Aktivitas petani garam di wilayah Sampang, Madura Jawa Timur
Ketika Para Petambak Garam Merajut Asa, Menepis Bayang-Bayang Garam Impor
Angin laut yang berembus perlahan, membawa aroma khas lautan dan sedikit rasa asin yang menempel di kulit. Di bawah terik matahari, lanskap petak-petak tambak garam yang luas terhampar membentang, sepanjang pesisir Jawa Timur. Inilah Madura, atau yang dikenal dengan julukan Pulau Garam, salah satu episentrum produksi garam terbesar di Indonesia. Namun, kisah butir-butir kristal putih ini jauh dari kata sederhana. Ia adalah narasi panjang tentang perjuangan, harapan, dan inovasi yang kini berfokus pada satu tujuan besar: swasembada garam nasional.
Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa
Lebih dari lima abad yang lalu, Madura sudah dikenal sebagai penghasil garam tradisional di Asia Tenggara. Sejak masa kolonial Belanda, pulau ini telah menjadi pusat produksi garam, dengan pabrik garam briket pertama didirikan di Kalianget, Sumenep, pada tahun 1899. Jejak sejarah industri garam kolonial ini masih bisa ditemukan di beberapa lokasi, seperti di Sampang, yang kini menjadi saksi bisu perkembangan industri dari masa ke masa.
Namun, kejayaan masa lalu tidak lantas membuat perjalanan ini mulus. Selama bertahun-tahun, industri garam nasional dihadapkan pada masalah klasik yang terus berulang: fluktuasi harga, cuaca yang tidak menentu, serta dominasi garam impor, terutama untuk kebutuhan industri. Akibatnya, para petambak garam lokal sering kali berada di posisi yang dilematis, terjepit di antara harga jual yang rendah dan ketidakpastian panen.
“Selama ini kami seperti dihimpit. Kalau panen melimpah, harga anjlok. Kalau gagal panen karena hujan, kami tidak punya pendapatan,” tutur Pak Fauzan, seorang petambak garam di Sampang, Madura, dengan suara yang dipenuhi pengalaman getir.
Transformasi: Ketika Tradisi Bertemu Inovasi
Kini, narasi itu mulai berubah. Sejak beberapa tahun terakhir, dengan dukungan serius dari pemerintah, angin segar mulai berembus di lahan-lahan garam di Jawa Timur. Alih-alih hanya mengandalkan metode tradisional, para petambak didorong untuk mengadopsi teknologi modern yang mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas garam.
Di pinggir tambak, terpal-terpal plastik berwarna gelap yang dikenal sebagai geomembran terhampar rapi, menutupi dasar-dasar petakan. Inilah salah satu inovasi yang paling signifikan.
“Dulu, kami hanya mengandalkan tanah liat. Hasilnya, garam sering kotor karena bercampur lumpur. Dengan geomembran, kualitas garam kami jauh lebih bersih dan putih,” jelas Pak Fauzan, menunjukkan butiran-butiran garam yang berkilau di bawah sinar matahari. Teknologi ini juga mempercepat proses kristalisasi, sehingga panen bisa dilakukan lebih cepat dan lebih sering, terutama saat musim kemarau panjang.
Inovasi lain yang mulai diterapkan adalah teknologi “rumah garam” atau greenhouse salt tunnel. Dengan metode ini, proses penguapan air laut tidak lagi sepenuhnya bergantung pada cuaca, melainkan dapat dikontrol di dalam struktur tertutup. “Ini solusi untuk mengatasi cuaca yang tidak menentu. Meskipun hujan, proses produksi tidak terhenti,” ujar seorang petugas dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur saat kami mengunjungi sebuah pusat percontohan.
Di Kabupaten Pasuruan, yang juga menjadi salah satu sentra produksi garam di Jawa Timur, para petambak juga merasakan dampak positif dari modernisasi ini. Pemerintah Kabupaten Pasuruan aktif mendorong petambak di beberapa desa seperti Raci, Gerongan, Kalirejo, dan Tambaklekok untuk mengoptimalkan produksi dengan teknologi yang lebih modern. Hasilnya, pada musim kemarau yang mendukung, produktivitas garam di wilayah ini meningkat signifikan.
Misi Besar Menuju 2027
Langkah-langkah di tingkat lokal ini merupakan bagian dari misi besar yang dicanangkan pemerintah pusat: mencapai swasembada garam nasional pada tahun 2027. Tujuannya tidak main-main, yaitu memenuhi kebutuhan garam, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk industri, yang selama ini masih bergantung pada impor.
Sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, Pengembangan Industri Garam menjadi salah satu kegiatan prioritas untuk mendukung upaya pembangunan Ekonomi Biru di Indonesia.
Pemerintah Indonesia menargetkan swasembada garam tercapai pada 2027 melalui Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional dengan 3 strategi utama, yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, dan teknologi lahan terbatas. Melalui strategi tersebut, tambak garam rakyat dan industri garam nasional diharapkan mampu berperan lebih optimal dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional di masa mendatang.
Apabila kebutuhan garam industri hingga 2027 telah tercapai, maka pada tahun 2028 dan selanjutnya, swasembada garam harus pula dipertahankan, bahkan dikembangkan pemerintah. Oleh karena itu pengaturan regulasi terkait ekosistem penyelenggaraan swasembada garam mendesak diselesaikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah merancang strategi komprehensif yang melibatkan dua pendekatan utama: ekstensifikasi (perluasan lahan) dan intensifikasi (peningkatan produktivitas).
Di Jawa Timur, khususnya di Madura, intensifikasi menjadi fokus utama, di mana teknologi modern seperti geomembran dan inovasi lain diterapkan secara masif. Sementara itu, untuk ekstensifikasi, pemerintah juga membangun sentra garam baru di luar Jawa, seperti di Nusa Tenggara Timur.
Kerja sama dengan berbagai pihak juga terus dijalin. PT Garam, sebagai BUMN di sektor ini, berperan penting dalam menyerap garam dari petambak rakyat dan menjamin kestabilan harga. Aliansi strategis dengan perusahaan teknologi, seperti K-UTEC Salt Technology dari Jerman, juga dilakukan untuk meningkatkan kemampuan produksi dan kualitas garam hingga memenuhi standar industri.
Saat dikonfirmasi terkait misi swasembada garam, Komisi B DPRD Jawa Timur mengaku saat ini tengah menyiapkan Raperda Perlindungan dan Pemberdayaan bagi pembudidaya ikan serta petambak garam. Inisiatif ini ditujukan menopang target kemandirian pangan dan swasembada garam nasional tahun 2027.
Ketua Komisi B DPRD Jatim Anik Maslachah menyebut kontribusi Jawa Timur krusial untuk dua komoditas strategis itu.
“Sekitar 42 persen produksi garam nasional berasal dari Jawa Timur, pembudidaya ikan juga demikian, secara nasional kita hasil pembudidaya ikan nomor 3 dari 37 provinsi” ujarnya usai menggelar rapat koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim, perwakilan PT Garam serta OPD terkait lainnya beberapa waktu lalu.
Anik memaparkan ruang produksi yang belum optimal. Untuk daratan budidaya ikan baru terkelola 72 persen sehingga masih ada lahan idle sekitar 28 persen. Di sisi laut, area produksi garam baru termanfaatkan 48 persen, menyisakan 52 persen potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
Di tingkat nasional, lanjut Anik, kebutuhan garam mencapai sekitar 4,2 juta ton per tahun, sementara produksi baru sekitar dua juta ton. Dari angka itu, sekitar 800 ribu ton disumbang Jawa Timur.
“Pemerintah menargetkan swasembada garam pada 2027, sehingga dukungan regulasi di daerah menjadi mendesak,” kata Anik. Namun, ia menilai kontribusi Jatim belum berbanding lurus dengan kesejahteraan petambak dan pembudidaya. Ketiadaan HPP untuk garam dan ikan membuat harga sangat fluktuatif dan kerap dikendalikan perantara. Serapan garam rakyat oleh PT Garam disebut sangat rendah. “Dari sekitar 800 ribu ton di Jatim, yang terserap PT Garam tidak lebih dari seribuan ton,” ujarnya.
“Akibatnya yang nyerap adalah pihak swasta, tengkulak, pemodal. Itulah akhirnya permainan harga ditentukan oleh para pemodal yang menyebabkan tidak linier antara nilai tukar petani garam, nilai tukar nelayan dan pembudidaya ikan, karena fluktuasinya, sangat fluktuatif,” sambungnya. Anik mendorong perubahan peran PT Garam agar tidak berkompetisi di hulu dengan petambak rakyat.
“PT garam ini mempunyai tugas dan fungsi untuk memproduksi garam. Makanya tadi saya sampaikan sekalipun mempunyai tusi produksi garam, kami berharap yang diproduksi bukanlah garam rakyat, tetapi garam industri, supaya tidak menjadi kompetitor garam rakyat,” jelasnya.
Tantangan yang Menanti
Namun, perjalanan menuju swasembada bukanlah tanpa rintangan. Tantangan terbesar masih datang dari faktor alam, terutama cuaca. Meskipun teknologi telah membantu, kekeringan ekstrem atau musim hujan yang berkepanjangan tetap bisa memengaruhi hasil panen. Ketersediaan air baku yang berkualitas juga menjadi isu krusial yang harus terus dijaga, terutama di wilayah-wilayah pesisir yang rawan terdampak intrusi air laut yang tidak murni.
Dari sisi kelembagaan, pola usaha petambak garam rakyat yang masih terpisah-pisah menyebabkan skala keekonomian sering kali sulit dicapai. Untuk itu, inisiatif pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) didorong agar para petambak dapat berproduksi dan memasarkan garam secara kolektif, sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Di beberapa daerah, seperti di Sampang, para anggota DPRD juga turut mengadvokasi pembentukan KUB ini. Selain itu, tantangan juga datang dari kebutuhan garam industri, yang membutuhkan spesifikasi kualitas tinggi. Garam rakyat yang diproduksi secara konvensional sering kali belum mampu memenuhi standar ini. Oleh karena itu, modernisasi teknologi tidak hanya bertujuan meningkatkan kuantitas, tetapi juga kualitas garam hingga setara dengan standar industri.
————- *** —————


