Nganjuk, Bhirawa
Hari Raya Kuningan semestinya menjadi perayaan keseimbangan di mana manusia menyelaraskan diri dengan alam, alam memeluk manusia dengan keagungannya. Itulah dharma, tatanan yang benar, jalan yang seimbang, rasa hormat pada kehidupan yang lebih tua dari peradaban.
Hari ini Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis, Dusun Curik, Desa Bajulan Nganjuk. Umat Hindu merayakan hari raya Kuningan pada hari Minggu (29/11). Umat Hindu yang ada berbondong-bondong mendatangi Pura tua tersebut untuk beribadah di pimpin oleh pemangku Pura, Damri (50 thn).
Salah satu rangkaian hari raya penting adalah Hari Raya Galungan dan Kuningan, yang dirayakan setiap 210 hari sekali berdasarkan kalender Saka Bali. Perayaan ini menjadi momen sakral untuk memperkuat dharma (kebenaran) dan memperingati kemenangan dharma melawan adharma (kejahatan).
“Kata Kuningan dipercaya berasal dari kata kuning, yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Pada hari Kuningan, umat Hindu memohon keselamatan, kemakmuran, dan perlindungan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta para Dewata,” ungkap Damri.
Sementara warga menyusun sesaji, menyalakan dupa, dan menggumamkan doa, mesin-mesin tambang masih meraung seperti makhluk lapar yang tidak tahu kapan harus berhenti. Mereka menggerogoti bukit yang selama ini dianggap sebagai penjaga kampung. Pengusaha dan penguasa tampak seirama: satu mengejar laba, satu menandatangani izin. Dua kekuatan yang, kalau dibiarkan, bisa dengan mudah memutar arah sejarah. “Kami merawat bumi seperti merawat ibu sendiri,” tutur seorang tetua adat.
“Karena Bumi sudah menyediakan segalanya mulai dari padi, jagung dan sumber makanan lainnya, Air dan oksigen yang melimpah ruah, semuamya tersedia bagi kita semua”, tambahnya.
Bayang-bayang bencana menggantung di kepala mereka. Bukan sekadar kekhawatiran abstrak, melainkan kenyataan yang sudah terjadi bahkan belum lama. Mereka mengingat banjir bandang di Sumatra Utara: air coklat yang datang tanpa ampun, menghantam rumah, memukul jembatan, menyeret manusia seperti ranting.
Semua bermula dari bukit yang digunduli. Sungai kehilangan kapasitas. Tanah menjadi rapuh. Dan alam membalas, bukan karena marah, tetapi karena hukum fisika dan moral berjalan beriringan: karma bekerja tanpa kompromi.
“Kami tidak ingin Kuningan berikutnya dirayakan dalam genangan,” ujar seorang pemuda adat, memandang ke jurang tambang yang kian menganga. “Kalau dharma kami dijalankan, maka jangan salahkan kami kalau karma mereka juga dipanggil oleh perbuatan mereka sendiri.” sambungnya.
Ketika masyarakat adat menyalakan lilin-lilin suci, mereka tahu cahaya itu bukan hanya simbol pengharapan; itu adalah peringatan. Dharma menuntut mereka menjaga bumi. Dan bila bumi dirusak, karma tidak akan menunggu upacara berikutnya. [dro]


