Oleh:
Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
Setiap hari, tanpa kita sadari, masyarakat Indonesia hidup dalam tekanan yang kian menumpuk.Tuntutan ekonomi, arus informasi yang tak pernah berhenti, budaya serba cepat, serta dominasi media sosial membuat banyak orang mengalami kelelahan mental.Kesehatan jiwa kini tidak lagi menjadi isu individual, melainkan persoalan kesehatan masyarakat yang nyata. Namun, di tengah hiruk-pikuk solusi modern yang ditawarkan mulai dari aplikasi kesehatan mental hingga terapi digital kita justru kerap melupakan satu “obat” yang telah lama hidup di tengah budaya kita sendiri: pantun.
Beberapa waktu lalu, seorang guru sekolah dasar di Jawa Tengah bercerita bahwa ia mulai kembali mengenalkan pantun di kelasnya, bukan sebagai tugas sastra semata, melainkan sebagai cara membuka percakapan dengan murid-muridnya. Anak-anak yang awalnya pendiam mulai berani menyampaikan perasaan lewat bait sederhana-tentang rindu orang tua, lelah belajar, hingga kegembiraan kecil sehari-hari.Sang guru mengaku, suasana kelas menjadi lebih hangat dan konflik antarsiswa berkurang.Pengalaman sederhana ini menunjukkan bahwa pantun bukan sekadar peninggalan budaya, tetapi juga medium aman untuk menyalurkan emosi.
Peringatan Hari Pantun Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Desember seharusnya tidak berhenti pada seremoni atau nostalgia sastra.Momentum ini justru menjadi ruang refleksi penting untuk melihat pantun sebagai bagian dari kearifan lokal yang memiliki nilai terapeutik bagi kesehatan mental masyarakat.Pantun bukan sekadar permainan rima, melainkan medium ekspresi emosi, sarana komunikasi sosial, dan alat regulasi psikologis yang telah digunakan lintas generasi.
Pantun, dalam tradisi Melayu dan Nusantara, selalu hadir dalam berbagai fase kehidupan: perkenalan, pernikahan, nasihat, hingga kritik sosial. Di balik kesederhanaan bait-baitnya, pantun mengajarkan manusia untuk berpikir sebelum berbicara, menata emosi sebelum menyampaikan pesan, serta menghargai keindahan bahasa dalam relasi sosial.Nilai-nilai ini selaras dengan prinsip kesehatan mental modern yang menekankan kesadaran diri, pengelolaan emosi, dan hubungan sosial yang sehat.
Dalam perspektif kesehatan jiwa, ekspresi verbal yang terstruktur seperti pantun dapat membantu individu menyalurkan perasaan dengan cara yang aman dan bermakna. Pantun memungkinkan seseorang menyampaikan kegelisahan, kegembiraan, bahkan kritik, tanpa harus melukai orang lain. Proses merangkai kata, memilih rima, dan menyusun makna secara tidak langsung melatih fungsi kognitif, mengurangi ketegangan emosional, serta memberikan rasa kendali atas pikiran yang semrawut.
Fenomena ini sejalan dengan berbagai pendekatan terapi psikologis berbasis ekspresi, seperti expressive writing therapy dan art therapy, yang terbukti membantu menurunkan stres dan kecemasan. Bedanya, pantun memiliki keunggulan kultural: ia lahir dari konteks sosial masyarakat Indonesia, sehingga lebih mudah diterima dan dipraktikkan tanpa stigma. Di sinilah kekuatan pantun sebagai “obat kesehatan modern” yang sering kita abaikan.
Sayangnya, di era digital, pantun perlahan tersingkir.Generasi muda lebih akrab dengan unggahan singkat, emoji, dan komentar cepat yang sering kali minim refleksi.Komunikasi menjadi reaktif, emosional, dan tidak jarang memicu konflik.Ironisnya, ketika masalah kesehatan mental meningkat ditandai dengan naiknya angka stres, kecemasan, dan kelelahan emosional kita justru meninggalkan sarana komunikasi yang sejak dulu mengajarkan keseimbangan emosi dan kesantunan berbahasa.
Menghidupkan kembali pantun bukan berarti menolak kemajuan.Sebaliknya, pantun dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.Di lingkungan pendidikan, pantun dapat digunakan sebagai media pembelajaran sosial-emosional, melatih empati, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi siswa.Di masyarakat, pantun bisa menjadi sarana dialog yang menyejukkan, terutama di tengah perbedaan pandangan yang semakin tajam.
Bagi tenaga kesehatan dan praktisi kesehatan masyarakat, pantun bahkan berpotensi menjadi bagian dari promosi kesehatan jiwa berbasis budaya.Pesan-pesan tentang pengelolaan stres, pentingnya dukungan sosial, dan keseimbangan hidup dapat disampaikan melalui pantun yang ringan namun mengena.Pendekatan ini bukan hanya lebih membumi, tetapi juga memperkuat identitas budaya dalam praktik kesehatan.
Hari Pantun Nasional seharusnya menjadi pengingat bahwa solusi kesehatan tidak selalu harus mahal, canggih, atau datang dari luar.Terkadang, jawaban atas persoalan modern justru tersimpan dalam kearifan lama yang kita warisi.Pantun mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, merangkai kata dengan hati-hati, dan menyampaikan isi pikiran dengan rasa.
Ke depan, ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan. Pertama, pendidikan perlu memberi ruang lebih luas bagi sastra lisan sebagai bagian dari penguatan kesehatan mental siswa, bukan sekadar materi bahasa.Kedua, tenaga kesehatan dan penggiat kesehatan masyarakat dapat memanfaatkan pendekatan berbasis budaya, termasuk pantun, dalam edukasi dan promosi kesehatan jiwa.Ketiga, ruang publik dan media dapat kembali menghidupkan pantun sebagai sarana komunikasi yang menyejukkan di tengah polarisasi sosial.
Di tengah dunia yang serba bising, pantun mengajak kita untuk kembali mendengar bukan hanya suara orang lain, tetapi juga suara diri sendiri.Ketika kesehatan mental menjadi tantangan besar abad ini, mungkin sudah saatnya kita memberi ruang bagi sastra lama untuk kembali berperan sebagai obat yang menyehatkan jiwa bangsa.
Merayakan Hari Pantun Nasional bukan sekadar melestarikan budaya, melainkan juga merawat kesehatan mental kolektif.Karena bangsa yang sehat bukan hanya yang kuat secara fisik, tetapi juga yang mampu menjaga kewarasan, kebijaksanaan, dan kemanusiaannya melalui bahasa dan budaya.
———— *** —————


