Berliano Ridho Pratama
Surabaya, Bhirawa.
Kota Surabaya dikenal sebagai pusat perdagangan dan ekonomi digital di wilayah Indonesia. Gedung-gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan modern tumbuh subur, menandakan perputaran uang yang begitu cepat. Namun, jika kita menelisik lebih dalam ke gang-gang perkampungan, realitas ekonomi tidak selalu bergerak dengan kecepatan yang sama. Salah satu contoh nyata fenomena ini dapat ditemui di RW 05 Kelurahan Balongsari, Kecamatan Tandes.
Wilayah ini sejatinya bukanlah kampung biasa yang minim potensi. Sebaliknya, RW 05 Balongsari menyimpan ekonomi kerakyatan yang luar biasa. Rekam jejak prestasinya pun mentereng; wilayah ini pernah menyabet predikat bergengsi sebagai “Kampung Kreatif” dan “Kampung Produktif” dalam ajang kompetisi antar-kampung paling bergengsi, Kampunge Arek Suroboyo. Predikat ini bukan sekadar plakat di dinding, melainkan validasi bahwa di balik tembok-tembok rumah warga, terdapat denyut aktivitas produksi yang tak pernah tidur mulai dari olahan kuliner rumahan yang otentik, kerajinan tangan yang bernilai seni, hingga jasa kreatif yang dikelola secara swadaya.
Namun, di balik gemerlap potensi tersebut, sebuah ironi fundamental masih terjadi dan menghantui pertumbuhan ekonomi warga. Meski kapasitas produksi melimpah dan kualitas produk mampu bersaing, tingkat kesejahteraan pelaku usaha mikro di wilayah ini belum melesat secara signifikan. Produk-produk unggulan hasil “tangan dingin” warga seringkali hanya berputar di lingkaran tetangga, terjebak di gang-gang sempit, dan gagal menembus etalase pasar yang lebih luas. Terjadi semacam involusi ekonomi di mana transaksi jual-beli hanya terjadi di kalangan internal, tanpa ada aliran dana segar yang masuk dari luar wilayah.
Berdasarkan analisis mendalam, stagnasi ini terjadi bukan karena produknya yang kurang berkualitas, bukan pula karena kurangnya modal produksi. Penyumbatan arteri ekonomi ini disebabkan oleh satu mata rantai yang hilang dalam ekosistem bisnis mereka: lemahnya kemampuan komunikasi pemasaran (marketing communication). Warga ahli membuat barang, namun gagap ketika harus menceritakan nilai barang tersebut kepada dunia luar. Di era algoritma dan pasar digital saat ini, produk yang “bisu”—yang tidak dikomunikasikan dengan narasi memikat—akan tenggelam dan mati.
Merespons tantangan tersebut, sekelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya yang tergabung dalam Sub-Kelompok 3, hadir membawa solusi berupa program inkubasi bisnis bertajuk Workshop Komunikasi Bisnis Digital: Transformasi Pemuda Menjadi Agen Pemasar Handal. Kegiatan yang berlangsung pada Minggu 23 November 2025 di Balai RW 05 Balongsari ini menjadi titik balik bagi puluhan pemuda Karang Taruna setempat.
Produk Bagus, Narasi Kurang Kuat
Koordinator Sub-Kelompok 3 KKN Universitas 17 Agustus 1925 Surabaya Frima Putri, menjelaskan bahwa program ini lahir dari proses observasi mendalam (social mapping) yang dilakukan timnya.
“Kami menemukan fakta menarik di lapangan. RW 05 Balongsari ini punya banyak “harta karun”. Ada ibu-ibu yang jago bikin keripik, ada penjual minuman herbal, dan banyak lagi. Tapi, kendalanya selalu sama: mereka tidak bisa jualan. Ketika ada tamu atau calon pembeli datang, mereka bingung menjelaskan keunggulan produknya. Akibatnya, transaksi sering batal atau produk dihargai murah,” ujar Frima Putri
Menurutnya, masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuatkan akun media sosial. “Banyak UMKM sudah punya Instagram, tapi sepi. Kenapa? Karena mereka tidak tahu cara ngomong. Foto produk saja tidak cukup, butuh narasi, butuh storytelling. Di sinilah kami melihat peran strategis Karang Taruna yang belum tergarap,” tambahnya.
Bukan Sekadar Latihan Pidato
Workshop yang digelar seharian penuh ini mematahkan stigma bahwa pelatihan public speaking hanya untuk mereka yang ingin jadi pejabat atau MC. Materi yang dibawakan sangat teknis dan berorientasi pada keuntungan (profit-oriented).
Para peserta diajarkan teknik Elevator Pitch, sebuah metode komunikasi bisnis ala startup Amerika, di mana seseorang harus mampu menjelaskan nilai jual produk dalam waktu kurang dari 60 detik—seperti durasi perjalanan di dalam lift.
“Kami melatih mereka agar tidak bertele-tele. Kalau ada orang tanya ‘ini keripik apa?’, jawabannya jangan cuma ‘keripik singkong’. Tapi harus: ‘Ini keripik singkong level 10, satu-satunya di Balongsari yang pedasnya bikin nagih tapi aman di tenggorokan karena pakai minyak kelapa’. Itu bedanya komunikasi biasa dengan komunikasi bisnis,” jelas Frima, salah satu fasilitator kegiatan.
Selain itu, sesi yang paling menyedot perhatian adalah simulasi Live Shopping. Mahasiswa KKN. Satu per satu anggota Karang Taruna didorong maju ke depan kamera smartphone untuk melakukan simulasi siaran langsung (live streaming) layaknya host profesional di platform e-commerce Shopee atau TikTok.
Investasi SDM untuk Kemandirian Ekonomi
Program kerja ini dirancang untuk memberikan dampak ekonomi jangka panjang.Dalam ekonomi modern, modal komunikasi (communication capital) itu setara nilainya dengan modal finansial. Produk terbaik di dunia pun akan gagal jika tidak dikomunikasikan dengan baik.
Lebih lanjut, Frima menjelaskan bahwa pihak kampus mendorong agar KKN tidak hanya meninggalkan benda mati yang bisa rusak, tetapi meninggalkan skill atau keterampilan hidup (life skill) yang bisa digunakan warga untuk mencari nafkah selamanya. “Ketika pemuda ini bisa jualan, UMKM terbantu, perputaran uang di desa meningkat. Itu efek bola salju ekonomi yang kami harapkan,” imbuhnya.
Respons Peserta dan Harapan Ke Depan
Transformasi ini dirasakan langsung oleh peserta. Salah satu anggota Karang Taruna, menuturkan awalnya gemetar saat diminta memegang produk di depan kamera.
“Awalnya malu banget, takut salah ngomong. Tapi setelah diajari triknya, ternyata seru. Kita jadi tahu kalau jualan itu ada seninya. Nggak cuma asal teriak-teriak. Saya jadi kepikiran untuk bantu jualin produk ibu saya lewat live TikTok nanti,” ungkapnya antusias.
Kegiatan ditutup dengan penyerahan “Modul Saku Komunikasi Bisnis” dan video portofolio hasil simulasi para peserta. Dengan bekal baru ini, RW 05 Balongsari kini menatap masa depan dengan optimisme baru: siap bersaing di pasar digital dengan kekuatan narasi yang memikat.
Penulis :
Berliano Ridho Pratama
Anggota kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) subkelompok 3 Non Reguler (NR) 07 di Kelurahan Balongsari, Surabaya
Editor :
Helmy Supriyatno.


