Oleh :
Moh. Azamudin Syair Ariviandra
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Dalam dunia politik yang tampak terbuka dan modern, suara perempuan masih sering terdengar samar. Perspektif perempuan sering dibatasi oleh suara yang kurang terekspos secara publik (Tripalupi, 2024). Kita melihat semakin banyak perempuan duduk di kursi legislatif, menduduki jabatan publik, hingga memimpin daerah. Namun di balik kemajuan itu, budaya patriarki tetap bekerja dalam diam mengatur siapa yang pantas berbicara, bagaimana perempuan seharusnya bersikap, dan sejauh mana mereka boleh didengar dalam ruang politik yang masih sangat maskulin. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam politik masih menghadapi banyak tantangan, terutama dari sisi budaya dan sistem politik yang belum sepenuhnya mendukung.
Dalam sistem patriarki seperti Indonesia, kesempatan perempuan menjadi politisi terbatas karena adanya persepsi masyarakat yang membatasi peran perempuan hanya pada urusan rumah tangga (Iriansyah, 2017). Teori Muted Group yang didasarkan pada karya antropologi Shirley Ardener (1975) membantu kita memahami fenomena ini. Dalam struktur sosial yang dikuasai laki-laki, bahasa, simbol, dan cara berkomunikasi dibentuk dari pengalaman laki-laki. Akibatnya, perempuan menjadi “kelompok bisu” bukan karena mereka tidak mampu berbicara, tetapi karena bahasa dan pengalaman mereka tidak diakui dalam sistem patriarki yang ada. Dalam politik, “kebisuan” itu muncul dalam bentuk halus seperti pengabaian pendapat perempuan dalam forum, candaan seksis, atau narasi media yang lebih menyoroti penampilan daripada gagasan mereka miliki.
Kita mungkin masih ingat bagaimana calon perempuan dalam banyak kontestasi politik di Indonesia sering dihadapkan pada pertanyaan yang tidak pernah ditujukan kepada laki-laki, yaitu “Bagaimana membagi waktu antara rumah tangga dan tugas politik?” atau “Apakah suaminya mengizinkan?”. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukan sekadar basa-basi. Ia adalah pantulan dari sistem patriarki yang menilai kapasitas perempuan selalu dalam relasi subordinat terhadap laki-laki. Budaya patriarki di Indonesia menjadi hambatan utama dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan, karena membangun persepsi bahwa perempuan tidak pantas dan tidak cocok untuk terlibat dalam politik (Yuwono, 2018). Suara perempuan tidak dinilai dari substansi ideologinya, melainkan dari sejauh mana ia mampu menyesuaikan diri dengan norma “feminin” yang diharapkan publik.
Ironisnya, ketika perempuan berani bersuara tegas dan menunjukkan kepemimpinan kuat, justru seringkali dilabeli galak, ambisius, atau tidak pantas. Bahasa politik semacam ini yang kemudian mengekang perempuan agar tetap tunduk pada standar perilaku yang dibentuk oleh laki-laki. Menurut Sakina (2017), ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Dalam kerangka Muted Group Theory, perempuan di dunia politik dipaksa berbicara dengan bahasa laki-laki agar diterima. Namun ketika mereka melakukannya, justru dianggap menyalahi kodrat sosialnya sendiri. Inilah paradoks yang membuat perempuan politisi harus terus bernegosiasi antara eksistensi dan penerimaan.
Meski begitu, kebisuan bukan berarti tanpa perlawanan. Beberapa politisi perempuan kini berupaya menciptakan ruang komunikasinya sendiri termasuk wakil bupati Sidoarjo, Hj, Mimik Idayana yang dikenal aktif mendorong keterlibatan perempuan dalam pemerintahan desa dan UMKM lokal. Mimik Idayana kerap menolak narasi bahwa perempuan hanya pelengkap dalam kepemimpinan, melainkan agen perubahan yang memahami kebutuhan masyarakat dari pengalaman langsung. Melalui pendekatan partisipatif dan empatik, ia memperlihatkan bagaimana komunikasi politik bisa menjadi ruang dialog yang sejajar, bukan hierarkis. Praktik seperti ini menunjukkan bahwa bahasa perempuan dapat menjadi sumber legitimasi politik yang otentik dan demokratis.
Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi UNTAG Surabaya, saya merasa terpanggil untuk merefleksikan bagaimana bahasa dan budaya patriarki masih membatasi perempuan dalam politik, bahkan ketika mereka sudah berada di kursi kekuasaan. Demokrasi yang sejati pada hakekatnya tidak hanya mengukur keterwakilan perempuan dari jumlah kursi yang mereka duduki saja, tetapi juga dari sejauh mana suara mereka benar-benar didengar dan memengaruhi arah kebijakan. Ketika satu kelompok terus diredam oleh sistem bahasa dan budaya patriarki, politik kehilangan separuh maknanya. Membuka ruang bagi bahasa perempuan berarti memperkaya demokrasi karena hanya dengan mendengarkan semua suara, kita bisa membangun politik yang benar-benar setara guna mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.
————– *** ,—————–


