Khawatir Menular ke Teman-temannya, Pilih Tidak Melanjutkan Sekolah
Oleh:
Sawawi, Kabupaten Situbondo
Di Kabupaten Situbondo ada seorang anak menderita penyakit kulit bersisik atau biasa dikenal dengan sebutan anemia aplastik. Namanya Refan, usia 10 tahun, asal Dusun Kajar, Desa Sletreng, Kecamatan Kapongan, Situbondo.
Refan mengaku terpaksa harus berhenti melanjutkan pendidikannya sejak duduk di kelas dua SD. Keputusan itu ia ambil karena disebabkan oleh penyakit anemia kronis yang dideritanya sejak usia tujuh tahun. Selain itu, Refan berhenti bersekolah karena khawatir penyakitnya menyebar ke teman teman di SD.
Darwani (77), nenek Refan, mengungkapkan bahwa cucunya mengalami penyakit yang tak diketahui penyebab pastinya. Meski begitu, ia tetap berupaya merawat dan mengobati Refan dengan segala kemampuan.
“Dia (Refan) harus berhenti sekolah sejak kelas dua SD. Itu karena tidak ada teman yang mau mendekatinya. Katanya mengeluarkan bau amis dari penyakit yang dideritanya sehingga dia dijauhi teman teman sekolahnya,” ungkap Darwani.
Kata Darwani, upaya pengobatan sudah dilakukan berulang kali, termasuk memeriksakan Refan ke rumah sakit di Situbondo. Namun, semua biaya pengobatan selalu ia tanggung sendiri karena tidak mendapatkan bantuan dari pihak lain, termasuk dari pemerintah.
“Sejak awal penyakit itu muncul, saya sudah berulang kali membawanya ke rumah sakit. Semuanya dibayar sendiri karena tidak punya fasilitas kesehatan atau bantuan apa pun,” ungkap Darwani dengan tatapan mata kosong.
Refan saat ini tinggal bersama neneknya sejak usia tiga tahun setelah ditinggal ibunya bekerja ke luar negeri ke Malaysia. Sang nenek juga harus merawat cucunya seorang diri karena suaminya telah meninggal dunia.
“Saya hanya bekerja serabutan dengan penghasilan sekitar Rp 40.000 per hari. Cucu itu menjadi satu-satunya harapan saya,” cerita Darwani, yang tak terasa matanya menangis.
Tokoh masyarakat setempat, Moh. Zainullah, turut prihatin dengan kondisi Refan dan sang nenek. Ia mengatakan bahwa Darwani benar-benar hidup dalam keterbatasan dan butuh uluran tangan.
“Saya tergerak untuk membantu menyuarakan kondisinya melalui pemerintah desa dan juga organisasi sosial yang mau membantu. Mereka benar-benar butuh bantuan,” ungkap Zainullah.
Zainullah menambahkan, dari cerita Darwani, Refan kadang menunjukkan perilaku tidak biasa, seperti memakan tisu, kardus, bahkan Al-Qur’an yang dibawanya saat mengaji, juga kadang ikut dikunyah. Diduga, hal ini dilakukan karena kondisi lapar atau faktor psikologis akibat tekanan hidup.
“Pemerintah, terutama pemerintah desa, harus lebih peduli dan memiliki empati untuk membantu nasib mereka,” urai Zainullah.
Sementara itu, Santi petugas Puskesmas Kapongan, Kabupaten Situbondo, mengaku Refan benar menderita anemia dan membutuhkan transfusi darah.
“Gejala lain yang dialami Refan diantaranya gatal-gatal, kekurangan sel darah merah dan perutnya membuncit. Untuk proses penyembuhan kemungkinan membutuhkan waktu yang cukup lama,” pungkas Santi. [awi.gat]


