Kepercayaan masyarakat terhadap aparat Bea Cukai (BC) telah lama terkikis, menjadi sangat kritis. Pesepsi negatif publik terhadap instansi ke-pabean-an, telah jatuh pada titik terendah. Berbagai skandal pejabat tingkat bawah (pangkat golongan III-B) sudah hidup mewah, karena memiliki penghasilan sangat besar. Diduga dari korupsi dalam proses ke-pabean-an. Bahkan terdapat kritik dari Amerika Serikat (AS), bahwa pemeriksaan oleh BC Indonesia berpotensi korupsi, serta biaya tinggi.
Presiden Prabowo Subianto, juga telah melakukan investigasi khusus terhadap BC. Hingga sampai pada kesimpulan, sepakat melakukan perbaikan (reformasi) struktur dan kinerja Bea Cukai, segera. Presiden Prabowo juga telah siap me-likuidasi fungsi dan kelembagaan Ditjen BC. Tetapi Menteri Keuangan Purbaya, meminta waktu selama setahun. Jika kinerja Bea Cukai tidak berubah total, maka pemerintah akan “menghapus” Ditjen BC, me-rumah-kan 16 ribu pegawai.
Konon akan terdapat pengangguran baru dari staf Ditjen BC, mulai eselon I (Dirjen) hingga golongan I (pegawai dengan pangkat paling rendah). Ultimatum Presiden, bukan sekadar gertak sambal. Melainkan mencerminkan ke-tidak puas-an. Sampai Presiden perlu “membeli” data dari negara lain, berkait ekspor-impor. Diperoleh kesimpulan, terdapat sistem yang menyuburkan korupsi dalam proses ke-pabean-an.
Sejak lama pintu perdagangan Indonesia dicurigai. Terutama pelabuhan laut, dan bandara internasional, sebagai pintu keluar-masuk komoditas. Terjadi korupsi yang tergolong sistemik, terstruktur, dan masif. Pemerintah AS mengkritik pedas melalui laporan tahunan bertajuk “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers.”Ditulisdaftar hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Prosedur berbelit di BC dianggap menimbulkan beban administrasi yang tidak perlu, dan suap. Niscaya menghambat perdagangan, berujung biaya tinggi pada proses ekspor impor. Banyak peraturan yang dilaksanakan tanpa transparansi, dan dengan integritas yang rendah. Bertentangan denban Perjanjian Fasilitasi yang ditetapkan WTO (World Trade Organization). Nyata-nyata berujung menurunnya daya saing ekonomi.
Menanggapi kritik, BC-RI menyatakan pemerintah AS kurang update. Namun di dalam negeri, pucuk pemerintahan (Presiden Prabowo) tidak tinggal diam. Bahkan Presiden “membeli” data dari pemerintah yang paling berseberangan dengan AS. Ternyata hasilnya, ditemukan korupsi selama bertahun-tahun, berkait ekspor nikel ke RRT. Misalnya, dilaporkan ekspor sebanyak 10 juta ton. Tetapi di negara tujuan tertulis impor dari Indonesia sebanyak 100 juta ton. Khususnya pada kasus Nikel.
Terdapat perbedaan data antara BPS RI (Badan Pusat Statistik), dengan pangkalan data General Administration of Customs of the People’s Republic of China (GACC, Bea Cukai China). Perbedaan meliputi volume, dan nominal harga. BPS-RI tentu berasal dari data yang diberikan BC. Maka sekaligus terdapat dua lembaga di Indonesia yang datanya tidak bisa dipercaya. Yakni, BPS, dan BC.
Kinerja BC secara lex specialist, adalah melaksanakan dua Undang-undang (UU) sekaligus. Yakni, UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan (Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995). Serta UU Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Terutama pasal 5, cukai khusus hasil tembakau yang melangit. Target penerimaan kepabeanan dan cukai tahun 2025, sebesar Rp 310 trilyun. Sampai akhir Oktober 2025, terrealisasi Rp 249,3 triliun.
Jika cukai ekspor seluruh komoditas dicatat secara jujur, bisa jadi hasil cukai bisa lebih besar. Maka benar Presiden gemas (dan cemas), sampai mengancam likuidasi Ditjen BC. Pernah diterbitkan Inpres Nomor 4 Tahun 1985. Kewenangan Ditjen BC, di-alihpercaya-kan kepada Societe Generale de Surveillance (SGS, asal Swiss). Banyak pegawai “dirumahkan.”
——— 000 ———


