Oleh:
Endro Budi S, Kabupaten Nganjuk
Sejarah resmi mencatat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk berdiri tahun 1956 di Ganung Kidul (sekarang SMPN 3,red), sebelum pindah ke Jalan Dr. Soetomo. Namun sebuah arsip langka bertanggal Februari 1946 mengungkap bab yang lebih tua: RS Nganjuk ternyata sudah berfungsi sejak masa Revolusi Kemerdekaan hingga aggresi Belanda pertama dan kedua.
Arsip ketikan manual itu tertulis dalam bahasa Jawa “Lis penoempang pandoeroeng (…) kangge ambantoe periksoer detoeng para koerbaning pantja-baja ing Soerabaja, ingkang kapindahaken ing grija sakit Nganjoek, salebetipoen wulan Pebroari 1946.”
Arsip ini berisi Isinya daftar penyumbang sukarela untuk korban pertempuran Surabaya yang dievakuasi ke Nganjuk. Nama-nama berderet rapi: R. Sastrodiharjo, R.M. Sapari, R. Timor, hingga puluhan lainnya. Mereka mengumpulkan uang receh, f.0,25 hingga f.1,00, untuk membeli obat dan perban.
“Dokumen ini membuktikan RSUD Nganjuk sudah ada sejak masa revolusi. Ia lahir sebagai rumah sakit rakyat, jauh sebelum peresmian 1956,” ujar seorang pemerhati sejarah local Nganjuk.
Jejak itu kemudian bergulir dari pos darurat pengungsian korban perang, menjadi rumah sakit kabupaten pada 1956, lalu berpindah ke Jalan Dr. Soetomo pada tahun 1963.
Kini RSUD Nganjuk berstatus Rumah Sakit Tipe B Non Pendidikan, dengan kapasitas layanan yang terus ditingkatkan.
Namun, perkembangan ini menghadapi tantangan serius. Luas lahan RSUD hanya sekitar 2,4-2,6 hektare, jauh di bawah standar minimal 5 hektare untuk rumah sakit tipe B. Kondisi ini menimbulkan keterbatasan ruang rawat, IGD, hingga area parkir.
Untuk mengatasi keterbatasan itu, Pemkab Nganjuk bersama manajemen RSUD berencana melakukan ekspansi layanan ke Gedung Juang 45 dan Pemuda.
Di mana aset Gedung Juang 45 tersebut merupakan hadiah dari pemerintah pusat yang kini dijadikan sebagai ruang terbuka hijau dengan ornamen yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda, sehingga terdapat 2 tank tempur, 2 meriam dan 1 pesawat udara sisa perang dunia kedua.
Langkah ini menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, ekspansi dianggap solusi praktis mengingat keterbatasan lahan rumah sakit. Di sisi lain, ada kekhawatiran pemanfaatan gedung bersejarah seperti Gedung Juang 45 akan menggerus ruang terbuka publik (RTH).
Selain itu bgaimanapun Gedung Juang juga merupakan aset bersejarah yang pemanfaatan di luar fungsinya selama ini akan menghilangkan pembudayaan semangat juang 45 untuk generasi mendatang.
Pengamat kebijakan publik sekaligus direktur Edu Politik,Pujiono mengungkapkan, fakta sejarah dari arsip 1946 menegaskan bahwa RSUD Nganjuk lahir dari solidaritas rakyat pada masa revolusi.
Lanjutnya, kini, ketika rumah sakit ini berencana memperluas sayapnya dengan memanfaatkan gedung simbol perjuangan dengan semangat 45, muncul pertanyaan penting apakah langkah ekspansi ini akan meneguhkan kembali semangat perjuangan rakyat, atau justru atau justru mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan bisnis dengan dalih menyumbang pendapatan asli daerah?
“Lantas bagaimana dengan layanan rumah sakit umum daerah ini terhadap masyarakat?”, tambahnya
Sebagai sumbanganpemikiran, Pujiono mengingatkan filosofi rumah sakit sebagai tempat melayani manusia, tidak sekedar kemegahan gedung dan kecanggihan fasilitas.
“Kalau bicara layanan, hospitality dalam konteks RSUD Nganjuk yang berstatus BLUD, kuncinya bukan hanya gedung megah atau teknologi medis canggih, melainkan cara rumah sakit melayani manusia sebagai manusia, reprensntatif dari pemerintah kepada warganya, negara kepada rakyatnya”, terang Pujiono.
Hospitality sendiri adalah sebuah keramah tamahan, dalam bahasa Inggris namun di artikan sebagai rumah sakit dalam kamus besar bahasa Indonesia, Jadi siapa pun yang datang akan di layani dengan baik seperti tamu.
Mengubah budaya mengurus menjadi melayani., Perawat, dokter, dan staf administrasi perlu ditanamkan mindset bahwa pasien adalah tamu, bukan beban administrasi serta penerapan SOP fleksibel untuk tetap humanis tidak kaku seperti tembok.
“Dengan hospitality, BLUD RSUD Nganjuk bisa menggeser citra dari rumah sakit “milik pemerintah yang dingin dan birokratis” menjadi rumah sakit publik yang ramah, transparan, dan layak dipercaya sehingga menjadi rujukan dan kebanggaan masyarakat Kabupaten Nganjuk”, pungkasnya.
Sedangkan Gedung Juang 45 dan Pemuda, biarkan tetap menjadi ruang terbuka hijau tempat para pemuda bergiat serta sebagai tempat pembudayaan juang 45. [dro.gat]


