25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Menimbang Ulang Demokrasi Indonesia: DPR Bukan Masalahnya

Oleh :
Jacika Pifi Nugraheni,
Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Gelombang demonstrasi yang belakangan ini merebak di berbagai kota di Indonesia kembali menyasar gedung DPR. Isu yang memantik amarah publik bermacam-macam mulai dari tuntutan terhadap kenaikan tunjangan DPR yang dinilai tidak sejalan dengan kondisi ekonomi rakyat, hingga seruan keras “Bubarkan DPR” yang digaungkan oleh sejumlah kelompok massa. Fenomena ini bukan kali pertama terjadi, namun semakin seringnya tuntutan tersebut muncul menunjukkan bahwa ada krisis kepercayaan mendalam terhadap lembaga legislatif.

Namun, di balik gegap gempita seruan pembubaran DPR, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan yakni jika DPR dibubarkan, apa yang akan terjadi dengan sistem ketatanegaraan kita? Apakah demokrasi justru akan semakin sehat, atau malah runtuh ke dalam otoritarianisme?.

Di sinilah kita perlu kembali pada prinsip dasar konstitusi Trias Politika. Doktrin klasik Montesquieu ini mengajarkan bahwa negara demokratis harus memiliki pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang saling mengimbangi (checks and balances). DPR adalah representasi kekuasaan legislatif. Jika lembaga ini dibubarkan, maka kekuasaan pembuat undang-undang akan lenyap, meninggalkan kekuasaan eksekutif yang cenderung absolut dan yudikatif yang tak punya mitra dalam proses legislasi. Dengan kata lain, pembubaran DPR justru melawan roh demokrasi itu sendiri.

Lantas, dari mana sebenarnya akar kebusukan demokrasi kita? Mengapa DPR yang seharusnya menjadi rumah rakyat justru kerap menjadi simbol kekecewaan rakyat?. Jawabannya memang pahit yakni berasal dari Partai Politik.

Partai Politik: Penjaga Gerbang yang Menyandera Demokrasi

Konstitusi dan undang-undang kita mengatur bahwa untuk menjadi anggota legislatif, seseorang harus diusung oleh partai politik. Begitu juga jika ingin menjadi presiden, gubernur, bupati, atau wali kota, semuanya harus melalui jalur partai politik, kecuali satu-dua celah jalur independen yang persyaratannya seringkali dibuat nyaris mustahil. Artinya, partai politik telah menjadi gerbang utama kekuasaan di Indonesia.

Di atas kertas, partai politik disebut sebagai pilar demokrasi. Mereka dianggap sebagai sarana rekrutmen pemimpin, pendidikan politik, hingga penyalur aspirasi rakyat. Namun dalam praktiknya, partai politik di Indonesia kerap menjelma menjadi “oligarki modern” yang mengendalikan arah kebijakan publik bukan berdasarkan kepentingan rakyat, melainkan demi kelanggengan kekuasaan dan keuntungan segelintir elite.

Berita Terkait :  Suara Presiden Prabowo dan Asa untuk Kemanusiaan

Dari proses pencalonan anggota legislatif hingga penetapan calon kepala daerah, segala sesuatunya diatur oleh mekanisme internal partai yang sering kali tertutup, transaksional, dan sarat manipulasi. Bahkan ketika rakyat telah memilih seorang anggota legislatif atau kepala daerah, tanggung jawab pejabat tersebut lebih banyak diarahkan kepada partai pengusungnya ketimbang kepada rakyat yang memilihnya. Akibatnya, Trias Politika yang ideal menjadi ilusi, karena baik legislatif maupun eksekutif dikendalikan oleh kepentingan yang sama yaitu bermuara pada Partai Politik.

Mengapa Bukan DPR yang Dibubarkan, Melainkan Partai Politik?

Seruan membubarkan DPR lahir dari kekecewaan terhadap perilaku anggota legislatif korupsi, penyalahgunaan anggaran, atau pengesahan undang-undang yang kontroversial. Namun, mari kita bertanya lebih jujur apakah masalah tersebut murni lahir dari DPR sebagai lembaga, ataukah dari sistem yang membentuknya?.

Bayangkan sebuah DPR yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat secara individual, tanpa harus melalui partai politik. Mereka akan bertanggung jawab penuh kepada konstituennya, bukan kepada ketua umum partai. Bayangkan pula presiden, gubernur, atau bupati yang maju karena kepercayaan publik, bukan karena “membeli tiket” dari partai. Bukankah demokrasi akan menjadi lebih jernih, lebih akuntabel, dan lebih sejati?.

Maka, membubarkan DPR justru akan menimbulkan kekacauan konstitusional, tetapi membubarkan partai politik dapat menjadi langkah radikal yang mengembalikan demokrasi kepada relnya. Dengan menghapus partai politik sebagai gerbang kekuasaan, kita membuka peluang lahirnya sistem baru yang lebih memihak rakyat, sistem di mana calon pemimpin maju secara independen, didukung oleh rekam jejak dan visi, bukan oleh oligarki partai.

Apakah Demokrasi Tanpa Partai Politik Mungkin?

Pertanyaan klasik yang sering diajukan adalah jika tanpa partai politik, lalu bagaimana demokrasi berjalan? Bukankah di seluruh dunia, partai politik dianggap sebagai syarat utama demokrasi?. Jawabannya: mungkin saja. Ada berbagai model demokrasi yang tidak sepenuhnya bergantung pada partai politik. Misalnya, demokrasi partisipatif berbasis komunitas atau distrik, di mana calon legislatif dipilih langsung oleh masyarakat di daerah pemilihannya tanpa harus melalui partai. Mereka berkumpul dalam lembaga legislatif bukan sebagai wakil partai, tetapi sebagai wakil masyarakat dengan mandat langsung.

Di era digital saat ini, kita juga memiliki teknologi untuk membangun e-democracy, di mana proses rekrutmen, kampanye, hingga pengawasan bisa dilakukan tanpa biaya politik yang melambung tinggi seperti sekarang. Partai politik selama ini justru menjadi “biaya tak kasat mata” dalam demokrasi. Setiap kursi, setiap jabatan, setiap regulasi sering kali ada ongkos politik yang harus dibayar, yang ujungnya ditarik kembali dari uang rakyat.

Berita Terkait :  BNN Kabupaten Tuban Gelar Workshop Tematik P4GN

Mengembalikan Dikotomi Administrasi dan Politik: Memutus Mata Rantai Rent Seeking.

Dominasi partai politik dalam sistem kita tidak hanya merusak keseimbangan kekuasaan legislatif dan eksekutif, tetapi juga menyuburkan praktik rent-seeking di tubuh birokrasi. Ini merupakan sebuah fenomena yang saya paparkan lebih dulu dalam tulisan saya Bureaucratic Polity di Indonesia: Rejeki Penguasa atau Penolong Demokrasi (2018). Ketika jalur karier pejabat publik dan akses terhadap proyek terikat pada partai, birokrasi berubah dari mesin pelayanan menjadi arena perebutan rente. Promosi, mutasi, dan penempatan jabatan menjadi komoditas yang dipertukarkan. Praktik jual-beli jabatan dan intervensi politik semacam ini tidak sekedar melukai prinsip meritokrasi, namun mereka juga menggerogoti anggaran publik, menghambat inovasi birokrasi, dan menempatkan tanggung jawab pejabat pada partai, bukan pada publik yang seharusnya dilayani.

Bukti empiris tentang jual-beli jabatan dan rent-seeking bureaucraty dalam penganggaran dan pemekaran daerah menunjukkan bagaimana insentif politis dan oligarki lokal memicu kebijakan yang bukan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu reformasi yang kita butuhkan bukan sekadar memindahkan anggota legislatif ke luar gedung DPR, melainkan memutuskan mekanisme yang menjadikan birokrasi ladang rente antara lain dengan mengurangi monopoli partai dalam rekrutmen dan penempatan pejabat serta memperkuat mekanisme seleksi meritokratis.

Jika partai politik dihapuskan dari proses rekrutmen pemimpin, mekanismenya dapat dirancang berbasis demokrasi partisipatif. Dalam teori demokrasi partisipatif rakyat tidak sekadar menjadi pemilih pasif, melainkan aktor utama dalam menentukan calon pemimpin melalui musyawarah komunitas, forum warga, atau konvensi publik yang terbuka dan terdesentralisasi. Proses ini dapat memanfaatkan teknologi digital seperti e-voting dan blockchain untuk memastikan transparansi, mengurangi biaya kampanye, serta memutus rantai politik uang. Calon legislatif atau eksekutif dapat maju melalui dukungan minimal tanda tangan warga di daerah pemilihannya, diverifikasi publik, dan diuji secara terbuka melalui debat publik serta rekam jejak kinerja sosialnya. Mekanisme ini juga sejalan dengan konsep representasi langsung Manin, 1997 yang menekankan keterhubungan langsung antara pemimpin dengan pemilih tanpa perantara oligarki partai.

Berita Terkait :  Sepak Bola Putri Kota Batu Pesta Gol Lawan Lumajang 11-0

Selain berbasis komunitas atau wilayah pemilihan, mekanisme rekrutmen tanpa partai juga dapat dirancang melalui jalur profesi dan keahlian. Hal ini sejalan dengan konsep representasi fungsional yang pernah diusulkan Schmitter, di mana wakil rakyat tidak hanya ditentukan berdasarkan teritori, tetapi juga berdasarkan peran sosial dan kompetensi mereka di bidang tertentu. Misalnya, tenaga kesehatan, pendidik, pelaku usaha kecil-menengah, akademisi, hingga komunitas adat dapat mengirimkan perwakilan yang dipilih melalui organisasi profesi mereka masing-masing. Pendekatan ini memungkinkan kebijakan publik dirumuskan dengan lebih berbasis bukti dan kebutuhan riil, bukan sekadar kompromi politik antar partai.

Kita frustrasi melihat lembaga wakil rakyat yang tidak lagi mewakili rakyat. Namun, membubarkan DPR hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Jika kita sungguh-sungguh ingin memperbaiki demokrasi Indonesia, kita perlu lebih berani mengusulkan langkah radikal yakni bubarkan partai politik, atau setidaknya hentikan monopoli partai politik dalam rekrutmen pemimpin. Demokrasi bukan berarti memberi kekuasaan tak terbatas kepada partai, demokrasi berarti memberi kedaulatan langsung kepada rakyat.

Bayangkan sebuah Indonesia di mana setiap calon pemimpin lahir dari masyarakat, bukan dari kamar gelap partai. Bayangkan parlemen yang benar-benar menjadi ruang aspirasi, bukan arena transaksi. Bayangkan birokrasi yang profesional tanpa intervensi politik transaksional. Itulah demokrasi yang kita cita-citakan. Dan langkah pertama menuju ke sana adalah keberanian untuk mengatakan “Bukan DPR yang harus dibubarkan, melainkan partai politik yang harus direformasi radikal jika perlu, dihapuskan.”

Namun, gagasan rekrutmen tanpa partai politik tentu bukan tanpa tantangan. Pertama, risiko yang sering dikhawatirkan adalah munculnya dominasi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya kampanye, meskipun tanpa partai. Dalam konteks teori demokrasi partisipatif risiko ini dapat diantisipasi melalui mekanisme keterlibatan publik yang luas dan berlapis, seperti forum musyawarah warga, konvensi publik yang diatur secara ketat, serta keterbukaan informasi mengenai pendanaan dan rekam jejak calon pemimpin. Artinya, yang dibangun bukan hanya menghapus peran partai, tetapi juga memperkuat mekanisme partisipasi langsung yang inklusif.

————- *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru