Oleh :
Budi Raharjo, SE, MSi
Mahasiswa S3 program PSDM Universitas Airlangga ; Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteran Masyarakat dan Sumber Daya Manusia
Merajut Jembatan Asia Tenggara-Eropa Tenggara di Zagreb-Kroasia
Awal September 2025, udara di Zagreb mulai sejuk, tanda musim gugur mendekat. Di kota bersejarah yang dikenal dengan arsitektur klasiknya ini, puluhan akademisi, peneliti, mahasiswa, dan pembuat kebijakan dari berbagai negara berkumpul. Mereka datang dengan satu tujuan: berbagi pengetahuan, berdialog, dan mencari jalan keluar atas masalah global yang makin kompleks. Selama hampir satu minggu penuh mulai tanggal 08-13 September 2025, dua agenda besar telah diselenggarakan. Pertama, Konferensi Internasional ke-29 bertema “Minoritas Nasional, Migrasi, dan Keamanan” yang berlangsung di Kepulauan Brijuni, Kroasia. Kedua, Summer School ketujuh bertajuk “Connecting Southeast Asia and Southeast Europe” yang diadakan di Universitas Zagreb. Keduanya tidak sekadar forum ilmiah, tetapi ruang pertemuan lintas benua, lintas budaya, dan lintas generasi. Tema yang diangkat-minoritas, migrasi, demokrasi, hingga keamanan global-mencerminkan isu-isu yang sama-sama dirasakan baik di Asia Tenggara maupun Eropa Tenggara.
Wilayah Balkan, tempat Kroasia berada, punya sejarah panjang keragaman etnis dan agama. Namun, keragaman itu kerap diwarnai konflik. Perpecahan Yugoslavia di tahun 1990-an meninggalkan luka mendalam, sekaligus pelajaran bahwa hubungan antar-etnis dan posisi minoritas selalu menjadi isu krusial. Kini, Kroasia yang sudah masuk group negara-negara uni eropa juga berada di jalur utama migrasi. Ribuan pencari suaka dari Asia, Timur Tengah dan Afrika melewati wilayah ini untuk menuju Eropa Barat. Kondisi ini membuat topik migrasi dan keamanan sangat relevan.
Namun, relevansi itu tidak hanya untuk Eropa. Indonesia, meski jauh di Asia Tenggara, juga menghadapi tantangan serupa. Bous Demografi dan Migrasi tenaga kerja, perlindungan hak-hak minoritas, hingga penguatan demokrasi serta geopolitik adalah isu global yang perlu dibahas bersama.
Jejak Indonesia di Zagreb
Tidak saja jejak Soekarno dan Soeharto presiden RI sebagai pendiri gerakan non blok yang ada dalam rumah memory Josep Bros Tito (Mantan Presiden Yogoslavia) namun hadir dalam forum besar itu, lewat kolaborasi universitas : Universitas Lampung, Universitas Gajah Mada, Universitas Singaperbangsa, Universitas Teknokrasi Indonesia dan Universitas Airlangga. Mereka membawa hasil riset dan Perwakilan Universitas Airlangga berkolaborasi dengan Universitas Lampung mempresentasikan berjudul “Para-diplomacy in the Protection of Indonesian Migrant Workers (PMI)” case study in East Java Province, yang dipresentasikan oleh Budi Raharjo (Universitas Airlangga) dan Arie Fitria (Universitas Lampung).
Inti dari riset yang dipresentasi ini sederhana namun penting bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah, desa, organisasi masyarakat sipil, hingga diaspora sangat menentukan. Model ini disebut para-diplomasi, yaitu diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor di luar pemerintah pusat. Di Jawa Timur, misalnya, pemerintah provinsi menggandeng desa, LSM, hingga komunitas diaspora untuk membangun sistem perlindungan berbasis komunitas. Pendekatan ini lebih dekat dengan kebutuhan riil pekerja migran dan keluarganya. “Para-diplomasi bukan sekadar alternatif, tapi mekanisme transformasi human capital secara sosial,” begitu disampaikan dalam forum. Selain riset dalam forum Summer School di Universitas Zagreb dipresentasikan peluang kerjasama tenaga kerja antara Indonesia dan Kroasia dalam konteks “Connecting SouthEast Asia dan South East Erope “.
Hasil riset dan peluang kerjasama tersebut mendapat sambutan hangat. Bagi negara-negara Eropa Tenggara yang juga menghadapi persoalan migrasi, pengalaman Indonesia menjadi inspirasi baru dan peluang untuk kerjasama baik dari aspek akademik maupun penempatan tenaga kerja terampil.
Selain konferensi, delegasi Indonesia juga tampil dalam Summer School di Universitas Zagreb. Di forum ini, fokus diskusi bergeser: dari isu migrasi global ke peluang kerja sama konkret antara Indonesia dan Kroasia. Kroasia sedang menghadapi krisis demografi. Lebih dari 22% penduduknya berusia di atas 65 tahun. Angka kelahiran rendah, sementara anak muda justru banyak yang memilih merantau keluar negeri. Akibatnya, populasi Kroasia diproyeksikan menyusut drastis hingga hanya 3,2 juta orang pada 2050.Dampak langsungnya adalah kekurangan tenaga kerja, terutama di sektor pariwisata dan konstruksi. Padahal, kedua sektor ini menjadi tulang punggung ekonomi Kroasia.
Sebaliknya, Indonesia sedang menikmati bonus demografi. Lebih dari 70% penduduk berada di usia produktif, tenaga kerja muda melimpah, tingkat pengangguran mulai menurun, dan kemampuan vokasi berkembang pesat.Kondisi ini membuka peluang kerja sama yang saling menguntungkan. Kroasia membutuhkan tenaga kerja, sementara Indonesia butuh pasar baru untuk menyalurkan tenaga muda terampilnya.
Momentum Baru: Konsulat Kroasia di Surabaya
Peluang ini semakin nyata setelah pada Agustus 2025, Kroasia membuka Konsulat Kehormatan di Surabaya. Peresmian ini dihadiri langsung oleh Duta Besar Kroasia untuk Indonesia, Nebojsa Koharovic, dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak.Bagi Jawa Timur, yang merupakan penyumbang terbesar pekerja migran Indonesia, pembukaan konsulat ini adalah momentum penting. Artinya, akses komunikasi dan kerja sama dengan Kroasia akan lebih mudah. Di Summer School, delegasi Indonesia pun memaparkan gagasan: kerja sama vokasi, sertifikasi tenaga kerja, hingga pilot project penempatan tenaga kerja semi-terampil berkolaborasi dengan balai latihan kerja dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Pekerja Migran Indonesia, terutama di sektor pariwisata dan konstruksi Kroasia.
Sebuah kalimat penutup dalam presentasi mereka menggambarkan semangat itu :
“Global talent mobility is not a challenge, but a shared opportunity.” Mobilitas talenta global bukanlah sebuah tantangan, melainkan sebuah peluang bersama. Kolaborasi ini menguntungkan kedua pihak, di mana Kroasia mendapatkan akses ke pekerja muda dan terampil, sementara Indonesia mendapatkan pasar kerja baru, mengurangi pengangguran domestik, dan meningkatkan remitansi.
Lebih dari Sekadar Ilmu
Keikutsertaan Indonesia di Zagreb tidak hanya soal seminar dan presentasi. Ada pengalaman berharga di luar ruang akademis. Budi Raharjo, satu-satunya mahasiswa pascasarjana Unair yang ikut langsung, bercerita bagaimana ia harus beradaptasi dengan budaya, makanan, dan cara kerja yang berbeda selain kebanggan sejarah para pendiri bangsa dalam gerakan non blok serta misi perdamaian di Bosnia dampak perang etnis/agama. Dari interaksi dengan akademisi Balkan, ia belajar melihat Indonesia dari kacamata luar : kekuatan, kelemahan, peluang, sekaligus tantangannya. Ada pula momen reflektif ketika menyinggung sejarah perpecahan Yugoslavia. Dari situ lahir rasa syukur sekaligus peringatan: betapa pentingnya merawat persatuan Indonesia dengan segala keberagamannya. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi pondasi yang menjaga bangsa tetap utuh.
Harapan ke Depan
Dari seluruh rangkaian kegiatan di Zagreb, ada beberapa harapan yang mengemuka:
1.Penguatan Kompetensi – Delegasi berharap pengalaman ini bisa menambah kapasitas riset, bahasa, dan kemampuan presentasi, agar mampu bersaing di forum internasional.
2.Kolaborasi Pendidikan dan Penelitian – Terutama antara Universitas Airlangga dan Universitas Zagreb, serta jejaring akademik lain di Asia Tenggara dan Eropa Tenggara.
3.Peluang Penempatan Tenaga Kerja – Melalui kerja sama konkret antara pemerintah daerah, universitas, dan sektor swasta.
4.Jembatan Antar-Benua – Bukan hanya hubungan diplomatik, tetapi juga koneksi people-to-people antara Asia Tenggara dan Eropa Tenggara.
5.Kekuatan Lembaga non pemerintah dalam ekosistem perlindungan berbasis hybrid community protection untuk perlindungan Pekerja Migran Indonesia, sangat efektif dan strategis
Dari Zagreb untuk Dunia
Ketika forum berakhir, para peserta kembali ke negaranya masing-masing dengan membawa ide, kenangan, dan jaringan baru. Dari Zagreb, semangat kolaborasi lintas benua Asia tenggara dan Eropa tenggara dibawa pulang. Bagi Indonesia, partisipasi ini bukan sekadar hadir di forum akademis. Lebih dari itu, ia adalah investasi masa depan: membuka jalan kerja sama akademis, penempatan tenaga kerja, memperkuat soft diplomasi, sekaligus memperkaya perspektif bangsa di kancah global. Di tengah dunia yang semakin terhubung, kita tidak bisa berjalan sendiri. Sebagaimana pepatah Afrika yang dikutip dalam salah satu presentasi:
“If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.” Dan di Zagreb, semangat untuk to understand and go together itu terasa nyata.
———— *** —————-


