25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Ketika Banjir dan Longsor Bukan Lagi Sekadar “Bencana Alam”

Oleh :
Siti Aminah
Mengajar di FISIP, Universitas Airlangga.

Musim hujan di Indonesia kini identik dengan kabar banjir dan longsor.Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan sudah lama menjadi langganan genangan air setiap kali hujan (deras) turun. Namun kini, bukan hanya kota besar, bahkan perdesaan pun ikut menjadi korban. Dalam dua puluh tahun terakhir, bencana banjir dan longsor semakin sering melanda berbagai wilayah di Indonesia.Hampir setiap musim hujan, kita mendengar kabar duka dari Jawa Barat, Kalimantan, atau Sulawesi.Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2023), tahun lalu saja terjadi lebih dari 1.800 peristiwa banjir dan 600 kasus longsor, menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah.Namun, apakah benar semua ini murni “bencana alam”?Atau justru akibat dari kebijakan pembangunan yang salah arah?

Faktanya, banyak banjir dan longsor bukan disebabkan oleh hujan ekstrem semata, tetapi oleh lemahnya tata kelola lingkungan dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam.Pemerintah sering kali berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis.Alih-alih melindungi lingkungan, kebijakan yang diambil justru memperparah kerusakan.Banjir dan longsor, dalam kerangka ini, bukan sekadar bencana ekologis, juga bencana politik.

Lingkungan dalam Bayang-bayang Pembangunan
Dalam banyak kebijakan nasional dan daerah, lingkungan sering diperlakukan hanya sebagai objek pembangunan, bukan sebagai entitas hidup yang memiliki hak ekologis. Pembangunan kota, perluasan industri, dan proyek infrastruktur kerap dijalankan tanpa kajian lingkungan yang memadai. Di kota besar, pembangunan gedung dan jalan menutup daerah resapan air. Sementara di desa, lahan sawah dan hutan berubah menjadi kawasan tambang atau perumahan baru.

Kita sering lupa bahwa sistem alam memiliki keseimbangan sendiri.Ketika ruang hijau menyusut, ketika tanah kehilangan daya serapnya, ketika sungai dibendung tanpa perencanaan yang matang – maka bencana tinggal menunggu waktu.Dalam konteks ini, banjir dan longsor bukanlah gejala alamiah, tetapi refleksi dari relasi kekuasaan dan ekonomi yang tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan.Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata menciptakan ketimpangan ekologis: keuntungan diraih oleh segelintir pihak, sementara masyarakat dan lingkungan menanggung risikonya. Lemahnya penegakan hukum lingkungan memperparah situasi seperti izin tambang dan proyek besar tetap dikeluarkan meski berada di kawasan rawan bencana.

Berita Terkait :  Disperpusip Jatim Jadi Tujuan Studi Mahasiswa Australia Belajar dari Manuskrip Kuno hingga Nulis Lontar

Hutan ditebangi tanpa kendali, lahan resapan air berubah menjadi kawasan industri, dan sungai-sungai dipersempit oleh pembangunan permukiman.Ketika hujan turun, air kehilangan ruang untuk meresap.Maka, banjir dan longsor bukanlah takdir alam, melainkan konsekuensi politik dari keputusan ekonomi dan kebijakan negara.Ironisnya, istilah “bencana alam” kerap menutupi kenyataan pahit ini.Istilah itu seolah membebaskan tanggung jawab manusia atas kerusakan yang terjadi.Padahal, yang disebut “bencana” justru muncul ketika kebijakan publik gagal mengantisipasi dampak lingkungan dari pembangunan. Dengan kata lain, bukan alam yang bersalah, melainkan cara kita mengatur dan memanfaatkannya.

Bencana yang sebenarnya bisa Dihindari
Bencana ekologis adalah hasil dari keputusan politik dan ekonomi yang tidak adil bagi alam dan masyarakat.Ketika keputusan pembangunan lebih berpihak pada investasi dibanding keberlanjutan, ketika lahan kritis dibiarkan rusak demi proyek besar, dan ketika hukum tak berpihak pada rakyat yang kehilangan tempat tinggalnyam sehingga di situlah letak sumber bencana sebenarnya.Jadi, alih-alih menyalahkan curah hujan, sudah saatnya kita meninjau ulang kebijakan pembangunan yang eksploitatif dan sektoral.

Lingkungan tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari ambisi pertumbuhan ekonomi.Yang kita butuhkan bukan hanya pembangunan yang cepat, tetapi pembangunan yang bijak yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan kelestarian bumi.Karena pada akhirnya, setiap banjir dan longsor bukan sekadar berita musiman, melainkan peringatan keras bahwa alam sedang menagih tanggung jawab atas keputusan-keputusan yang kita ambil bersama.Dalam perspektif ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987), Bryant, dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa bencana lingkungan tidak bisa dijelaskan hanya melalui faktor fisik seperti hujan atau tanah labil. Ia merupakan produk dari relasi kekuasaan antara negara, pasar, dan masyarakat. Negara kerap mengeluarkan kebijakan tata ruang yang berpihak pada investasi besar; pasar beroperasi demi keuntungan tanpa memperhitungkan keberlanjutan; sementara masyarakat-terutama kelompok miskin-menjadi pihak yang paling rentan dan paling sedikit mendapat perlindungan.

Berita Terkait :  MTs Madrasatul Qur'an Tebuireng Jombang Deklarasikan Sekolah Ramah Anak

Ketimpangan Akses Ruang dan Risiko
Contoh paling nyata terlihat di kawasan Jabodetabek.Pembangunan perumahan elit dan jalan tol di wilayah resapan air seperti Bogor, Depok, Cibubur, dan Serpong menggerus ruang alami yang seharusnya menjadi daerah penyangga air hujan.Ketika banjir melanda, justru warga di bantaran sungai yang digusur tanpa solusi relokasi yang layak.Fenomena ini mencerminkan konsep “accumulation by dispossession” yang diperkenalkan David Harvey (2008) dimana akumulasi kapital terjadi melalui perampasan ruang hidup masyarakat dan sumberdaya alam.

Selama satu dekade terakhir, pemerintah daerah terus menerbitkan izin tambang dan perkebunan di kawasan hulu, menutup vegetasi alami yang berfungsi sebagai daerah resapan air.Akibatnya, ketika hujan ekstrem turun, air tidak mampu diserap tanah dan langsung mengalir ke hilir, memicu banjir bandang.Sementara itu, warga di daerah terdampak kehilangan rumah dan sumber penghidupan.Ironisnya, perusahaan besar yang memperoleh izin tetap beroperasi dengan sanksi minimal, menunjukkan asimetrisnya relasi kekuasaan antara korporasi dan masyarakat lokal.

Lingkungan tidak terus-menerus menjadi korban dari kebijakan pembangunan, Indonesia membutuhkan politik ekologi baru, cara pandang yang menempatkan keadilan ekologis sebagai dasar dari kebijakan publik. Pertama, setiap kebijakan pembangunan perlu menempatkan analisis daya dukung lingkungan sebagai syarat substantif, bukan formalitas administratif dalam dokumen perizinan. Kedua, partisipasi masyarakat lokal harus diperkuat dalam seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Partisipasi ini penting untuk menjembatani kepentingan ekonomi negara dan pasar dengan kebutuhan ekologis masyarakat di tingkat akar rumput.Ketiga, negara harus berani menegakkan akuntabilitas lingkungan.Penegakan hukum terhadap perusahaan atau pejabat publik yang melanggar izin dan merusak lingkungan harus dilakukan secara konsisten.Tanpa kepastian hukum, investasi berkelanjutan hanyalah slogan kosong.

Berita Terkait :  Wujudkan Zero Stunting dan Siapkan Generasi Emas, Bupati Mojokerto Galakkan 'Gelora Cinta'

Menuju Politik Ekologi Baru
Dalam kerangka keadilan ekologis sebagaimana dikemukakan Schlosberg (2007), kebijakan pembangunan seharusnya tidak hanya mengejar efisiensi ekonomi, tetapi juga memastikan pembagian manfaat dan beban ekologis secara adil.Penerapannya dapat dimulai dengan menghentikan eksploitasi sumber daya di kawasan hulu, mengembalikan fungsi ekologis hutan dan lahan basah, serta membuka ruang bagi keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan tata ruang.

Harvey (2008) menegaskan bahwa krisis ekologis sejatinya adalah refleksi dari krisis politik dalam sistem kapitalisme global, di mana proses akumulasi modal selalu mencari ruang baru, termasuk ruang ekologis yang seharusnya dilindungi. Oleh karena itu, solusi terhadap bencana ekologis tidak bisa berhenti pada aspek teknis seperti drainase atau tanggul, tetapi harus menyentuh akar strukturalnya: demokratisasi tata kelola lingkungan, desentralisasi kewenangan ekologis, dan penguatan hak-hak komunitas lokal.

Realitas bencana di Indonesia menunjukkan bahwa lingkungan kini berada di bawah bayang-bayang kebijakan pembangunan yang bias kekuasaan.Dalam kerangka ekologi politik, banjir dan longsor bukanlah kejadian alamiah semata, melainkan produk dari dinamika politik dan ekonomi yang melampaui batas-batas ekologis dan menggerus daya dukung bumi. Singkat kata, paradigma pembangunan perlu disesuaikan dengan kondisi perubahan iklim, untuk masa depan keberlanjutan bangsa.

———— *** ————–

Berita Terkait

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru