Wakil Bupati Nganjuk, Tri Handy Cahyo Saputro.
Pemkab Nganjuk, Bhirawa.
provinsi Jawa Timur pada November 2021 seharusnya menjadi titik balik tata kelola bantuan sosial di Kabupaten Nganjuk. Hari itu, Menteri Sosial Tri Rismaharini mendapati fakta yang mencengangkan: Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak berada di tangan keluarga penerima manfaat (KPM). Sebaliknya, kartu bantuan negara itu dikuasai oleh pendamping PKH dan pengelola e-Warong.
Di lokasi, Risma bereaksi keras. Bukan tanpa alasan. KKS adalah instrumen kunci Bansos—siapa memegang kartu, ia memegang kendali atas hidup-mati bantuan.
Temuan ini menyingkap satu kenyataan pahit: negara sudah mengirim bantuan, tetapi di level bawah terjadi pembajakan kendali.
Data yang disampaikan Mensos saat itu mempertegas skala masalah.
Ribuan KPM di Nganjuk tercatat belum menerima bantuan secara utuh, meski anggaran PKH telah ditransfer dari pusat. Ini bukan sekadar soal keterlambatan teknis.
Pendamping PKH memiliki posisi strategis: memverifikasi data, mendampingi KPM, hingga berhubungan langsung dengan penyalur. Ketika kartu bantuan berada di tangan mereka, relasi kuasa menjadi timpang.
Lebih jauh, struktur PKH di daerah menunjukkan gejala stagnasi. Koordinator PKH Kabupaten Nganjuk menjabat sejak 2013 tanpa rotasi signifikan. Evaluasi internal nyaris tak terdengar, audit terbuka tidak pernah dilakukan. Sebuah posisi sensitif dibiarkan terlalu lama tanpa kontrol memadai.
Di sinilah peringatan Mensos 2021 kehilangan maknanya. Tidak ada pembenahan struktural setelah amarah negara disuarakan.
Risma merujuk data dati Kemensos tahun 2021 ada sebanyak 7.161 KKS yang belum terdistribusi ke penerima manfaat di Nganjuk.
Rinciannya, Bulan September sebanyak 3.582 KKS yang belum terdistribusi. Sedangkan pada Bulan Oktober sebanyak 3.579 KKS yang belum terdistribusi.
Daerah yang Mundur, Negara yang Marah
Masalahnya terletak pada satu dalih klasik: PKH adalah program pusat. Kalimat ini menjadi alasan nyaman bagi banyak pihak di daerah untuk menarik diri. Inspektorat daerah merasa tak berwenang, BPK daerah membatasi ruang gerak, dinas sosial berlindung di balik status pelaksana teknis.
Akibatnya, tidak ada satu pun institusi daerah yang benar-benar memegang kendali pengawasan. Program pusat berjalan di daerah, tapi tanggung jawab pengawasannya menguap.
Fakta bahwa Mensos harus turun langsung pada 2021 adalah bukti kegagalan pengawasan berjenjang.
Dari Amarah Mensos ke Pintu KPK
Empat tahun setelah insiden Nganjuk, KPK memanggil pendamping PKH di Solo. Peristiwa ini menguatkan satu benang merah: ketika pengawasan administratif lumpuh, hukum pidana akan masuk.
Pemanggilan itu sekaligus membantah mitos bahwa PKH kebal pemeriksaan. Yang kebal hanyalah keberanian daerah untuk mengawasi lebih awal.

Risma di Gedung Juang 45 Nganjuk, pada kader PKH e warung.
DTSEN dan Pelajaran yang Terlambat
Kini negara menghadirkan DTSEN, sistem data sosial yang jauh lebih ketat dan terintegrasi. Data keluarga miskin diverifikasi berlapis, diperiksa silang, dan diawasi banyak mata. DTSEN adalah koreksi atas kelemahan DTKS yang selama bertahun-tahun rawan manipulasi.
Namun pelajaran dari 2021 tetap relevan: data sebersih apa pun tidak akan bermakna tanpa pengawasan terhadap aktor lapangan.
Pendamping PKH tetap menjadi simpul paling rawan jika dibiarkan tanpa audit aset, tanpa pemeriksaan rekening, dan tanpa rotasi jabatan.
Kemudian amarah itu meledak sekali lagi, namun melalui Trihandy Cahyo Saputra, wakil Bupati Nganjuk, serta ketua tim Penggerak Pengurangan Kemiskinan Daerah.
“Ya Allah ini orang tidak mampu semua lo masak 2.943 orang harusnya dapat bantuan tidak dapat bantuan,”ucap Tri Handy Cahyo Saputro,Wakil Bupati Nganjuk.
Wakil Bupati Nganjuk Tri Handy juga menyampaikan, sekarang ada 5.347 yang masuk dalam SK keluarga miskin ekstrem. Kita punya data bahwa harusnya yang bersangkutan menerima bantuan tapi ternyata tidak menerima sama sekali berarti ada 2.943 orang yang tidak menerima bantuan sama sekali dari 5.347 penerima manfaat. (dro.hel).


