Oleh :
Irwan Setiawan
Penulis adalah Pembina Aldebaran Institute, Anggota DPRD Jawa Timur Periode 2009 – 2014 dan 2014 – 2019
Meski adanya Hari Tani Nasional dilatarbelakangi oleh lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, namun perimgatannya memiliki korelasi dengan masa depan bangsa Indonesia. Tidak bisa dinafikan, para petani adalah pemegang kunci penting ketahanan pangan masyarakat Indonesia yang sudah lama dikenal sebagai negara agraris. Pertanyaan evaluatifnya, bagaimana kondisi terkini para pejuang ketahanan pangan tersebut?
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2011 hingga 2024, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan merupakann lapangan pekerjaan utama penduduk usia 15 tahun ke atas. Dengan demikian, sebutan Indonesia negara agraris masih relevan. Namun demikian, ada data- lain yang menunjukkan adanya kenyataan ironis untuk sebuah negara agraris.
Masih merujuk pada data resmi yang dirilis BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 mencapai 25,90 juta jiwa. Lebih dari separuhnya tinggal di desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Artinya, ujung tombak negara agraris Indonesia justru termasuk dalam kelompok masyarakat paling rentan kemiskinan.
Realita ini semestinya membangunkan kesadaran bahwa peringatan Hari Tani Nasional di setiap tahunnya harus menjadi momentum untuk memberikan atensi dan apresiasi dalam bentuk riil terhadap perjuangan kaum tani. Hari Tani Nasional harus menjadi hari kebangkitan para petani Indonesia, terutama bangkit dari ketidakberdayaan ekonomi. Peringatan Hari Tani Nasional akan tidak bermakna jika tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan para petani. Mengangkat kesejahteraan mereka berarti membuka jalan bagi terwujudnya kedaulatan bangsa.
Secara teoritis, pendekatan people-centered development memberi penekanan bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat. Dalam konteks ini, petani tidak boleh dipandang sekadar objek kebijakan, melainkan subjek aktif yang terlibat dalam seluruh proses.
Amartya Sen, dalam Development as Freedom (1999), menegaskan bahwa pembangunan bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan perluasan kebebasan manusia untuk hidup bermartabat. Ini berlaku juga untuk mereka yang bekerja di sektor pertanian. Kesejahteraan petani terkait erat dengan akses atas lahan, teknologi, pasar, dan perlindungan untuk mendapatkan harga yang adil.
Senada dengan itu, Chambers dan Conway (1992) melalui pendekatan sustainable livelihood (penghidupan berkelanjutan) menyatakan bahwa kemiskinan tidak semata soal rendahnya pendapatan. Lebih jauh, kemiskinan terkait dengan kerentanan, keterbatasan aset, lemahnya akses kelembagaan, serta ketidakmampuan menghadapi guncangan, baik akibat bencana maupun fluktuasi harga.
Sayangnya, petani Indonesia masih menghadapi sejumlah problem struktural. Masalah utama adalah sempitnya kepemilikan lahan. Sebagian besar petani termasuk kategori petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektare. Selain itu, para petani masih belum merdeka dari permainan para tengkulak akibat lemahnya akses langsung ke pasar. Masalah ketiga adalah mahalnya biaya sarana produksi seperti pupuk, benih, hingga pestisida yang tidak diimbangi harga jual hasil panen yang stabil. Masalah berikutnya adalah rendahnya literasi keuangan, pemanfaatan teknologi digital, dan akses perlindungan sosial. Satu lagi masalah adalah kelembagaan ekonomi petani seperti koperasi atau BUMDes yang sering kali belum berdaya secara manajerial maupun permodalan.
Kondisi ini membuat banyak petani terjebak dalam lingkaran ketidakberdayaan. Tanpa reformasi struktural, pertanian hanya menjadi sektor bertahan hidup, bukan jalan menuju sustainable livelihood.
Dengan mengingat bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka peningkatan kesejahteraan petani sudah sepantasnya menjadi agenda strategis nasional. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.
Langkah pertama adalah Reforma Agraria, Pemerintah perlu menuntaskan agenda reforma agraria dengan lebih serius. Reforma agraria berarti menata kembali sisttem pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah. Langkah ini sangat krusial agar ada para petani memiliki kepastian hak atas lahan. Kepastian hukum atas hak inilah yang akan menjadi landasan utama bagi petani untuk berproduksi secara mandiri dan berkelanjutan.
Langkah kedua adalah Insentif Produksi Pertanian, Subsidi pertanian perlu diarahkan pada insentif produktif, seperti pupuk organik, benih unggul lokal, dan alat mesin pertanian skala kecil sesuai kebutuhan petani.
Langkah ketigaa adalah akses digital dan pasar. Ekosistem digital pertanian perlu diperkuat, mulai dari platform informasi harga, distribusi hasil panen, hingga transaksi koperasi digital. Dengan cara ini, mata rantai distribusi yang merugikan petani dapat dipangkas.
Langkah keempat adalah pendidikan dan penyuluhan modern Penyuluhan pertanian harus direvitalisasi dengan pendekatan teknologi, ekologi, dan kewirausahaan untuk mendorong inovasi serta efisiensi usaha tani.
Langkah kelima adalah penguatan kelembagaan ekonomi petani koperasi, BUMDes dan kelembagaan ekonomi lokal lainnya perlu difasilitasi menjadi entitas bisnis modern yang profesional serta terhubung dengan rantai nilai industri pertanian nasional.
Pada akhirnya, sebagus apapun wacana dan gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani Indonesia, hal itu tidak akan bisa terimplementasikan tanpa adanya iktikad baik (goodwill) para pembuat kebijakan. Dibutuhkan adanya kesadaran bahwa peningkatan kesejahteraan petani merupakan amanat sila kelima Pancasila yang secara jelas menghendaki adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial tidak akan pernah terwujud jika petani sebagai elemen penting program ketahanan pangan nasional, masih hidup dalam kemiskinan. Selama petani belum lagi berdaya, ketahanan pangan nasional akan menghadapi kendala serius. Saat bangsa Indonesia menghadapi potensi ancaman berupa krisis pangan global akibat perubahan iklim dan ketegangan geopolitik, negara harus menempatkan petani sebagai garda terdepan.
Pemberdayaan petani Indonesia bukan semata-mata program sektoral, melainkan misi kebangsaan. Di sinilah persoalan keadilan, kedaulatan, dan juga kemanusiaan, saling berkelindan. Petani yang sejahtera adalah pondasi Indonesia yang berdaulat sekaligus berkeadilan.
————– *** —————-


