Oleh:
Susanto
Kepala SMAN 1 Sumberrejo Bojonegoro
Guru sampai saat ini tetap menjadi bahan perbincangan menarik baik menyangkut peran, tugas dan kesejerahteraanya. Sehingga tidak mengherankan apa bila ada pendapat yang mengatakan bahwa guru itu harus dapat digugu dan ditiru. Keberadaannya menjadi sosok orang yang selalu memberikan keteladanan baik dalam hal ucapan, perilaku dan juga pikiran-pikiran dalam keseharian menjalankan profesi.
Lantas bagaimana peran yang seharusnya dilakukan oleh guru di tengah digitalisasi AI? Bagaimana pula menyiasati dalam konteks pembelajaran bagi guru dan juga siswa?
Etos Kerja
Guru dalam menjalankan tugasnya tentunya mendapatkan perlindungan dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan rekomendasi Unesco/ILO, 5 Oktober1988 telah di tegaskan bahwa status guru sebagai tenaga profesional yang harus mewujudkan kinerjanya di atas landasan etika profesional serta mendapat perlindungan profesional.
Begitu juga dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 42, Setiap tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menciptakan suasana pendidikan yg bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dgn kepercayaan yg diberikan kepadanya.
Berdasarkan konteks di atas tentunya perlindungan kepada guru sangat urgen. Pertama, jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan profesional. Artinya, pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Kedua, pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Arinya dalam menjalan tugas guru harus mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, pengakuan atas kekayaan intelektual yang selama ini belum sepenuhnya mendapatkan perhatian.
Ketiga, guru adalah sosok yang profesi yang berkarakter. Artinya, guru orang yang memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme. Hal itu didasari bahwa guru dalam menjalankan tugasnya mengajak dan selalu memberikan motivasi untuk menuju kebaikan. Guru selalu memberikan pencerahan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan guru menyiapkan anak didik.
Meski sekarang serba IT, Android, dan medsos keberadaan guru tetap dirindukan di kelas. Mungkin siswa bisa akses informasi, pengetahuan, dan juga sumber apapun via IT namun penguatan karakter diri siswa tidak bisa tergantikan. Dengan demikian, guru memiliki posisi strategis dalam konteks pembelajaran di kelas.
Memiliki Karakter Kuat
Saya teringat apa yang disampaikan Martha Kaufeldt (2008: 19-20) dalam bukunya yang berjudul: Wahai Para Guru, Ubahlah Cara mengajarmu. Pengalaman belajar yang diperoleh siswa metode, media, model, stategi yang kontekstual (baca: kekinian) mempercepat pertumbuhan otak sehingga berdampak pada aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Oleh karena itu, guru harus mengedepankan inovasi pembelajaran yang tepat dengan mengubah gaya mengajarnya sesuai kebutuhan siswa.
Hal terpenting dalam konteks seperti saat ini guru paling tidak perlu mengedepankan beberapa hal. Pertama, Transparansi layanan. Manajemen satuan pendidikan lebih mengedepankan layanan pembelajaran yang berkualitas dengan berorientasi pada ranah sikap dan keterampilan siswa dalam menjawab kompleksitas masyarakat yang serba kekinian. Sudah saatnya, sekolah sebagai satuan pendidikan terkonsentrasi dalam memberikan layanan lebih berkualitas dalam pembelajaran dan juga bimbingan dan penyuluhan dan mengembangkan. Oleh karena itu, guru harus senantiasa menjadi pengajar, pendidik, penginspirasi, dan penggerak bagi sebuah kemajuan dalam proses pembelajaran yang berbasis penemuan masalah.
Kedua, kehadiran guru yang inovatif dalam proses pembelajaran tentunya akan mencetak generasi now yang berkarakter kuat. Mampu menerjemahkan problematika masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Seperti yang dinyatakan Thomas L. Friedman, penulis The World is Flat. Mengacu pada dunia abad ke-21 yang akan sangat berbeda dari yang di mana kita dididik. Artinya, memberikan pembelajaran pada siswa pada hari ini tentunya akan bermanfaat pada kehidupannya kelak.
Kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) seperti ChatGPT dan sejenisnya di dunia pendidikan ibarat tamu tak diundang yang tiba-tiba masuk ke ruang tamu dan mendominasi pembicaraan. Sebagian guru merasa terancam: “Apakah profesi saya akan hilang?” Sebagian lagi merasa skeptis: “Ah, itu hanya tren sesaat.”
Namun, realitanya tidak bisa dibantah. Siswa kita kini hidup dengan “otak kedua” di saku mereka. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus menggunakan AI, melainkan bagaimana kita menyiasatinya agar teknologi ini tidak melumpuhkan nalar kritis siswa, tetapi justru melejitkannya.
Guru masa kini tidak boleh memosisikan diri sebagai “tembok” yang menghalangi laju teknologi, melainkan sebagai “pawang” yang mengendalikannya. Berikut adalah pandangan tentang bagaimana guru harus menyiasati gelombang AI ini. Pertama, Dari Penjawab Soal Menjadi Penanya Ulung.Dulu, guru dianggap hebat jika bisa menjawab semua pertanyaan siswa. Sekarang, AI bisa menjawab pertanyaan apa pun lebih cepat dan (seringkali) lebih akurat secara data. Jika guru hanya mengandalkan transfer pengetahuan, kita kalah telak.
Menyiasati hal ini, guru harus mengubah strategi. Jangan lagi berlomba memberi jawaban, tapi ajarkan siswa seni bertanya (prompt engineering). Di kelas, tantangannya bukan “Sebutkan dampak Perang Dunia II”, melainkan “Tanyakan pada AI tentang dampak Perang Dunia II dari sudut pandang ekonomi, lalu kritiklah jawaban AI tersebut: bagian mana yang kurang relevan dengan kondisi Indonesia saat itu?”
Di sini, guru berperan melatih skeptisisme sehat. Kita mengajarkan siswa bahwa AI adalah alat yang bisa halusinasi (memberi data palsu), dan hanya manusia yang memiliki kebijaksanaan untuk memverifikasinya.
Kedua, Menggeser Fokus: Agungkan Proses, Bukan Sekadar Produk. Selama ini kita terlalu memuja hasil akhir: esai yang rapi, jawaban yang benar, atau makalah yang tebal. AI bisa memproduksi itu semua dalam hitungan detik. Jika guru masih menilai berdasarkan “produk jadi”, maka kita sedang menilai kinerja robot, bukan siswa.
Strategi “menyiasati” yang paling ampuh adalah kembali ke proses. Penilaian harus berbasis kinerja otentik. Biarkan siswa bergelut dengan ide di depan mata kita. Lakukan ujian lisan (verbal defense) untuk menguji apakah tulisan yang mereka kumpulkan benar-benar lahir dari pemikiran mereka.
Biarkan AI membantu mereka membuat kerangka atau mencari referensi, tetapi pastikan “ruh” dari karya tersebut-opini pribadi, refleksi pengalaman, dan konteks lokal-adalah murni milik siswa. Kita harus menanamkan nilai bahwa kesulitan dalam belajar (struggle) adalah tempat di mana kecerdasan tumbuh, sesuatu yang tidak bisa di-bypass oleh tombol “Generate”.
Ketiga, Mengisi Ruang Kosong: Karakter dan Empati. AI adalah entitas tanpa hati. Ia tidak tahu rasanya kecewa, bangga, atau peduli. Di sinilah “benteng terakhir” dan terkuat seorang guru.
Menyiasati AI berarti kita harus lebih banyak masuk ke wilayah yang tidak bisa disentuh algoritma: pendidikan karakter (adab), empati, dan kolaborasi sosial. AI bisa mengajarkan definisi “gotong royong”, tapi hanya guru yang bisa menciptakan situasi di mana siswa harus menurunkan ego untuk bekerja sama membersihkan kelas atau menyelesaikan konflik antarteman.
Guru harus menjadi jangkar kemanusiaan. Ketika siswa terlalu asyik dengan layar, guru hadir untuk menatap mata mereka, menanyakan kabar hati mereka, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tidak ada di database internet manapun.
Nah, menyiasati AI dalam pembelajaran bukanlah tentang melarang penggunaan teknologi, melainkan tentang menempatkan teknologi pada porsinya. AI adalah “kalkulator kata-kata”; alat bantu hitung, bukan pengganti logika.
Peran guru tidak akan mati, tapi pasti berubah. Dari sage on the stage (orang bijak di panggung) menjadi architect of learning (arsitek pembelajaran) yang meramu kapan siswa butuh bantuan AI dan kapan siswa harus meletakkan gawai untuk berpikir mandiri.
Mari kita berhenti cemas. Mari kita “tunggangi” gelombang ini. Karena secanggih apapun teknologi, ia tidak akan pernah bisa menggantikan ketulusan seorang guru yang mengajar dengan hati.
———- *** ————-


