Oleh :
Akhmad Faishal
Penulis bekerja sebagai pengelola perpustakaan di SMAN 15 Surabaya
Ada baiknya kita harus mengantisipasi terhadap betapa berbahaya seseorang atau kelompok yang minim literasi. Lihatlah peristiwa yang terjadi pada akhir bulan Agustus lalu, pada bulan akhir September lalu dan proyek Woosh yang saat ini menjadi bahan pembicaraan publik.
Pada akhir Agustus lalu, yakni saat terjadi demonstrasi dimana masyarakat turun ke jalan untuk melakukan protes sebagai akibat kebijakan pemerintah dan DPR yang dirasa tidak adil. Aktivitas yang pada mulanya kondusif malah berakhir ricuh dan anarkis. Beberapa bangunan dan fasilitas umum dirusak, termasuk bangunan yang tercatat sebagai Cagar Budaya di kota Surabaya (Polsek Tegalsari) juga tidak luput dari pengerusakan. Kini, bangunan itu tidak nampak lagi sisa-sisa sejarah era Belanda selain bekas hangus karena dibakar massa.
Andaikata pihak-pihak tersebut memiliki kemampuan literasi yang tinggi, semarah dan sebenci apapun mereka terhadap kebijakan pemerintah dan DPR tidak akan sampai harus merusak bangunan maupun fasilitas umum.
Sedangkan, apa yang terjadi pada akhir September lalu mungkin akan dikenang sebagai bulan kelabu bagi keluarga besar Pondok Pesantren Al-Khoziny. Ya, pada sore hari bulan itu bangunan yang digunakan untuk beribadah, belajar dan istirahat ambruk. Ironisnya, keruntuhan itu menyebabkan 60-an lebih korban kehilangan nyawa. Entah kebetulan entah tidak keruntuhan bangunan itu pas sekali terjadi pada saat para santri sedang melaksanakan ibadah shalat Ashar. Namun, yang pasti perihal pembangunan gedung yang hanya melibatkan para santri dan tanpa pengawasan pihak berpengalaman serta profesional jelas kurang tepat juga perlu dikoreksi.
Andaikata kemampuan literasi para manajamen dan para santri tinggi, hal-hal yang demikian itu tidak perlu sampai harus terjadi. Sayangnya, literasi yang tinggi dan hanya menitikberatkan pada bacaan tertentu saja (khusus) dan mengabaikan bacaan umum lantas melakukan sesuatu tanpa adanya ilmu mengakibatkan kesalahan sekecil apapun dapat menjadi hal yang fatal.
Begitu pula dengan apa yang terjadi pada kereta cepat Woosh. Transportasi idaman yang idenya muncul sejak zaman presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan diwujudkan oleh presiden Joko Widodo ternyata menjadi bahan pembicaraan publik saat ini. Yang mana pembicaraan ini menyangkut utang besar kereta cepat. Polemik utang ini muncul sebagai akibat pernyataan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyatakan tidak akan membayar hutang serta bunga dengan APBN.
Satu per satu pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung berbicara. Agus Pambagio (Pengamat Kebijakan Publik) menjadi tokoh kunci utama selain Ignasius Jonan (Mantan Menteri Perhubungan). Agus mengatakan secara blak-blakan tentang siapa yang menginginkan kereta cepat itu. Ada pertanyaan besar dibalik pengadaan kereta cepat ini, pertama tentang apakah kereta cepat ini (jurusan Jakarta – Bandung) merupakan keinginan ataukah kebutuhan? Kedua, mengapa terjadi perubahan dari Jepang ke Tiongkok? Ketiga, mengapa yang pada mulanya hutang tanpa membebani APBN sekarang justru harus menggunakan APBN?
Dimana sikap kritis presiden Joko Widodo pada waktu itu terhadap keberadaan kereta cepat ini? Mengapa harus terkesan terburu-buru mewujudkannya? Ya, ada banyak sekali pertanyaan yang bermunculan dan mendesak agar publik diberikan jawaban. Sayangnya, saat wartawan menanyakan hal itu kepada mantan presiden Jokowi, ia tidak memberikan jawaban dan hanya tersenyum lantas meninggalkan kerumunan wartawan.
Andaikata, presiden Joko Widodo memiliki literasi yang tinggi, ia akan tangkas dan percaya diri menjawab pertanyaan para wartawan itu. Ia akan berani menghadapi pertanyaan-pertanyaan mereka sekalipun pertanyaan itu pedas dan berat bobotnya.
Begitulah, persamaan dari ketiga peristiwa itu memang tidak jauh-jauh dan lepas dari kemampuan literasi yang minim. Dan itu memang tidak mungkin terjadi, kalau tidak adanya aktivitas membaca. Kita mesti memahami bahwa kemampuan literasi bukan hanya sekadar aktivitas membaca. Menurut UNESCO, literasi merupakan ketrampilan yang nyata, khususnya ketrampilan kognitif seseorang dalam membaca dan menulis yang dipengaruhi oleh komptensi di bidang akademiks, konteks nasional, institusi, nilai-nilai budaya, dan pengalaman.
Artinya, literasi menjadi suatu bentuk ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang bertujuan untuk perencanaan pembangunan. Disitu disebutkan ada ketrampilan kognitif dan kognitif adalah istilah yang merujuk pada proses mental, berpikir, belajar, memahami, mengingat, dan memproses informasi. Ada olah diri dalam diri seseorang sejak mendapatkan sebuah informasi. Tanpa itu, segala informasi yang diterima akan ditelan mentah-mentah yang justru akan memberikan efek buruk, baik kepada diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
Menurut Witanto (mengutip dari Azmi Rizky Anisa, Ala Aprila Ipungkarti jurnal UPI Vol. 01 No. 01 tahun 2021) dampak yang terjadi apabila tidak memiliki minat dalam membaca, yakni pertama, akan sering terjadi kesalahpahaman dalam memahami, menguasai maupun menggunakan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk memanifestasikan produk berkualitas. Kedua, seseorang akan mudah dipengaruhi atau terdoktrin oleh pemahaman negatif dari pihak eksternal. Ketiga, kreativitas seseorang tidak akan berkembang. Keempat, tidak akan mampu mengetahui informasi teraktual sehingga mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas diri. Kelima, timbul sikap ketidakpedulian. Keenam, sulit atau tidak akan dapat berkomunikasi dengan baik. Ketujuh, negara akan kehilangan aset sumber daya sebagai kontribusi generasi muda dalam kemajuan bangsa yang berkualitas dan mempunyai produktivitas tinggi.
Oleh sebab itu, penting bagi pihak-pihak terkait dan yang berkepentingan untuk sering menyebarkan virus gemar membaca. Tentu, bacaan-bacaan yang bermutu tinggi. Bukan sekadar clickbait atau artikel pendek. Aktivitas membaca haruslah bertujuan untuk memberikan refleksi diri. Sebuah upaya untuk mengevaluasi diri. Dengan begitu, akan mendorong seseorang mampu berpikir kritis. Andaikata Gus Dur masih hidup hingga saat ini, ia akan berpikir kritis tentang pengadaan kerata api cepat. Apakah perlunya? Sejauh mana akan memberikan dampak bagi Indonesia?
Gus Dur, Habibie, bahkan SBY dan Soekarno merupakan para pembaca buku yang lahap. Terkadang gerak kebijakan yang keluar dari tangan, kaki dan pemikiran mereka cenderung berhati-hati, tetapi tentu mereka memiliki alasan untuk itu. Sesuatu yang dilakukan secara terburu-buru memang mampu memberikan kepuasan tersendiri, tetapi ada dampak lain yang sifatnya sementara dan tidak terlalu siginifikan. Justru berakhir tidak baik.
Lihat saja kembali peristiwa akhir Agustus, akhir September dan Woosh itu. Bukankah semuanya dilakukan secara terburu-buru. Suatu upaya yang ingin segera memenuhi kepuasan semata. Bukan sesuatu yang didasarkan pada kebutuhan. Oleh sebab itu, marilah kembali menguasai diri dengan bekal bacaan dan bukan nafsu saja. Tentu, agar kita termasuk pemimpin dapat bersikap lebih kritis.
————– *** ——————-


