Ketua MPR RI Ahmad Muzani (3 dari kiri) didampingi Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (3 dari kanan), Sekjen MPR RI Siti Fauziah (kiri), Ketua Koordinatoriat Wartawan Parlemen Ariawan (2 dari kanan) dan beberapa anggota MPR RI lainnya dalam Media Gathering bertajuk Sinergi MPR RI dan Media dalam Merawat Kebhinekaan, Jumat (24/10).
Jakarta. Bhirawa.
Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengatakan, pihaknya tidak tertutup dengan kritik maupun berbagai masukan. Salah satu masukan antara lain, terkait amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut Ahmad Muzani, pihaknya tidak mengunci rapat-rapat mengenai amandemen.
“Kami juga tidak mempermudah proses amandemen begitu gampang, karena ini merupakan sesuatu yang harus dipikirkan. Ini adalah sebuah konstitusi negara yang harus kita pikirkan secara cermat dan matang akan perubahan-perubahan itu,” ujar Ahmad Muzani dalam Media Gathering bertajuk Sinergi MPR RI dan Media dalam Merawat Kebhinekaan, Jumat (24/10).
Oleh karena itu, lanjut Ahmad Muzani, MPR RI membuka diri terhadap semua pandangan-pandangan tersebut. “Kami tahu, bahwa ada pandangan-pandangan di masyarakat yang menghendaki adanya amandemen. Kami mengerti di masyarakat ada juga yang berpikir, cukup amandemen sampai di sini,” jelas Ahmad Muzani.
Dalam kesempatan tersebut, Ahmad Muzani mengatakan, wartawan terkadang memberi ide cemerlang dalam pertanyaannya. Hal ini, terjadi dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia tahun 1926. Ketika itu, kata Ahmad Muzani, terjadi kongres pemuda pertama. Muhammad Yamin mengusulkan supaya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan.
“Tapi, dalam kongres pemuda pertama 1926 kata itu ditolak habis oleh seorang wartawan kelahiran Madura. Terjadi perdebatan sengit antara Muhammad Yamin dengan wartawan tersebut. Dia menginginkan menggunakan bahasa Indonesia menjadi perekat persatuan,” jelas Ahmad Muzani.
Kongres pemuda 1926 itu pun, tidak menghasilkan keputusan. Baru dua tahun kemudian atau tahun 1928, ketika kongres pemuda Indonesia kedua diselenggarakan, kalimat bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan di setujui atas perjuangan wartawan tersebut. Dia mengatakan, harus menggunakan kata bahasa Indonesia meski rumpunnya Melayu.
“Ini penting, karena untuk menyatukan kita dengan semangat kebersamaan. Kalau kita menggunakan bahasa Melayu, itu hanya terikat cukup kepada suku Melayu saja. Suku bukan Melayu tidak akan merasa terikat dalam bagian Indonesia, itu kata wartawan tersebut. Inilah pikiran-pikiran cerdas yang dikeluarkan oleh wartawan dan saya seringkali menemukan ide-ide dari pertanyaan-pertanyaan teman-teman semua ketika ditanya, ketika dialog, karena sesungguhnya wartawan itu mata hati rakyat bagi kami,” papar mantan Sekjen Partai Gerindra ini. (ira.hel)


