25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Belajar dari Dua Krisis Komunikasi Pesantren

Oleh :
Zainal Muttaqin
Santri Tambakberas, Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur

Tahun 2025 menjadi tahun penuh ujian bagi dunia pesantren. Belum genap dua minggu setelah duka mendalam di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo-ketika bangunan mushala ambruk saat proses pengecoran lantai tambahan dan menelan puluhan nyawa santri-publik kembali dikejutkan oleh tayangan program Xpose Uncensored di Trans7. Episode bertajuk “Kehidupan di Balik Pagar Pesantren” itu menampilkan potongan video santri yang dianggap melecehkan, disertai narasi yang seolah merendahkan kiai dan tradisi pesantren. Dua peristiwa berbeda-satu berupa musibah fisik, satu lagi luka simbolik-sama-sama mengguncang kepercayaan publik.

Di Al-Khoziny, krisis muncul dari dalam; di Trans7, krisis datang dari luar. Keduanya mengingatkan bahwa tantangan pesantren hari ini bukan hanya soal mendidik santri, tetapi juga menjaga marwah di tengah pusaran media, opini, dan emosi massa. Dari dua peristiwa inilah kita belajar, bahwa komunikasi yang cepat, empatik, dan beradab bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan bagian dari tanggung jawab moral pesantren di era keterbukaan informasi.

Al-Khoziny dan Manajemen Duka
Sore 29 September 2025, suasana khusyuk shalat ashar berubah menjadi kepanikan. Reruntuhan mushala menimbun puluhan santri. Dalam hitungan jam, foto dan video beredar luas; media internasional seperti Reuters, AP, The Guardian, dan ABC News menyiarkan kronologi evakuasi, jumlah korban, hingga tanggapan pemerintah daerah.

Di tengah kepedihan itu, publik juga menunggu komunikasi resmi dari pihak pesantren. Pengasuh KHR Abdus Salam Mujib segera angkat bicara, sebuah langkah cepat dan tepat yang harus kita apresiasi. Namun tekanan media menuntut lebih: data korban yang tervalidasi, pernyataan teknis soal pembangunan, dan koordinasi lintas instansi.

Di sinilah komunikasi krisis diuji.

Untungnya, kehadiran Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Emil Dardak beserta jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur secara langsung di lokasi membawa efek besar. Dengan empati dan kepemimpinan lapangan, keduanya menjadi “jangkar komunikasi”: menenangkan keluarga, mengoordinasi Basarnas-BPBD-TNI/Polri, sekaligus memberi rilis terukur kepada media. Keputusan-keputusan kritis, seperti penggunaan alat berat setelah persetujuan keluarga disampaikan transparan, mencegah spekulasi liar.

Berita Terkait :  Konsultasi Regional Kementerian PU 2025 Fokus Perkuat Infrastruktur Pangan, Air dan Pemerataan Ekonomi

Dari tragedi itu, kita belajar satu hal: komunikasi yang cepat, empatik, dan berbasis data mampu menahan guncangan reputasi. Bukan hanya mushala yang roboh; tanpa komunikasi yang baik, kepercayaan publik pun bisa runtuh.

Trans7 dan Perang Narasi
Belum usai masa berkabung, publik pesantren kembali tersentak. Tayangan Xpose Uncensored Trans7 menampilkan cuplikan kehidupan santri dengan narasi sensasional. PBNU menyebut program itu “melecehkan pesantren dan menghina tokoh-tokoh yang dimuliakan.” Reaksi datang beruntun: somasi dari LBH Sarbumusi, laporan ke Dewan Pers, hingga gerakan digital #BoikotTrans7. DPR RI memediasi pertemuan antara PBNU, KPI, Alumni Pesantren Lirboyo dan manajemen Trans7 untuk menuntut klarifikasi dan permintaan maaf terbuka.

Kasus ini berbeda dari Al-Khoziny: bukan krisis akibat kesalahan internal, melainkan krisis reputasi karena framing eksternal. Namun polanya mirip: emosi publik meledak, kepercayaan terancam, dan institusi pesantren harus bereaksi cepat.

Fenomena ini membuka babak baru dalam sejarah komunikasi pesantren: dari krisis berbasis tragedi menuju krisis berbasis narasi. Bila krisis pertama menuntut empati dan koordinasi teknis, maka krisis kedua menuntut narrative defense: kemampuan melawan distorsi dengan logika, bukti, dan bahasa bermartabat.

Dua Arah Krisis, Satu Strategi
Jika ditarik dalam garis besar, dua peristiwa besar yang mengguncang dunia pesantren tahun ini sesungguhnya mencerminkan dua arah krisis yang berbeda namun saling melengkapi: krisis dari dalam dan krisis dari luar. Perbedaan sumber krisis ini mengajarkan bahwa pesantren tidak hanya perlu siap secara spiritual dan sosial, tetapi juga secara strategis dalam mengelola komunikasi publik di dua medan yang berbeda: krisis internal dan krisis eksternal.

Keduanya menegaskan pentingnya pola reaktif-strategis: kemampuan merespons cepat tanpa kehilangan arah dan nilai. Dalam konteks santri, cepat bukan berarti gegabah, dan lambat bukan berarti bijak; reaktif-strategis berarti merespons dengan kepala dingin, hati hangat, dan lidah yang menyejukkan.

Ketika Pemimpin Hadir
Dalam dua krisis itu, figur kepemimpinan menjadi faktor penentu. Gubernur Khofifah dan Wakil Gubernur Emil bukan hanya datang; mereka hadir dengan mandat, koordinasi, dan empati. Mereka memimpin dialog risiko, menimbang keselamatan relawan, kecepatan pencarian, serta dampak psikologis keluarga.

Berita Terkait :  Waspadai Alih Fungsi Lahan Pertanian

Di sisi lain, Ketua Umum PBNU menunjukkan kepemimpinan moral: menyuarakan protes keras kepada Trans7 tanpa anarkis, menempuh jalur hukum, dan membuka mediasi di DPR RI. Ini contoh strategic reaction: marah dengan tertib, menegur dengan data, menuntut dengan etika.

Kehadiran pemimpin yang cepat, komunikatif, dan berani mengambil alih narasi menjadi pelajaran penting bagi pesantren: dalam krisis, diam adalah kehilangan; hadir adalah harapan. Kepemimpinan yang hadir di tengah krisis bukan hanya soal manajemen, tetapi juga keteladanan komunikasi: bagaimana kekuasaan digunakan untuk menenangkan, bukan menekan.

Komunikasi Pesantren Harus Naik Kelas
Sorotan global atas Al-Khoziny dan Trans7 memperlihatkan satu kenyataan baru: dunia sedang menonton cara pesantren mengelola dirinya. The Guardian menulis soal “lax construction practices”, sementara Reuters menyoroti “public outcry from Indonesia’s largest Islamic organization.” Ini artinya pesantren tidak lagi entitas lokal, melainkan bagian dari ekosistem global.

Oleh karena itu, Komunikasi pesantren harus naik kelas: profesional dalam tata kelola, digital dalam strategi, dan beradab dalam tutur kata. Profesional berarti memiliki protokol tanggap darurat dan sistem informasi publik yang jelas; digital berarti cerdas menggunakan media sosial untuk klarifikasi dan edukasi; beradab berarti setiap pernyataan dijaga dari arogansi dan sensasi.

Pesantren yang berhasil mengelola krisis dengan transparansi akan menjadi model Islamic resilience: ketahanan moral dan sosial di tengah badai informasi.

Refleksi Hari Santri Nasional 2025
Tema Hari Santri Nasional 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” menegaskan bahwa peradaban tidak hanya dibangun oleh ilmu, tetapi juga oleh komunikasi yang beretika. Tragedi Al-Khoziny mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan dan profesionalisme; Kasus Trans7 mengingatkan pentingnya kehati-hatian media dan kehormatan narasi.

Santri masa kini dituntut bukan hanya bisa membaca kitab kuning, tetapi juga membaca dinamika publik. Ia harus mampu menjadi juru bicara kebenaran di era informasi, mempraktikkan prinsip tabayyun (verifikasi) dan hikmah (kebijaksanaan) dalam setiap interaksi digital.

Berita Terkait :  HUT Golkar Ke-60, Golkar Surabaya Akan Berangkatkan 60 Bus Ziarah Wali 5

Peradaban dunia yang diimpikan tema Hari Santri hanya bisa diwujudkan bila pesantren menjadi contoh komunikasi yang amanah, berimbang, dan beradab.

Menuju Budaya Komunikasi Santri
Agar dua tragedi jelang Hari Santri Nasional 2025 tidak berulang dalam bentuk lain, diperlukan transformasi budaya komunikasi di pesantren: Pertama, pelatihan literasi media bagi santri agar memahami cara kerja media dan melindungi reputasi lembaga. Kedua, pembentukan unit humas pesantren sebagai pusat klarifikasi dan data resmi. Ketiga, penguatan kolaborasi pentahelix antara pemerintah, akademisi, media, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Keempat, peneguhan etika publikasi Islam yang mengembalikan ruh dakwah: lembut dalam kata, kuat dalam makna.

Jika langkah-langkah ini diadopsi, pesantren tidak lagi hanya reaktif, tetapi adaptif dan antisipatif, siap menghadapi krisis apa pun dengan kematangan spiritual dan profesional.

Transformasi Santri Komunikasi
Tragedi Al-Khoziny mengajarkan arti kesiapsiagaan, sementara kasus Xpose Uncensored Trans7 mengingatkan pentingnya kewaspadaan naratif. Satu menguji empati dan manajemen krisis di tengah duka, satu lagi menguji kebijaksanaan dalam menjaga marwah ketika pesantren disudutkan di ruang publik. Keduanya menghadirkan pelajaran berharga tentang bagaimana lembaga keagamaan mengelola badai tanpa kehilangan arah moral.

Hari Santri Nasional 2025 menjadi momentum refleksi bagi seluruh dunia pesantren: sudahkah kita siap mengawal Indonesia menuju peradaban dunia bukan hanya dengan ilmu dan doa, tetapi juga dengan kecakapan komunikasi yang beretika, terbuka, dan menenteramkan? Sebab dalam dunia yang kian bising oleh informasi, kemampuan berbicara dengan jernih dan berperilaku santun menjadi bentuk baru dari dakwah dan kepemimpinan.

Dunia telah menyaksikan reruntuhan mushala yang menguji daya tahan, dan kesalahan narasi yang menguji kebesaran jiwa. Kini saatnya dunia melihat kebangkitan komunikasi pesantren: yang mengubah duka menjadi komunikasi bermakna, kemarahan menjadi kesadaran retorika, dan kritik menjadi ruang dialog beretika.

Dari peristiwa-peristiwa ini, lahirlah pesantren yang bukan hanya kuat secara spiritual, tetapi juga dewasa secara komunikasi: siap menjadi penjaga peradaban di tengah derasnya arus zaman.

————— *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru