28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Membangun Budaya Literasi Kearsipan

Oleh :
Tidor Arif T. Djati
Pemerhati Kearsipan & Ketua Asosiasi Arsiparis Indonesia Wilayah Jawa Timur

Di tengah derasnya arus digitalisasi, arsip tetap menjadi nadi penting tata kelola pemerintahan dan organisasi. Arsip tidak hanya menyimpan memori, tetapi juga menjadi bukti autentik yang memiliki kekuatan hukum dan sejarah. Namun, semua itu bergantung pada satu hal: kualitas arsipsris atau sumber daya manusia professional yang mengelolanya. Di sinilah budaya literasi kearsipan menjadi kunci. Seorang psikolog Toronto Canada, Jordan Bernt Peterson menyatakan bahwa berbicara, berpikir dan menulis adalah senjata pertempuran yang paling mematikan. Artikel ini diharapkan dapat menjadi pemantik arsiparis untuk berliterasi secara cerdas dan efektif.

Pengertian dan Makna
UNESCO (2006) mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengomunikasikan, dan menghitung menggunakan bahan cetak dan tertulis dalam berbagai konteks. Literasi kemudian terus berkembang sehingga ada literasi digital, literasi informasi, dan literasi media. Literasi kearsipan adalah salah satu jenisnya. Dalam konteks kearsipan literasi bukan sekadar kemampuan membaca dokumen, tetapi mencakup pemahaman konteks dokumen, analisis, dan penerapan pengetahuan kearsipan dalam pekerjaan, baik yang menyangkut aspek peraturan peundangan, pengetahuan manajemen kearsipan, teknis pekerjaan, hingga pemanfaatan hasil kinerja literasi oleh setiap pemangku kepentingan.

Arsiparis bukan hanya berbicata, tetapi minimal juga harus mampu menulis dan menghasilkan produk yang dapat dipakai orang lain. Literasi arsiparis harus bisa diukur jenis produk dan manfaatnya, baik untuk diri sendiri maupun institusi/orang lain

Arsiparis yang literat harus mampu mengikuti perubahan regulasi, memahami norma, standar, prosedur, kaidah kearsipan terbaru, sehingga mampu mendesain, merumuskan dan mengaktualisaskan yang dipikirkan, dan dibicarakan, memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan arsip, serta mampu mengimplementasikan seluruh aspek rangkaian manajemen arsip secara tepat sasaran.

Permasalahan Budaya Literasi Kearsipan
Sayangnya, budaya literasi kearsipan di Indoensia belum menjadi kebiasaan. Banyak arsiparis terjebak pada rutinitas teknis tanpa pembaruan pengetahuan. Akibatnya, inovasi terhambat dan layanan arsip berjalan apa adanya, bahkan minim minat berliterasi. Lalu apa makna budaya literasi bagi arsiparis? apa tantangan arsiparis dan lembaga tempat bernaung arsiparis dalam membangun budaya literasi kearsipan? dan apa tawaran strategis untuk penguatan budaya literasi kearsipan di era digital?

Berita Terkait :  Jual Diatas HET, Satgas Pengendalian Harga Beras Tegur Dua Toko di Situbondo

Membangun Budaya Literasi Kearsipan
Budaya literasi kearsipan terutama di lingkungan kerja tercermin dari kebiasaan individu dan organisasi dalam membaca, menulis, mendiskusikan, dan mengembangkan pengetahuan. Di instansi pemerintah, budaya literasi yang baik dapat memperkuat akuntabilitas, meningkatkan inovasi, dan mendorong pelayanan publik yang berkualitas. Membangun budaya literasi bisa dimulai dari langkah sederhana: seperti: (1) membaca regulasi dan pedoman teknis secara rutin; (2) mengikuti perkembangan teori dan praktik kearsipan global; (3) menulis laporan, artikel, atau kajian kearsipan; (4) berpartisipasi dalam forum diskusi kearsipan; (5) memanfaatkan teknologi seperti e-learning atau repository digital. Budaya literasi kearsipan harus menjadi suatu kebiasaan kolektif yang dapat membentuk cara pandang dan perilaku arsiparis dalam bekerja,

Tantangan Budaya Literasi Kearsipan
Tantangan Arsiparis dalam berliterasi saat ini diantaranya: (1) Kurangnya akses sumber bacaan – buku, jurnal, dan referensi kearsipan terbatas; (2) Minimnya pembiasaan membaca dan menulis – arsiparis cenderung fokus pada tugas teknis: (3) Keterbatasan pelatihan berbasis literasi – pelatihan lebih menekankan aspek teknis, bukan pengayaan pengetahuan; (4) Kurangnya dukungan kelembagaan – tidak semua instansi memiliki program literasi internal.

Produk Literasi Kearsipan Dinamis
Bagi Arsiparis yang bertugas di lembaga non kearsipan, dapat fokus pada pengelolaan arsip dinamis, antara lain dalam hal: (1) penyusunan draft peraturan/kebijakan, panduan & pedoman, manual, SOP, juknis pengelolaan arsip dinamis internal pemerintah daerah/lembaga, seperti pembuatan tata naskah dinas, pengendalian surat, klasifikasi arsip, klasifikasi keamanan dan akses arsip dinamis, jadwal retensi, peminjaman, dan penyusutan arsip, pedoman akses; (2) produk informasi & referensi, seperti membuat indeks arsip, infografis alur pengelolaan arsip dinamis; (3) produk digital & publikasi internal, seperti membuat newsletter kearsipan, video tutorial pengelolaan arsip dinamis, panduan ringkas (e book) “best practice” pengelolaan arsip elektronik.

Berita Terkait :  Pj Wali Kota Batu Instruksikan Perbaikan Sekolah Terdampak Bencana

Produk Literasi Kearsipan Statis
Sementara itu, Arsiparis di lembaga kearsipan di samping memiliki peluang luas dalam produk literasi kearsipan dinamis, mereka dapat fokus pada objek pengelolaan arsip statis yang memiliki nilai sejarah, hukum, dan budaya. Beberapa contoh produk literasi antara lain melalui pembuatan: (1) karya ilmiah & publikasi dalam bentuk artikel jurnal kearsipan – kajian preservasi, dan digitalisasi; (2) Daftar/inventaris untuk memudahkan penelusuran informasi; (3) Buku guide tematik/naskah sumber- misalnya Sejarah Kota/tokoh/peristiwa tertentu atau Kronologi Peristiwa nasional/local yang bersumber dari koleksi arsip lembaga kearsipan; (4) Produk edukasi publik, seperti pameran arsip disertai pembuatan booklet atau katalog pameran; (5) Infografis sejarah – menyajikan data arsip dalam bentuk visual naratif, podcast atau video yang menceritakan kisah di balik arsip bersejarah; (6) Produk digital & akses publik, seperti portal arsip digital – memuat koleksi arsip hasil digitalisasi, serta timeline interaktif yang menampilkan peristiwa penting berdasarkan arsip, di media sosial dengan memposting konten edukasi kearsipan berbasis koleksi.

Sedangkan Contoh literasi yang menggabungkan peran arsiparis pengelola arsip dianamis maupun statis, diantaranya adalah : (1) policy brief tentang kebijakan pengelolaan arsip di instansi; (2) pembuatan modul pelatihan literasi kearsipan; (3) menyusun glosarium istilah kearsipan (cetak & digital); (4) menyusun laporan tahunan kearsipan berisi capaian, tantangan, dan inovasi.

Strategi Penguatan Budaya Literasi Kearsipan.
Hakekatnya penguatan literasi bagi arsiparis harus didukung oleh lembaga tempat arsiparis bernaung, karena setiap gerak langkah arsiparis secara prosedural dan normatif harus diketahui dan seijin pimpinan lembaga, khususnya dalam lingkup waktu bekerja. Arsiparis dapat penjalankan peran strategis secara mandiri jika dilakukan di luar jam kerja. Peran lembaga ini sangat penting, mengingat ikatan pekerjaan dan setiap produk literasi arsiparis hakekatnya untuk kepentingan lembaga tempat arsiparis bernaung. Sedangkan yang digunakan untuk kepentingan sendiri praktis relatif sedikit dibanding untuk kemajuan, citra dan pengukuran maupun produktifitas lembaga. Beberapa strategi yang dapat dipakai sebagai langkah penguatan kompetensi dan profesionalisme arsiparis dalam mewujudkan literasi kearsipan diantaranya melalui: (1) Penyediaan akses pengetahuan – pengadaan buku, langganan jurnal, repository digital; (2) Program pelatihan literasi kearsipan – pelatihan membaca regulasi, analisis dokumen penulisan ilmiah; (3) Pembiasaan membaca dan menulis – seperti lomba penulisan karya ilmiah; (4) Pemanfaatan teknologi digital – e-learning, webinar, grup diskusi online; (5) Pembinaan profesionalisme – mentoring senior-junior, serta publikasi bersama.

Berita Terkait :  Bupati Berkomitmen akan Mendukung Proses Pemeriksaan LKPD oleh BPK RI

Manfaat Budaya Literasi Bagi Arsiparis
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam penguatan budaya literasi antara lain: (1) Peningkatan profesionalisme dan akurasi pengelolaan arsip; (2) Inovasi-inovasi tumbuh berkembang; (3) Penguatan budaya bertanggung jawab dan transparansi: (4) Peningkatan kepercayaan publik meningkat (5) citra profesi arsiparis meningkat. Di samping itu, arsip pun hidup sebagai sumber pengetahuan, bukan sekadar tumpukan berdebu.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Budaya literasi kearsipan adalah fondasi penting bagi profesionalisme arsiparis di era digital. Budaya literasi kearsipan adalah nafas profesi arsiparis. Nafas itu harus dijaga dengan satu komitmen: belajar tanpa henti. Penguatan budaya ini memerlukan komitmen individu, dan dukungan kelembagaan, serta akses pengetahuan yang memadai. Dengan demikian untuk membangun budaya literasi kearsipan diperlukan: (1) Integrasi literasi kearsipan dalam program pembinaan arsiparis, dan calon arsiparis; (2) Penyediaan fasilitas penunjang seperti kesempatan kepesertaan dalam kediklatan/forum ilmiah (diskusi) kearsipan, perpustakaan kearsipan, repository digital; (3) Mendorong publikasi karya ilmiah dan populer oleh arsiparis; (4) Fasilitasi peanfaatkan teknologi untuk memperluas akses dan jejaring literasi.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru