26 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Mengurai Benang Kusut Laut Indonesia

Oleh :
Irwan Setiawan
Mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik Universitas Hang Tuah Surabaya, Anggota DPRD Jawa Timur Periode 2009 – 2014

Indonesia kerap mengidentifikasi dirinya sebagai negara maritim. Klaim ini didasari data United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982 yang menyebutkan bahwa 63% dari luas wilayah Indonesia adalah perairan. Perlu diketahui juga bahwa total luas perairan Indonesia mencapai lebih dari 6,4 juta km², sudah termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan wilayah landas kontinen.

Dalam perspektif ekonomi, status sebagai negara maritim menunjukkan bahwa sumber ekonomi yang potensial untuk didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat juga ada di laut. Bisa diprediksi, laut Indonesia menyimpan kekayaan ikan, energi, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2020, potensi ekonomi dari laut Indonesia bisa mencapai Rp 19,6 Triliun per tahun.

Selain itu, laut bukan hanya sumber pangan dan energi, tetapi juga jalur perdagangan vital dunia. Sebagaimana disampaikan oleh Budi Karya Sumadi saat masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan pada tahun 2018, 90% dari jalur perdagangan dunia diangkut melalui laut dan 40% dari perdagangan tersebut melewati Indonesia.

Berlandaskan pada data-data tersebut, laut Indonesia selayaknya disadari sebagai anugerah besar untuk bangsa Indonesia. Laut Indonesia semestinya bisa menjadi salah satu jalan untuk tercapainya misi memajukan kesejahteraan umum sekaligus menjadikan negara ini sebagai poros maritim dunia.

Berita Terkait :  Dukung Artcofest 2025, BI Dorong Kopi Unggulan Malang–Pasuruan Terus Berkembang

Sayangnya, di balik potensi besar tersebut, pengelolaan laut Indonesia justru masih diwarnai persoalan klasik. Hari ini, laut Indonesia menjadi “ruang ramai” berbagai institusi, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, TNI AL, Bakamla, hingga pemerintah daerah. Masing-masing memiliki kepentingan, aturan, dan agenda sendiri. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan. Masing-masing menjalankan kebijakan sendiri-sendiri dan pengawasannya sering kali saling bertabrakan.

Kondisi ini berdampak pada timbulnya ekonomi biaya tinggi. Nelayan kecil sering bingung menghadapi regulasi yang berubah-ubah; pelaku industri perikanan atau energi harus mengurus izin ke beberapa kementerian sekaligus. Investor pun menghadapi birokrasi panjang yang menggerus efisiensi dan menurunkan daya saing. Alih-alih menjadi poros maritim dunia, Indonesia justru terjebak dalam pusaran ego sektoral. Lalu, bagaimana semestinya?

Menurut Mancur Olson (1965) dalam Collective Action Theory, ketika banyak aktor memiliki kepentingan terhadap satu sumber daya bersama, konflik dan inefisiensi sulit dihindari jika tidak terjalin koordinasi yang efektif. Persoalan laut, sebagai common pool resources, menjadi contoh paling nyata dari teori itu.

Sementara itu, prinsip Good Governance menekankan pentingnya efektivitas, efisiensi, dan koordinasi antar lembaga negara. Tanpa sinergi, kebijakan justru melahirkan tumpang tindih dan pemborosan anggaran.

Bahkan, dalam Institusionalisme Baru (March & Olsen, 1984), lembaga negara kerap bekerja dalam “silo” yang ditandai dengan menjaga domainnya sendiri, enggan berkoordinasi, dan sulit membangun kerja bersama.

Berita Terkait :  Sidoarjo Akan Berjuang Keras Meraih Penghargaan Swasti Saba Padapa Tahun 2024

Sayangnya, teori-teori itu bukan sekadar ada di ruang dan literatur akademik. Teori tesebut telah menjelma menjadi realita tata kelola kelautan Indonesia.

Sebenarnya, Indonesia memiliki payung hukum yang cukup kuat. Pertama, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menegaskan pentingnya koordinasi lintas sektor. Kedua, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membagi kewenangan pengelolaan laut antara pusat dan daerah. Ketiga, Perpres No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang telah memberikan arah strategis nasional dalam tata kelola laut. Satu lagi, di level global, Indonesia berpedoman pada UNCLOS 1982 yang menegaskan hak berdaulat negara kepulauan atas wilayah lautnya.

Namun, di lapangan, regulasi-regulasi itu sering kali berhenti di atas kertas. Pengimplementasiannya tersendat karena masing-masing lembaga berjalan dengan paradigma dan kepentingan sendiri. Ego sektoral jauh lebih dominan daripada semangat menjalin koordinasi untuk terbangunnya sebuah kerja sinergis.

Untuk mengurai segala kekusutan terkait kewenangan laut, tentunya dibutuhkan langkah berani dan sistematis. Setidaknya ada empat langkah krusial yang bisa dilakukan.

Langkah pertama yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperkuat lembaga koordinasi tunggal di bidang kelautan yang mampu mengintegrasikan seluruh kepentingan sektoral. Dalam hal ini, revitalisasi Dewan Kelautan Indonesia bisa menjadi pilihan strategis.

Langkah kedua adalah mendorong penerapan sistem perizinan terpadu berbasis digital. Hal ini penting agar proses perizinan bisa menjadi lebih sederhana, efisien, transparan, dan akuntabel.

Berita Terkait :  Lagi, Polres Situbondo Khitan Gratis Puluhan Anak Tak Mampu

Langkah ketiga adalah memperkuat peran Bakamla RI (Badan Keamanan Laut Republik Indonesia) sebagai koordinator utama keamanan laut, bukan sekadar pelengkap TNI AL atau Polair. Langkah ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 tahun 2022 yang menempatkan Bakamla RI sebagai korrdinator kementerian maupun lembaga terkait di bidang keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di laut.

Langkah keempat adalah membangun integrasi data kelautan nasional sehingga setiap kebijakan disusun berdasarkan informasi yang sama dan dapat diverifikasi.

Sudah saatnya pemerintah menatap laut dengan visi yang utuh, bukan sektoral. Sinergi jangan hanya sekadar jargon melainkan prasyarat agar pengelolaan laut mampu menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Namun selama ego kelembagaan masih dipertahankan, jargon “poros maritim dunia” akan tetap menjadi retorika kosong. Laut yang semestinya menjadi berkah, justru bisa berubah menjadi beban akibat tumpang tindih kewenangan dan inefisiensi kebijakan.

Tidak bisa dipungkiri, peenataan ulang kelembagaan kelautan bukan perkara mudah tetapi itu keharusan jika kita sungguh ingin berdaulat di laut sendiri. Dengan tata kelola yang terkoordinasi, berbasis data, dan berorientasi pada kepentingan publik, Indonesia bisa benar-benar menjadi bangsa maritim yang berdaulat, berdaya saing, dan berkelanjutan.

————– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru