akan tetapi budaya antikorupsinya tidak dibangun, hasilnya akannol besar.

Berita Terkait :  335 KPM Kecamatan Unjungpangkah dan Panceng Gresik Terima BLT DBHCHT

Ya, yang ketiga ialah budaya, dalam hal ini budaya antikorupsi juga perlu dibangun baik itu dari sumber daya manusia penegak hukumnya maupun para pejabatnya -termasuk masyarakatnya.

Ingat termasuk masyarakatnya, mengapa?karena semua berasal dari sana. Polisi, Jaksa, ASN, pejabat, semuanya berasal dari masyarakat. Jika masyarakat tidak dibenahi, semua yang dihasilkan akan sama, sama korupnya.

KPK dalam hal ini tidak bisa sendiri memberantas korupsi, tapi perlu semua peran serta masyarakat, termasuk tidak melakukan korupsi dengan merugikan orang lain di tingkat yang paling kecil. Kompleks memang, tapi tidak ada cara lain. Ya, Eropa butuh bertahun-tahun untuk menjadi masyarakat yang antikorupsi, jika Eropa bisa, maka kita juga bisa.Dengan terus belajar, dan mempraktikkannya mulai dari sekitar.

Sebenarnya terdapat survei yang menilai ini, namanya Indeks Perilaku Antikorupsi yang disurvei oleh BPS. Indeks yang mengukur tingkat permisifitas dari masyarakat terkait korupsi tersebut di tahun 2024 menunjukan angka 3,85 dari 5,00 untuk mencapai antikorupsi. Itu lebih buruk di tahun sebelumnya 2023 yang mencapai angka 3,92.

Ke depan jangan ada lagi menyalahkan pemimpin -pasca pemilihan umum- tapi menerima uang fajar ketikamencoblosnya.Sebuah hal yang paradoks di negeri ini.Jangan ada lagi menyalahkan pemimpin yang tak peduli soal lingkungan, jika kita masih abai soal lingkungan -dan tidak mengetahui rekam jejak kepedulian lingkungan pemimpinnya.Gambaran pemimpin adalah gambaran masyarakatnya.

Berita Terkait :  Polda Jatim PTDH 11 Anggota Terlibat Narkoba di November 2024

Sederhana kuncinya, yaitu dengan membiasakan yang benar di tingkat masyarakat.Dalam bentuk apresiasi atas hal yang baik dan hukuman atau pembelajaran atas hal yang buruk.Bayangkan jika masyarakat membiasakan yang benar, hampir muskil adanya pejabat yang korup, sebab pejabat juga berasal dari masyarakat, proses pemilihannya juga dipilih masyarakat, ketika menjabatpun atau mengeluarkan kebijakan diawasi oleh masyarakat.

Jadi, kita -setiap masyarakat Indonesia- secara tidak langsung juga berperan dalam pemberantasan korupsi atau juga bisa melanggengkan keberadaan korupsi.Tinggal bagaimana kita memilih di posisi mana kita berada.

———— *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru