Seluruh Presiden RI patut memperoleh gelar pahlawan. Termasuk patut diberikan kepada Presiden ke-2, Pak Harto, dan Presiden ke-4 Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Karena tidak mudah memimpin berpuluh juta penduduk. Lebih lagi dengan ragam latar belakang suku, agama, ras, dan adat budaya. Walau diakui setiap Presiden memiliki “kekurangan” saat melaksanakan pemerintahan. Sampai dinyatakan bersalah tanpa Pengadilan, hingga di-makzul-kan di tengah masa kepresidenan.
Tidak seluruh Presiden RI mengalami peristiwa perang kemerdekaan, dan revolusi. Terutama Presiden setelah dekade 1970-an. Namun setiap Presiden memiliki “tantangan.” Tak terkecuali Presiden ke-3 Habibie, yang memiliki tantangan besar perekonomian pasca reformasi. Saat itu (tahun 1998), inflasi menembus 77,68%. Terutama dipicu pelemahan nilai tukar rupiah, yang serta-merta melonjak menjadi Rp 17 ribu per-US$. Melonjak 700%. Padahal biasanya tak lebih dari Rp 2.600,- per-US$.
Masih ditambah kejatuhan perbankan nasional, sehingga harus disokong dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Ironisnya, kalangan perbankan menjadikan krisis moneter tahun 1998 sebagai periode korupsi. Banyak bank swasta diambil alih negara. Lalu dijual kembali pada saat krisis mereda. Ironisnya, bank yang mulai sehat, diobral murah. Hingga kini (tahun 2025) BLBI kewajiban bank swasta yang diberikan oleh negara, masih tertunggak sebesar Rp 110,4 trilyun. Sampai pemerintah membentuk Satgas penagihan.
Walau kepemimpinan Presiden ke-3, hanya selama 17 bulan. Bahkan pertanggungjawabannya ditolak, dan disoraki (diejek) oleh MPR yang dibawahkan Amien Rais. Pada Sidang Umum sepekan berikutnya, KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI ke-4 melalui voting, dengan dukungan sebanyak 373 suara. Mengalahkan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP yang memperoleh 313 suara. Konon kemenangan gus Dur merupakan “jalan tengah.”
Tetapi Presiden Gus Dur juga dijatuhkan oleh MPR, melalui Brunei-gate, dan Bulog-gate. Walau tidak melalui proses Pengadilan. Namun Gus Dur dikenal pemberani, karena mengeluarkan Dekrit Prsiden mem-beku-kan DPR, dan MPR. Ternyata beberapa pimpinan Lembaga Tinggi negara tidak mendukung Dekrit Presiden 23 Juli 2001. Bahkan gus Dur di-lengser-kan, dengan alasan karena tidak hadir dalam Sidang Istimewa MPR. Berlanjut penerbitan TAP MPR Nomor II Tahun 2001, memberhentikan Gus Dur sebagai Presiden.
Pemberhentian gus Dur, menambah riwayat perseteruan antara Presiden dengan lembaga MPR. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, diberhentikan melalui TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno. Begitu pula terhadap Presiden Soeharto, yang diberhentikan melalui TAP MPR Nomor XI/MPR/1998. Terasa lebih menyakitkan. Terutama pasal 4, menyatakan, “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, … termasuk mantan Presiden Soeharto ….”
Terdapat terobosan rekonsiliasi politik pada akhir kepemimpinan MPR periode 2019-2024. Yakni me-realisasi TAP MPR Nomor I Tahun 2003. Isinya, ketetapan MPR yang meninjau materi dan status hukum 139 Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dari tahun 1960 hingga 2002. Beberapa TAP MPR terdahulu, dinyatakan tidak berlaku. Termasuk TAP MPR Nomor XI Tahun 1998, sebenarnya masih berlaku hingga kini.
Khusus pasal 4, yang menyangkut nama Pak Harto, dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggaal dunia. Begitu pula terhadap TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno. Dengan dicabutnya TAP MPRS tersebut, maka tuduhan terhadap Bung Karno, dinyatakan tidak terbukti. Artinya, bung Karno tidak melakukan pengkhianatan. Kini ketiga Presiden RI yang pernah di-makzul-kan, patut memperoleh gelar pahlawan.
——— 000 ———


